"Ah, lagi-lagi negara ini tidak memberikan apresiasi kepada orang-orang berbakat! Nanti kalau diambil negara lain baru menyesal!" Kalimat semacam itu paling banyak terdengar.
Pembelaan itu menemukan amunisi yang lebih mantap lagi manakala orang-orang ngetop bersaksi atas kedahsyatan pengobatan ala Pak Dokter Terawan. Ada SBY, Prabowo, Butet Kertarejasa, dan entah siapa lagi. Ujung-ujungnya, keributan ini bukan lagi menjadi keributan akar rumput, melainkan sudah melibatkan keberisikan para elite. Seru, deh!
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Begini. Saya kira, titik masalahnya bukan ada pada IDI, tuduhan konspirasi dan ketidakpedulian di belakangnya, atau SBY dan Prabowo yang ikut-ikutan. Masalahnya ada pada cara kita melihat dimensi masalah. Masalah yang merupakan domain dimensi A kita pandang dengan kacamata B. Di situlah problemnya.
Publik awam memosisikan seolah-olah Dokter Terawan divonis melakukan tindak pidana atau sejenisnya. Maka pembelaan atas diri Pak Dokter disampaikan juga dengan cara seolah-olah melawan kriminalisasi. Padahal, tunggu dulu. Dimensi yang melingkupi Pak Dokter adalah dimensi yang relatif sempit, yakni urusan antara dirinya dan IDI.
IDI adalah organisasi para dokter. Dokter adalah profesi penyembuh yang berfondasikan dunia medis akademis. Adapun dunia akademis adalah dunia yang memiliki standar-standar jelas, memegang teguh metodologi, dan berjalan dengan teori-teori yang berbasiskan bukti-bukti yang serba terukur. Segala prinsip dunia akademis tersebut otomatis menjadi prinsip profesi dokter, sekaligus menjadi landasan organisasi para dokter.
Dengan demikian, jika ada oknum dokter yang menjalankan praktik di luar standar dokter, wajar saja dia dikeluarkan dari golongan dokter. Begitu, bukan? Itulah yang terjadi pada Pak Dokter Terawan, sebab apa yang dia jalankan itu ternyata belum dibuktikan dengan uji klinis, sementara uji klinis merupakan salah satu standar dasar metode penyembuhan medis.
Saya rasa, argumen paling pokok dari pemecatan Pak Terawan adalah perkara disiplin profesi. Bukan perkara bukti penyembuhan. Kalau bukti penyembuhan yang diangkat ke permukaan, perdebatannya tidak akan kunjung selesai.
"Yang diberitakan cuma mereka yang sembuh saja, padahal yang gagal juga ada. Nah, yang gagal ini jarang diberitakan, sedangkan yang ramai di media cuma yang berhasil. Itu nggak fair, Rangga! Itu nggak fair!"
"Halah, kalau cuma soal nggak fair, dokter-dokter yang lain juga nggak fair kok, Cinta. Bukannya yang berobat ke dokter lain juga nggak semua sembuh? Yang sudah mondok lama di rumah sakit tapi akhirnya nggak tertolong juga banyak. Tul nggak?"
Nah, kira-kira akan seperti itu. Pusing, kan? Makanya, sekali lagi, yang mesti ditekankan adalah logika tertib profesi dokter dan tertib organisasi kedokteran. Itu saja. Meskipun banyak pasiennya sembuh, tapi kalau seorang dokter tidak menjalankan prosedur medis yang diwajibkan, itu pelanggaran. Sebaliknya, kalau prosedurnya sudah tepat, meski ada yang gagal pun tidak mengurangi legalitas dari apa yang sudah dijalankan.
Ini pun sebenarnya tidak langsung bisa menyelesaikan perdebatan.
"Lho, berarti yang kita cari dalam berobat tuh sebenarnya apa sih, Milea? Kita mau mencari kesembuhan, atau mencari prosedur? Kalau aku ya berobat mending milih yang sembuh, to. Nggak peduli mau bener atau enggak prosedurnya, buatku yang penting sembuh. Urusan prosedur itu kan urusan dokternya, bukan urusanku. Jadi Pak Dokter Terawan yang sudah terbukti membantu banyak pasien itu harus kita dukung!"
Kalau sampai di sini, berarti ada yang dilupakan, yakni bahwa yang sedang diributkan itu sama sekali bukan urusan penyembuhan. Pemecatan yang dilakukan oleh IDI bukanlah bentuk penyangkalan atas realitas kesembuhan yang berhasil difasilitasi oleh Pak Terawan. Toh fakta bahwa banyak orang sembuh lewat tangan dia itu tetap ada. Artinya, hanya karena Terawan tidak memakai prosedur yang benar, bukan berarti para pasien yang sembuh itu dianggap belum sembuh, kan? Iya tidak? Atau, saya keliru?
Pendek kata, dimensi disiplin profesi dokter ini jangan sampai dicampuradukkan dengan dimensi penyembuhan. Secara simpel, dokter bisa didefinisikan sebagai profesi penyembuh atau pembantu proses kesembuhan. Namun dimensi penyembuhan dan kesembuhan itu sendiri bukan monopoli dokter. Pak Terawan salah dalam dimensi profesi dokter, namun ia belum tentu salah dalam dimensi penyembuhan.
Anda boleh tidak setuju, namun realitas berbicara bahwa ada jalur-jalur penyembuhan lain di luar dunia medis akademis.
Saya ambil contoh yang paling gampang saja, yang tidak ekstrem-ekstrem amat. Soal salah urat sajalah. Saya kalau keseleo salah urat parah ya selalu datang ke Bang Udin, tukang pijat klub sepak bola PSIM yang setelah dia meninggal lalu diteruskan anaknya. Itu prioritas saya, dan selama ini selalu sembuh. Kalau mau ke rumah sakit ya bisa, sangat bisa. Bedanya, di Bang Udin saya dipijat urut, di rumah sakit urat saya dioperasi.
Di dokter rumah sakit metodenya jelas banget. Saya dibius, otot dibedah, lalu urat yang meleset tadi dikembalikan ke tempatnya. Beres, luka dijahit, anggota badan di-gips, dan akhirnya ditunggu kering.
Nah, kalau sama anaknya Bang Udin, urat yang lari itu dipegang saja, mengikuti jempolnya, dan dalam dua detik langsung gluk gluk kembali ke tempatnya. Metodenya bagaimana? Standar ilmiahnya bagaimana? Ya nggak jelas, Bro. Itu pakai metode wallahualam, cuma almarhum Bang Udin dan anaknya saja yang tahu hahaha!
Apakah saya sembuh di tangan anaknya Bang Udin? Sembuh. Apakah kalau urat meleset itu saya bawa ke RS Panti Rapih juga sembuh? Sembuh. Artinya, kesembuhan itu wilayah yang luas, dan tidak dimonopoli oleh dokter. Kalau mau ikut jalur ilmiah, saya akan datang ke Panti Rapih. Kalau mau ikut jalur non-ilmiah, saya datang ke anaknya Bang Udin. Anaknya Bang Udin tidak perlu minta bergabung ke dalam IDI, sebagaimana para dokter tidak boleh menjalankan metode ala Bang Udin. Biarkan keduanya berjalan sendiri-sendiri.
"Woooo jalur nggak ilmiah kok diikuti! Dulu sampean sekolah sampai SD kelas berapa, Mas?"
Hmmm. Ini yang jadi persoalan mendasar. Kita sering mengira bahwa dunia ilmiah adalah satu-satunya teropong yang bisa menjelaskan realitas dan kebenaran.
Keyakinan salah kaprah semacam itu mengingkari hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri. Ilmu pengetahuan memang menjelaskan kebenaran, namun kebenaran keilmuan bukanlah satu-satunya kebenaran dalam hidup kita. Ada berbagai sumber kebenaran lain yang memperkaya khazanah hidup kita, dan semua kebenaran itu bermanfaat asal diletakkan pada tempatnya yang layak. Kehidupan terlalu rumit dan terlalu luas untuk dianalisis hanya oleh satu jalan pemikiran.
Harap tenang, kalimat barusan bukan kata-kata saya. Saya tidak sehebat itu. Itu cuma saya petik dari buku Pak Jujun Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif, buku wajib yang dulu kami pakai dalam mata kuliah Filsafat Ilmu.
Poin "semua kebenaran itu bermanfaat asal diletakkan pada tempatnya yang layak" itulah yang ingin saya cetak tebal. Dengan sungguh-sungguh memahami bagian itu, kita bisa menangkap bahwa banyak problem kita hari ini terjadi karena seringnya kita keliru dalam memilih kacamata.
Contohnya banyak. Kacamata dimensi ilmiah dipakai untuk melihat persoalan dalam dimensi agama, misalnya. Orang Islam dilarang makan babi, lalu alasannya dicari dari sudut pandang medis. Akibatnya, orang berusaha menjelaskan bahwa babi haram karena dagingnya mengandung telur-telur cacing pita. Pertanyaannya, apakah kalau cacing pita itu bisa dibasmi dengan teknologi, lantas daging babi jadi halal?
Pertanyaan itu tidak terjawab, karena memang masalah di dimensi A ditelaah dengan kacamata dimensi B.
Dalam dunia riuh rendah mutakhir juga ada contoh yang lain lagi. Sebuah buku sastra diambil sebagai sumber yang seolah-olah otoritatif untuk menjelaskan realitas ekonomi-politik sebuah bangsa. Bangsa itu akhirnya diramalkan akan hancur pada tahun 2030. Itu kekeliruan juga dalam memilih kacamata, bukan? Secara prinsipil, karya sastra adalah kombinasi antara fakta dan fiksi. Ia berdiri dalam dimensinya sendiri, di luar realitas. Isinya mungkin saja nyerempet realitas, namun terjadilah cacat epistemologis ketika karya sastra digunakan sebagai perspektif untuk mencerna dan mengambil tindakan pada dimensi politik.
Contoh terakhir yang paling hangat adalah puisi Gus Mus yang dibacakan Ganjar Pranowo itu. Orang beramai-ramai meributkan struktur dan makna kalimat di dalam puisi itu. Saya sendiri pun sempat ikut-ikutan dalam kericuhan itu. Hari ini akhirnya saya tertawa melihat kekonyolan saya. Puisi adalah puisi, ia berdiri pada dimensinya sendiri yang berbeda dengan prosa. Menelaah puisi secara linguistik eksak adalah kelakuan menggelikan. Banyak kata dalam puisi yang mesti dicerna secara konotatif, bahkan secara ekstrem kata-kata dalam puisi harus dilihat bukan sebagai kata, melainkan sebagai benda.
Sebagaimana orang awam yang tidak punya kacamata medis jadi sangat norak dalam membaca kasus Pak Terawan, begitu pula kita yang tidak paham puisi perlu menahan diri. Jika sok tahu, yang akan terjadi tidak akan kalah noraknya.
Iqbal Aji Daryono esais, tinggal di Bantul
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini