Cadar, Konde, dan Kepemimpinan Perempuan
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom Kalis

Cadar, Konde, dan Kepemimpinan Perempuan

Jumat, 06 Apr 2018 14:50 WIB
Kalis Mardiasih
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Kalis Mardiasih (Ilustrasi: Kiagoos Auliansyah/detikcom)
Jakarta - Puisi Sukmawati Soekarno Putri disebut-sebut seolah mewakili nasionalisme, sedangkan beberapa pihak yang menyambung dengan kesempatan berbalas retorika untuk mengkonfrontasi, seolah mewakili umat Islam yang merasa sakit hati. Sikap tidak terima itu bersumber dari kata 'cadar' dan 'azan', dua elemen sakral dalam keberagamaan muslim, yang ditempatkan dalam posisi tidak lebih baik dari 'konde' dan 'kidung' Ibu Indonesia versi Sukmawati.

Konon, hari ini (6/4), aksi bela Islam 64 digelar di Jakarta, dimulai dari Masjid Istiqlal menuju Bareskrim Polri di Gedung Kementrian Kelautan dan Perikanan, Jakarta Pusat. Dedi Suhardadi, pengurus Persaudaraan Alumni (PA) 212 mengklaim aksi ini dihadiri kira-kira 10 ribu massa.

Perdebatan yang mengemuka adalah Islam yang dihina dalam puisi. Namun, persoalan yang sebetulnya ironi namun terlewat untuk dibahas dalam entitas perempuan yang menjadi subjek ribut-ribut pekan ini adalah fakta bahwa, lagi-lagi, perdebatan tentang perempuan sedangkal simbol-simbol yang melekat padanya. Perempuan dibicarakan karena sari konde, cadar, atau kain yang membalut tubuhnya. Dengan istilah lain, posisi tawar perempuan diperhitungkan berdasarkan sesuatu yang bukan berasal dari gagasannya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Perempuan buruh industri yang berangkat pagi hari dan antre keluar dari area pabrik ketika magrib menjelang, tidak perlu ribut-ribut atribut. Di era industrialisasi ini, pendapatan perempuan tidak lagi bersifat komplementer yang menambal sulam pendapatan suami, namun bisa jadi telah banyak yang merupakan pendapatan utama dalam keluarga. Di sebuah area industri Jalan Yogya-Magelang, perempuan buruh industri bekerja, dijemput pada sore hari oleh suami mereka yang pendapatannya tidak lagi cukup untuk kebutuhan keluarga dan ongkos pendidikan anak-anak.

Para perempuan bekerja ini perlu perdebatan untuk topik cuti menstruasi dan cuti hamil, hak gaji layak dalam situasi kerja berdiri belasan jam tanpa istirahat, jaminan keamanan dan perlindungan kerja yang minim, pembentukan serikat pekerja yang peduli isu perempuan, hingga risiko pelecehan dan kekerasan di lingkungan kerja yang kian tinggi.

Perdebatan soal atribut konde dan cadar sesungguhnya menggelikan, dan sungguh salah zaman. Kabinet Indonesia Hebat mengapresiasi kepemimpinan perempuan dengan tampilnya delapan pemimpin perempuan sebagai menteri. Kinerja pemimpin perempuan itu sangat membanggakan. Susi Pudjiastuti, perempuan berkonde itu, melakukan reformasi birokrasi di tubuh Kementerian Kelautan dan Perikanan. Ia produktif dalam mengeluarkan kebijakan mengenai pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan, moratorium izin kapal asing menangkap ikan di Indonesia, larangan menggunakan cantrang, hingga pemboman kapal asing yang mencuri ikan di perairan Indonesia.

Khofifah Indar Parawansa sudah sejak lama menjadi satu dari sedikit perempuan berjilbab yang memimpin di panggung politik nasional. Ia teruji sebagai Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan pada 1999-2001, sebagai Ketua Muslimat Nahdlatul Ulama, dan sebagai Menteri Sosial yang menurut data BPS berhasil menurunkan angka kemiskinan hingga 1,19 juta orang. Di dalam tubuh Nahdlatul Ulama, rahim yang melahirkan, menempa kapasitas sekaligus membesarkan namanya, Khofifah masih berhadapan dengan perdebatan tradisional apakah perempuan boleh atau haram menjadi pemimpin.

Tetapi, bukti nyata dan kiprah dalam masyarakat seringkali membuat orang tidak tertarik lagi untuk menyoal hukum halal-haram. Khofifah, dengan jilbabnya, mampu mengambil peran dan memberikan maslahat, adalah bukti cukup bahwa perempuan (muslimah) boleh jadi subjek utama di panggung politik.

Kepemimpinan perempuan diperlukan. Jika pemimpin adalah subjek, maka kepemimpinan adalah apa-apa yang sedang dan telah dilakukan oleh subjek pemimpin. Setiap pemimpin memerlukan modal sosial untuk melaksanakan kepemimpinan. Kepemimpinan yang bagaimana? Dan, kenapa laki-laki yang memimpin seakan-akan tidak cukup bisa menjalankan kebijakan yang hanya mungkin lahir dari kepemimpinan perempuan? Inilah inti diskusinya.

Jika modal sosial didefinisikan sebagai sumber daya yang dapat dipandang menjadi investasi untuk mendapatkan sumber daya baru, maka modal sosial paling berharga yang dimiliki perempuan pemimpin sesungguhnya adalah pengalaman sebagai perempuan. Pengalaman perempuan lahir dari kondisi terberi, yakni hal-hal biologis perempuan yang berbeda dari laki-laki, misalnya struktur reproduksi yang lebih kompleks. Selain itu, pengalaman hidup dalam struktur kebudayaan yang didominasi oleh kebudayaan laki-laki, sehingga memunculkan kenyataan bahwa keadilan relasi perempuan dan laki-laki memang perlu disuarakan. Hal ini yang disebut sebagai perspektif.

Perspektif yang sensitif keadilan relasi perempuan dan laki-laki memang dapat lahir dari perempuan maupun laki-laki, tetapi pengalaman sebagai sesuatu yang sangat khas dan orisinal lebih dapat memunculkan peluang itu.

Kebijakan lokasi menyusui di ruang publik, terbentuknya woman crisis center, kebijakan cuti melahirkan, anggaran bantuan untuk ibu hamil yang miskin hingga perbaikan gizi balita dari keluarga kurang mampu, rancangan undang-undang yang berpihak pada korban perkosaan, muncul dari sejarah gerakan perempuan yang panjang dengan pergulatan ide dan represi sosial yang mengagumkan.

Politisasi tubuh perempuan, baik lewat atribut yang melingkupi tubuh maupun aturan-aturan yang mengatur posisi di mana seharusnya perempuan berkiprah seperti apa yang dilakukan Soeharto, adalah perilaku arkaik yang kontraproduktif. Perempuan di desa-desa perlu dukungan untuk akses pendidikan lebih tinggi agar mereka segera keluar dari lingkaran setan keterbatasan ekonomi yang menjadikan mereka sebagai korban kawin anak.

Realitanya, perempuan sangat rentan menjadi korban kekerasan, korban jual beli manusia, korban eksploitasi, rehabilitasi ODHA yang menstigma negatif perempuan, dan korban pertaruhan nyawa akibat akses fasilitas kesehatan yang tidak memadai dan tidak sensitif terhadap kebutuhan reproduksi perempuan yang berbeda dari laki-laki.

Dalam talkshow Menakar Kiprah Khofifah di saluran TV CNN Indonesia, Khofifah memunculkan istilah gender harmonious partnership, sebuah hubungan kesalingan antara perempuan dan laki-laki yang menghasilkan harmoni. Istilah itu cukup menarik untuk ditelaah, dan sangat khas perempuan. Hal-hal semacam inilah yang perlu digaris bawahi, bahwa mendorong perempuan untuk tampil ke muka publik sesungguhnya bukan semata jumlah, tetapi apakah para perempuan memiliki suara yang khas sehingga produktif menghasilkan kebijakan yang punya perspektif adil gender.

Jika ribut-ribut konde dan cadar ini terbukti sebatas alat untuk mencari panggung bagi pihak-pihak yang berkebutuhan untuk politik elektoral, apalagi sebatas instrumen untuk meluaskan sebaran ujaran kebencian tanpa melibatkan pengalaman dan perspektif perempuan yang sejati, sebaiknya kita bersepakat untuk tidak membicarakannya lagi.

Kalis Mardiasih menulis opini dan menerjemah. Aktif sebagai periset dan tim media kreatif Jaringan Nasional Gusdurian dalam menyampaikan pesan-pesan toleransi dan kampanye #IndonesiaRumahBersama. Dapat disapa lewat @mardiasih

(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads