Apa tugas laki-laki, dan apa tugas perempuan? Di luar tugas biologis sebenarnya tidak ada pembagian yang baku. Laki-laki bertugas membuahi, perempuan bertugas hamil, melahirkan, dan menyusui. Di luar itu, tugas-tugas tidak ada yang spesifik untuk suatu jenis kelamin. Tugas-tugas kehidupan tidak punya jenis kelamin.
Bukankah perempuan bertugas mengasuh dan mendidik anak? Bukan. Itu tugas berdua. Bukankah laki-laki harus mencari nafkah? Ya, tapi tugas mencari nafkah tidak membebaskan lagi-laki dari kewajiban mengasuh dan mendidik anak. Juga tidak ada keharusan mutlak bahwa laki-laki harus berperan mencari nafkah. Kalau perempuan bisa mencari nafkah dengan lebih baik, kenapa tidak dibalik saja, laki-laki yang lebih berperan mengasuh dan mendidik anak?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pembagian berdasar standar baku cukup sering jadi penghambat. Perempuan dalam suatu keluarga terhambat dari kemajuan karena ia dibebani tugas baku, yaitu harus mengasuh anak. Suami yang mencari nafkah ternyata tak pandai benar. Keluarga hidup pas-pasan. Istri akhirnya harus ikut bekerja sambilan. Dengan sambilan saja ia bisa menyamai hasil yang diperoleh suaminya. Tapi ia hanya boleh berperan sambilan, tidak boleh berperan utama. Ia hanya boleh mengerjakan secara sambilan karena terikat tugas utama.
Sementara itu laki-laki juga tidak boleh meninggalkan pos utamanya. Ia tidak boleh mengambil alih "tugas" istrinya, yaitu mengurus rumah dan merawat anak. Itu hal yang tabu. Apa alasannya? Tidak ada. Pokoknya tabu saja.
Kalau tidak dipatok dengan pola baku, dibuat lentur, hasilnya bisa berupa sinergi yang mengagumkan. Selama 10 tahun tinggal di Jepang untuk kuliah dan bekerja, saya menyaksikan sejumlah kasus sinergi hebat itu. Ada beberapa suami yang ikut ke Jepang untuk mendampingi istrinya yang sedang melanjutkan kuliah. Ada yang berhenti bekerja, ada pula yang mengerjakan pekerjaannya di Indonesia secara online dari Jepang. Yang terakhir itu sebenarnya sudah sangat bisa dilakukan.
Ada juga perempuan yang mendapat beasiswa kemudian "membawa" suaminya ikut pergi, kemudian suaminya juga ikut kuliah. Berdua mereka maju bersama, sambil tetap mengasuh dan mendidik anak.
Di sisi lain, ada banyak perempuan yang harus mengubur mimpinya, mematikan potensinya, karena ia diikat dengan tugas "kodrati". Padahal itu tidak perlu terjadi, kalau suaminya mau mendampingi seperti para suami yang saya sebut tadi.
Itu semua bisa dilakukan bila laki-laki khususnya tidak menganggap tabu untuk mengambil peran mendukung istri. Salah satu teman saya yang mendampingi istrinya sekolah di Jepang, berhenti dari pekerjaannya sebagai engineer selama 3 tahun. Apa tak sayang? "Tak ada masalah. I am a qualified engineer. Setelah selesai studi istri, saya bisa bekerja kembali," katanya yakin.
Teman yang lain membuat kompromi dengan rekan bisnisnya. "Saya mengelola keuangan perusahaan, utamanya akuntansi. Semua hal bisa saya remote dari Jepang, saya tidak perlu hadir di kantor setiap hari," katanya.
Masalahnya adalah sistem sosial yang menempatkan laki-laki lebih tinggi. Laki-laki yang menggendong bayi dianggap laki-laki takut bini. Itu hal-hal yang harus dihindari sampai mati. Tak peduli situasi sudah mengancam periuk nasi. Karena laki-laki harus menjaga gengsi.
Sementara itu perempuan yang secara de facto sudah menjadi tulang punggung ekonomi keluarga, masih harus dibebani dengan tugas-tugas yang dianggap sebagai kodratnya, seperti masak, menghidangkan makanan, dan membersihkan rumah. Demi menjaga format baku tadi, pembagian kerja yang tidak adil itu dipertahankan.
Ubahlah cara pandang itu. Perempuan bukan pendamping laki-laki. Perempuan dan laki-laki itu berdampingan.
Hasanudin Abdurakhman cendekiawan, penulis dan kini menjadi seorang profesional di perusahaan Jepang di Indonesia
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini