Bukan Sekadar Pendamba Kerja
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Mimbar Mahasiswa

Bukan Sekadar Pendamba Kerja

Rabu, 11 Apr 2018 13:04 WIB
Agus Wedi
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Bukan Sekadar Pendamba Kerja
Sebuah demo mahasiswa di Sidoarjo (Foto: Suparno)
Jakarta - Mahasiswa adalah masyarakat terpelajar atau maha pengarung ilmu yang senantiasa akan mengubah peradaban masyarakat. Meski kadangkala ilmu tak bisa diterjamahkan (masuk) ke dalam diri mahasiswa.

Dalam sejarahnya, mahasiswa bermisi mendewasakan orang menjadi manusia dan memanusiakan manusia. Berikhtiar mengetahui dan memahami pelbagi literatur ilmu pengetahuan agar berfaedah membentuk citra mahasiswa menjadi insan intelektual dalam lingkup profesi masing-masing yang mampu dan sanggup membantu kebutuhan atau masalah yang timbul dalam masyarakat yang pragmatis menjadi manusia terampil.

Dulu mahasiswa mengejar ketertinggalan kualitas ilmu dan menolak sikap apatis dan godaan politik. Kini mahasiswa jujur atau tidak mengalami penurunan etos belajar. Mahasiswa yang awalnya mati-matian membela ilmu pengetahuan, berevolusi mundur pada persoalan mistik, pakaian, pekerjaan, dan politik.

Kita mafhum, setiap mahasiswa berhasrat bekerja, menciptakan lapangan kerja, dan hidup sukses. Tapi hasrat itu kadang tak diimbangi prasyarat ilmu pengetahuan yang cukup sehingga mengandung risiko dan menimbul petaka. Frustrasi ikut membayangi dirinya dalam terang kehidupannya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sekarang ini mahasiswa dituduh menjadi sekadar pendamba kerja. Hal ini disadari atau tidak terbaca oleh niat kuliah dan geliat usaha yang bertujuan pada paradigma pragmatis yang berafiliasi menjadi sarjana hafalan dan sarjana robot.

Maka dapat dikatakan bahwa mahasiswa telah menyimpang pada tugas awalnya. Membentuk insan intelektual dan emosional dewasa, demi pemuliaan hidup, perkembangan khazanah ilmu pengetahuan, dan pembangunan negara.

Kita memang sulit menemukan mahasiswa sekarang mengisahkan ratusan buku majalah, koran dan jurnal di tempat-tempat angkringan, masjid, indekos, dan perpustakaan sebagai pemaknaan ruang ilmu dan pencipta gagasan.

Pertanyaannya, masihkah mahasiswa kini membaca buku, koran, majalah, dan jurnal, atau masih di pertanyaan bagaimana cara kita bisa suka membaca dan mencintai buku-buku sebagai kebutuhan pokok (wajib) mahasiswa untuk mengentaskan kebodohan, berdalih mempersungguh-sungguhkan dalam dunia perkuliahan?

Kita boleh mengingat kisah orang Yunani yang mencari kejelasan mengenai alam semesta dan tempat manusia di alam semesta. Penalaran orang Yunani sangat teoritis, dan tujuannya untuk mengetahui dan memahami segala-galanya demi faedah ilmu pengetahuan.

Cita-cita orang Yunani sangat mulia. Ia mempelajari ilmu pengetahuan bagi dirinya, demi memanusiakan manusia. Karena bagi dia manusia itu adalah manusia demi manusia-manusia lain. Orang Yunani tak berharap pamrih apalagi berharap kedudukan pekerjaan.

Cerita itu bisa kita kontekstualisasikan pada masa sekarang. Setidaknya, kita sepakat dan meniru etos belajar orang Yunani. Kalau kita ingin mencari jalan yang membawa pada kesuksesan berkuliah, maka hanya ada dua jalan yaitu merombak paradigma mahasiswa yang masih bersemaian pada pakem urusan domestik dan pekerjaan, diganti dengan membela mati-matian dalam menuntut ilmu pengetahuan. Bukan domestik-persoalan kerja!

Karena, ilmu pengetahuan merupakan piranti yang paling canggih yang direkaciptakan manusia sepanjang perjuangan demi kelangsungan hidup. Juga, karena ilmuwan sejatilah yang mampu membimbing dan membina manusia muda pada jalan intelektual sejati.

Kuliah

Seorang mahasiswa senantiasa akan pamit dari dunia perkuliahan. Menyandang peran sarjana yang ditekuni lebih dari tiga tahun hidupnya. Sarjana kadang kurang dihargai mungkin akibat dari kurang kerja keras dalam mengarungi perkuliahan.

Kita bisa membaca harapan J. Dost, S.J saat menjadi Rektor Seminari Wacana Bhakti, Jakarta dalam Majalah Prisma No. 1 Tahun XIX, 1990. Ia menulis artikel berjudul Untuk Apa Perguruan Tinggi Didirikan?

J. Dost menyoroti pelbagai masalah dan keresahan mahasiswa dalam perkuliahan dan kejuruan. Ia menegaskan bahwa seorang sarjana yang mau masuk pada dunia nyata dan tidak mempunyai wawasan hidup tidak dapat berfungsi sebagai seorang intelektual; ia hanya akan menjadi seorang teknikus pada bidang yang sempit.

Ini berarti bahwa mahasiswa tak boleh rabun pada peta perkuliahan sehingga mengabaikan niat awal dalam proses belajar. Mahasiswa harus bersungguh-sungguh sebagai kaum akademis demi pranata sosial dan pengubah dunia masyarakat yang pragmatis.

Kalau perguruan tinggi didirikan hanya mempersiapkan mahasiswa untuk mencari pekerjaan, maka sangat tidak mungkin "mahasiswa bisa mendewasakan diri dan mengubah citra bangsa sebagai manusia bermartabat".

Kita tidak mau mahasiswa hanya sebagai "sloganisme" pembuat perubahan, tetapi kenyataannya jauh melenceng tak berkeruan. Mahasiswa tidak hanya ingin menyandang nama itu, tetapi kita berani menyatakan sebagai pendonor unggul yang dibutuhkan masyarakat. Dan, sebagai kaum berpikir yang menyegarkan sejumlah masalah krusial bangsa luas.

Menjadi mahasiswa berikhtiar memuliakan diri sebagai kaum intelektual, bukan menuruti ambisi pendamba pekerjaan. Menjadi mahasiswa yang diperlukan adalah kesadaran belajar, dan bijak menentukan sikap dalam aroma berpolitikan. Nilai-nilai akademis haruslah mampu mengemban misi untuk membangun narasi aksesibilitas masyarakat, agar kita tak terlalu "kebangetan" menghina makna mahasiswa.

Agus Wedi mahasiswa IAIN Surakarta Jurusan Ilmu al-Qur'an dan Tafsir

(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads