Dunia Abangan dan Kekayaan Sufisme Danarto
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Dunia Abangan dan Kekayaan Sufisme Danarto

Rabu, 11 Apr 2018 14:30 WIB
zakasaja
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Danarto (Foto: PKJ Taman Ismail Marzuki/Youtube)
Jakarta -

Dunia sastra kehilangan begawan sastra beraliran realisme magis dan sufistik. Danarto (1940-2018) meninggal dalam usia 78 tahun dalam sebuah kecelakaan di Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, Selasa (10/4/2018).

Pria kelahiran Sragen, Jawa Tengah, 27 Juni 1940 ini malang melintang di dunia sastra. Karya-karyanya antara lain Godlob (1975), Adam Ma'rifat (1982), Orang Jawa Naik Haji (1984), Berhala (1987), Gergasi (1993), Asmaraloka (1999), Setangkai Melati di Sayap Jibril (2000), dan Kacapiring (2008).

Danarto juga menerbitkan kumpulan hikmah berjudul Gerak-Gerik Allah (1996), dan kumpulan kolom berjudul Begitu Ya Begitu Tapi Mbok Jangan Begitu (1996).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Jalan hidupnya menarik. Dari seorang abangan menjadi sufi. Dia mengaku menghayati kehadiran Tuhan melalui pendekatan tasawuf yang dipelajarinya secara otodidak. Perpaduan antara tasawuf dan kejawaannya melekat dalam keseharian dan karyanya, sehingga memunculkan kesan abangan. Bahkan awal mula kehidupannya benar-benar sebagai abangan.

Citra abangan itu tampak dalam buku Pergulatan Iman (2008) yang disunting Ulil Abshar Abdalla dan Nong Darol Mahmada. Dia berkisah tentang pengalaman spiritualnya pada tahun 1968 yang saat itu masih berusia 28 tahun. Pengalaman itu mengubah hidupnya dari pemahat relief di batu-batu menjadi sastrawan dengan aliran realisme magis. Buku kumpulan cerita pendek pertamanya lahir pada 1975.

Dengan detail dia bercerita pengalaman pertama itu. Pada sebuah pagi di tahun 1968, dia melihat Tuhan dalam wujud sopir, kucing, ayam dan semua yang tampak di depannya. Pandangan itu mempengaruhi karya-karyanya yang begitu menyihir, dan berbasis pada kehidupan sehari-hari.

Pandangan sufinya dipengaruhi tokoh-tokoh sufi dan teolog Timur Tengah seperti Jalaluddin Rumi, Al Hallaj, dan Ibnu Arabi. Meski tasawuf lekat kali pertama di dalam hidupnya, kewajiban agama belum juga dilakoni. Pada fase itu —meminjam klasifikasi Clifford Geertz— Danarto masih Islam abangan. Dia menghayati Islam sebagai nilai-nilai kehidupan dan pandangan hidup, tapi belum merengkuh perintah paling dasar sebagai seorang muslim.

Dari wawancara dengan Ulil dan Nong pada program Kajian Islam Utan Kayu tahun 2004 itu, Danarto mengaku pencarian jati diri agamanya diawali dari tasawuf yang langsung menyasar pada inti ajaran. Kegandrungannya itu dipicu kebiasaan orangtuanya yang sehabis bekerja lalu membaca buku-buku tasawuf berbahasa dan berhuruf Jawa.

Sebagai abangan, Danarto kala pertama kali salat pada umur 27 tahun, menggunakan bahasa Jawa. Namun, dia merasa aneh karena lafal Jawa yang terus-menerus dalam salat menyerupai rentetan dalang dalam pertunjukan wayang. Dia lalu belajar kalimat-kalimat bahasa Arab yang wajib dilafalkan dalam salat.

Dunia Sufi

Dari sejumlah buku --kumpulan cerpen dan novel-- Danarto yang telah disebutkan tadi, satu buku berbentuk memoar. Dia blak-blakan menulis tentang kejadian tak mengenakkan semasa ibadah haji pada tahun 1983. Dia mengklaim buku itu menjadi pelopor dalam penulisan pengalaman haji orang Indonesia. Nyatanya, sebelum itu sudah pernah ada yang menulis namun tak populer. Judul bukunya yang Jawa sentris membuat banyak orang membaca dan bergairah melihat reaksi orang Jawa itu. Di luar dugaan banyak orang, dan buku itu jadi rujukan sampai saat ini bila menilik sejarah perjalanan haji.

Buku itu tipis dan kecil, tapi membekas kala orang Indonesia setelahnya menulis pengalaman haji. Peneliti LIPI Samsudin Haris pada 2013 menulis pengalaman serupa, dan mengingat kepayahan Danarto sembari bersyukur bahwa pelayanan haji kala ia beribadah sudah lebih baik.

Danarto naik haji pada 1983 saat umurnya 43 tahun. Dia menggambarkan dengan nakal dan lucu tempat-tempat yang disinggahi. Misalnya, saat mabit selama sehari semalam di Mina, Makkah. Bau kotoran manusia menguar di gurun pasir. Saat berada di pemondokan di Makkah, dalam rombongannya terdapat 46 orang memperoleh empat kamar dengan ukuran 6x8 meter persegi. Hanya ada satu kamar mandi untuk rombongannya.

Uneg-uneg orang Jawa ini dimuntahkan semua di dalam buku. Dia melawan arus orang kebanyakan orang yang naik haji kala itu. Tabu yang ada seperti mengeluh dan menceritakan pengalaman buruk dilawan Danarto yang semula abangan. Dia enggan 'dipalak' oleh seorang syeikh yang mengelola pemondokannya. Kala itu dia diminta membayar 750 riyal untuk keperluan dam atau denda karena melanggar aturan haji atau umrah. Akhirnya, dia luluh dan membayar di bawah permintaan yakni 350 riyal.

Puncak pengembaraan agama Danarto sepertinya memang terjadi pada saat haji. Dia datang ke Rumah Allah sebagai seorang hamba yang haus cahaya ilahi. Dari sana lahir memoar beribadah yang blak-blakan.

Perjalanan hidupnya berada dalam lempeng keyakinan agama yang beragam. Dari abangan ke sufi. Dari pemahat relief ke sastrawan. Pencarian jati dirinya melalui fase yang panjang dan berliku. Diawali dari salat dengan berbahasa Jawa, dan kemudian berbahasa Arab. Kesufiannya dicapai dengan dibarengi pelaksanaan perintah agama.

Danarto di akhir hayatnya menjadi seorang muslim yang kaffah. Dia menjalankan perintah agama pada tingkat syariat mulai dari bersyahadat sampai haji. Dan, meningkat pada tataran yang lebih jauh lagi yakni dunia esoteris. Sebuah tempat bersemayam rahasia hakikat kehidupan.

Cerpen-cerpennya yang disusupi kekayaan dunia sufinya berkata tapi tidak memerintah. Menyampaikan kebenaran tapi tidak berkhutbah. Pesan-pesannya mampu membuat orang-orang yang membaca meresapi makna tentang pencarian jati diri.

Pada taraf itu dia telah meninggalkan kefanaan. Dia tak lagi melihat wujud benda sebagai benda. Dia melihat ada pancaran Tuhan di benda itu. Kini dia telah benar-benar berganti wujud. Meninggalkan kebendaan dunianya menuju keabadian.

Wadag-nya mati, tapi ruhnya hidup di alam arwah. Pencariannya telah menemukan jawaban dan kini orang Jawa itu bertemu dengan tokoh-tokoh rekaan di dalam karya sastranya: para malaikat di langit. Selamat jalan, Mas Danarto!

Zakki Amali esais dan jurnalis lepas

[Gambas:Video 20detik]

(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads