Sejarah baru mungkin sedang dibuat berlakon minuman dan kematian, tak seperti masa lalu para peminum di Jawa. Dulu, mereka minum bukan untuk kematian tapi keinsafan atas selera dan situasi kemodernan di tanah jajahan.
Agenda-agenda modernitas di Hindia Belanda mengalir di tubuh melalui minuman. Sajian, etika, dan puja selera minuman menjadikan kalangan bumiputra memiliki akses demi klaim menjadi manusia modern: mengonstruksi diri dalam bingkai pembaratan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada 1904, Kartini melahirkan seorang bayi lelaki. Dambaan jadi ibu terkabulkan meski ditebus dengan kematian. Sepucuk surat Roekmini untuk RM Abendanon-Mandri (1904) mengisahkan detik-detik usai Kartini melahirkan. Roekmini menulis: "... sesudah bayinya lahir, dia minta sampanye untuk bersulang dengan dokter atas hasilnya yang memuaskan."
Adegan bersulang mungkin sudah akrab dalam kehidupan Kartini. Adegan itu simbolisasi dari penetrasi modernitas dan afirmasi kultur pembaratan. Agenda modernitas ada dalam sebotol minuman. Nilai-nilai pembaratan ada dalam segelas sampanye. Perjumpaan identitas ada dalam peristiwa bersulang seorang perempuan Jawa dengan dokter Eropa.
Sampanye identik dengan masyarakat Eropa, kaum pribumi terpelajar, dan elite di Hindia Belanda. Manusia-manusia di tanah jajahan pun bergerak menjadi modern, mengartikan "kemadjoean", dan membentuk imaji politik-kultural dengan minuman khas Eropa. Lemari tempat menaruh botol, meja, ruang, gelas menjadi komponen pembiasaan minum: seremonial dan "perjamuan" modernitas.
Minuman itu medium pengakraban, prestise politis, pamer kekuasaan, atau unsur pembentukan masyarakat modern.
Agenda mereguk modernitas juga dialami oleh kalangan penguasa tradisional. Aliran makna modern menderas dalam gaya hidup dan labelitas politis. Peter Carey (1986) menginformasikan bahwa Pangeran Ngabehi, putra Paku Buwono IV dari Kasunanan Solo memiliki rumah dalam desain-interior ala Eropa. Rumah itu dijadikan ruang pendefinisian diri dengan menggelar acara-acara perjamuan makan. Menu minuman khas dalam perjamuan: anggur, bir, dan claret. Minuman ala Eropa hadir di sebuah rumah elite tradisional Jawa.
Perjamuan makan ala Barat memang merasuki kehidupan keraton, disalin, dan dijadikan sebagai model pemodernan. Hal itu tampak dari tradisi bersulang antarpenguasa dalam selebrasi beraroma politis. Pernikahan Paku Buwono X (1915) di Solo memunculkan adegan bersulang minuman (sampanye) sebagai pengakraban politik, citra pembaratan, dan aura kekuasaan sebagai racikan feodalisme-kolonialisme.
Gambaran suasana perjamuan dalam selebrasi pernikahan Paku Buwono X: "Residen angkat toast untuk Ratu Emas, toast dari Sunan Pakubuwono X dan Ratu Emas untuk Residen diiringi Wilhelmus dan gamelan." (Kuntowijoyo, 2004). Jawa dan Belanda bertemu, bersulang minuman, bersulang identitas kultural untuk kesederajatan berdalih kekuasaan dan modernitas.
Kebiasaan minum anggur dengan lagak pembaratan dialami pula para pujangga keraton. Hubungan intelektual antara Ranggawarsita dan CF Winter memunculkan serapan modernitas dalam sastra, bahasa, perilaku, dan nalar uang. Konon, dalam kerja kolaboratif antara mereka juga bersinggungan masalah gaji dan permintaan anggur oleh Ranggawarsita pada Winter dan Van der Vlies. Aroma kemodernan memang tampak dalam gubahan sastra dan adab-hidup Ranggawarsita sebagai pujangga keraton.
Pemodernan dan pembaratan mengental dengan relasi intim antara kalangan intelektual dan penguasa kolonial. Minum anggur jadi representasi "persulangan kultural", ajakan menampilkan identitas modern di Solo sebagai pusat peradaban Jawa.
Peristiwa "mereguk" modernitas melalui jenis-jenis minuman Eropa di awal abad XX menandai ada keberterimaan, sensasi selera menuju pengesahan kultural Jawa-Eropa. Barangkali itu dampak semaian kultur Indis di Jawa. Minuman mengandung pesan dan makna: politik, ekonomi, ideologi, estetika, etika, dan kultural. Proyek identitas kaum pribumi memerlukan minuman, peristiwa perjamuan makan, dan bersulang sebagai ekspresi kasat mata. Peristiwa minum menemukan pengesahan dengan keberadaan ruang, pengenaan busana, format acara, desain dan motif gelas. Minuman pun representasi rasionalitas, imajinasi, dan perasaan kemodernan.
Kebiasaan upacara minum para elite dan publik sejak mula memang sudah ada di masyarakat Jawa. Negarakretagama dan Centhini memiliki pengisahan tentang upacara, minum, aura kekuasaan, dan pengelasan sosial. Cara sajian dan adegan minum sesuai dengan pembingkaian kultural, pengaruh ajaran agama, dan persesuaian iklim. Hal itu pelan-pelan berubah saat terjadi perjumpaan kultural dengan China dan Barat.
Anthony Reid (1992) menjelaskan bahwa air (bening) merupakan minuman sehari-hari masyarakat di Asia Tenggara. Realitas itu membuat orang China sebagai peminum teh tercengang. Orang Belanda dan Inggris turut tercengang dengan membandingkan diri sebagai pecandu minuman keras.
Acuan historis minuman mengesankan ada perbedaan kebiasaan dan kondisi sosial-kultural. Perbedaan-perbedaan perlahan menemukan cara adaptif, ada dalam racikan bersama, dan integral. Proses itu mengandaikan perubahan tatanan etis-sosial-kultural, sistem ekonomi-politik, puja ideologi, dan intimitas identitas. Minuman dan peristiwa bersulang telah mengantarkan transformasi bentuk dan nilai, guliran ide-ide modernitas, dan pengeroposan nilai-nilai tradisional.
Historisitas minuman awal abad XX di Hindia Belanda adalah babak-babak girang untuk mereguk modernitas. Sejarah itu berlalu, digantikan tragedi saat korban terus bertambah akibat kenekatan mereguk minuman keras oplosan. Pembuatan sejarah minuman dan para peminum di masa sekarang cenderung pada kematian, tak lagi sambungan dari masa lalu.
Bandung Mawardi kuncen Bilik Literasi Solo
(mmu/mmu)











































