Pemecatan ahli "Brain Wash" dr Terawan dari keanggotaan Ikatan dokter Indonesia (IDI) oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) bukan hanya mengagetkan tetapi juga menimbulkan tanda tanya dari beberapa pihak. Hal ini dikarenakan terapi brain wash ini merupakan terobosan baru terapi penyakit saraf oleh anak bangsa yang seharusnya didukung oleh banyak pihak, apalagi sudah banyak masyarakat yang merasakan manfaat terapi ini.
Pemecatan ini juga dikhawatirkan akan mematikan inovasi anak bangsa di bidang ilmu dan teknologi dalam rangka bersaing dengan peneliti luar negeri. Publik masih ingat kasus jaket Warsito untuk terapi kanker juga "ditenggelamkan".
Evidence Based Medicine
Dalam kaidah ilmu kedokteran semua terapi medis selalu berlandaskan kaidah ilmu kedokteran terkini yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah, etika, dan hukum. Hal ini dimaksudkan agar terapi medis tersebut benar-benar memberi manfaat, dan tidak membahayakan penderita.
Dalam istilah medis sebuah terapi harus mempunyai bukti medis yang sahih yang dikenal evidence based medicine (EBM). Dan, EBM bisa dilihat dari hasil penelitian yang dipublikasikan di berbagai jurnal kedokteran terindeks untuk ditelaah secara kritis objektif oleh para ahli sesuai keilmuan (pier review).
Urutan EBM dari yang kuat ke lemah adalah; pertama, Class I. Level ini didapatkan dari penelitian randomiced control trial. Penelitian ini melibatkan banyak orang coba yang dibandingkan antara kelompok yang diberi obat baru dan yang tidak mendapatkan pengobatan. Pemilihan sampel juga dilakukan acak (randomisasi). Level Class I ini memberi rekomendasi bahwa terapi ini sangat menguntungkan pasien dengan risiko sangat kecil
Level berikutnya adalah Class II. Di level didapatkan dari penelitian cohort study, atau case control study yakni sebuah penelitian yang melihat perjalanan sebuah penyakit yang diterapi tanpa memberikan intervensi aktif terhadap penyakit tersebut. Level Clas II memberi rekomendasi bahwa terapi ini masuk akal (reasonable) dan bisa dipertimbangkan (may be considered) untuk diberikan ke pasien walaupun tingkat kekhasiatannya tidak sebagus Level I.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penemuan Terapi Baru
Terapi baru (baik obat maupun tindakan medis) pada umumnya menjalani proses penelitian ilmiah yang sangat panjang. Penemuan obat baru dimulai dengan uji pre-klinik, atau uji laboratorium menggunakan hewan coba untuk mengetahui keamanan dan kekhasiatan obat baru tersebut. Banyak sekali parameter penelitian sampai tingkat biomelekular dan bioseluler untuk memastikan manfaat dari obat baru tersebut.
Bila hasil penelitian laboratorium dinyatakan tidak aman, maka penelitian tersebut dihentikan. Bila penelitian pre-klinik berhasil dan dinyatakan aman, maka bisa dilanjutkan ke tahap berikutnya yang melibatkan manusia, disebut penelitian klinis. Tahap ini sangat ketat; pada awalnya diujicobakan kepada manusia sehat untuk dilihat dampak toksisitas obat terhadap tubuh yang sehat, penelitian untuk evaluasi semua dampak obat terhadap organ tubuh baik jangka pendek maupun jangka panjang.
Bila tahap tersebut lolos, maka akan dilanjukan kepada tahap berikutnya yakni uji kekhasiatan pada pasien yang sakit. Target utama penelitian ini mengetahui khasiat obat baru. Setelah penelitian ini selesai, maka obat akan didaftarkan kepada otoritas sebuah negara untuk mendapat izin pemasaran. Dan, para dokter pun baru berani memberikan terapi ini kepada pasiennya.
Setelah obat dipasarkan, dilanjutkan penelitian tahap berikutnya yakni temuan efek samping atau efek ikutan dari terapi setelah digunakan oleh orang banyak. Banyak sekali obat yang awalnya dinyatakan aman dan berkhasiat dalam perjalanannya harus ditarik dan dilarang beredar setelah ada dampak negatif dari hasil penelitian tahap terakhir ini.
EBM Brain Wash?
Sepanjang pengetahuan saya, sampai saat ini belum banyak jurnal yang mempublikasikan tentang sebuah terapi brain wash ini, baik penelitian pre-klinik maupun penelitian klinik. Hanya ada satu penelitian yang dipublikasikan oleh penemunya sebagai disertasi, dan itu pun belum terlalu ideal untuk dianalisis level EBM-nya
Indikasi terapi brain wash juga belum bisa disebutkan secara jelas, apakah hanya untuk pasien stroke atau penyakit otak yang lain seperti parkinson, demensia, dan lain-lain. Bila brain wash digunakan sebagai terapi stroke sampai saat ini jurnal internasional terkemuka di dunia masih memberi level EBM tinggi untuk terapi stroke sumbatan dengan terapi trombolisis intravena atau trombectomy, (bukan brain wash) --dan itu pun syarat dan cara pemberiannya sangat ketat.
Memang ada tindakan intervensi untuk penyakit stroke, disebut Digital Subtraction Angiography (DSA), sebuah prosedur memasukkan alat ke pembuluh darah otak dengan bantuan alat radiologis canggih. Tetapi tindakan ini bukan terapi definitif, melainkan prosedur diagnostis.
Lalu, bagaimana dengan manfaat terapi yang dirasakan ratusan bahkan ribuan pasien dalam bentuk testimoni; bukankah sudah banyak yang sembuh dan membaik dengan terapi ini? Dalam kaidah ilmu kedokteran, testimoni bukan termasuk level EBM, karena testimoni merupakan pengakuan subjektif, dan tidak ada parameter yang jelas.
Maka langkah yang terbaik untuk membuktikan level EBM brain wash dengan memperbanyak penelitian, baik penelitian laboratoris maupun penelitian klinis. Dan, semua parameter penelitian harus terbuka dan bisa diulang oleh peneliti lain untuk diambil kesimpulan level EBM-nya.
Semua pihak harus mendukung inovasi terapi terbaru, apalagi temuan tersebut dicetuskan anak bangsa yang merupakan kebanggaan bagi kita semua. Namun, terapi baru tersebut harus tetap berpihak kepada kaidah ilmiah baku, karena bila sebuah terapi baru tanpa pijakan ilmiah kuat sangat tidak etis diberikan ke pasien, dan berpotensi jatuh kepada pseudo-sains.
Badrul Munir dosen FK Universitas Brawijaya dan Co-Editor Malang Neurology Journal (MNJ)