Ketjil Bergerak melalui Sekolah Kota, dan Komunitas Sraddha melalui Kelas Sastra Jawa membuktikan perkataan bapak bangsa itu. Akhir Februari lalu, Komunitas Ketjil Bergerak yang diinisiasi Vaninda dan Greg Sindana mengajak 30 anak muda dari Yogyakarta dan sekitarnya untuk belajar ihwal sejarah perkembangan kerajaan-kerajaan di Jawa sampai masa Mataram Islam. Kelas berformat 60% cerita dan 40% jalan-jalan.
Pemberian materi seputar perkembangan kerajaan-kerajaan di Jawa sampai masa Mataram Islam oleh Greg dilanjutkan dengan diskusi terbuka dengan para peserta yang didominasi oleh mahasiswa. Para peserta juga diajak berkunjung ke situs Batu Gilang, Batu Gantheng, Batu Genthong, serta makam raja-raja Mataram Islam di Kotagede.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dari wajah-wajah para abdi dalem di sana, kami belajar memaknai cinta kasih kepada para raja yang telah berjasa bagi perkembangan wilayah di sekitar kerajaan Mataram Islam dan lebih luas lagi bagi kekayaan sejarah-budaya-intelektual yang menjadi semangat pembentukan negara Indonesia di kemudian hari. Komunitas Sraddha pada pertemuan pertama dari serangkaian pertemuan yang melibatkan anak-anak muda dan bahkan orang-orang dewasa di Museum Radya Pustaka Solo memulai Kelas Empat pada pertengahan Maret lalu.
Sekolah Kota #2
Sekolah Kota merupakan program yang diikhtiarkan rutin digelar dua bulan sekali. Sementara di bulan lainnya, diadakan Sekolah Desa. Sekolah Kota dan Sekolah Desa saling berbagi bulan sebagai wadah bertemunya para pemuda βyang menyitir kredo Ketjil Bergerak sebagaiβ yang kreatif, berani, dan berdikari. Setiap sesi Sekolah Kota sangat mungkin diikuti oleh peserta yang berbeda. Sebab memang tidak ada kewajiban bagi peserta untuk terus turut serta dalam sekolah kota.
Juga, setiap sesi Sekolah Kota mengangkat tema masing-masing yang tidak saling terkait dengan tema Sekolah Kota sebelumnya. Februari lalu merupakan Sekolah Kota #2 dengan tema Kerajaan-kerajaan di Jawa dari Abad ke-1 Sampai Mataram Islam.
Pola pembelajaran yang santai dan tak eksklusif antara sosok guru dengan murid membuat suasana mengenal sejarah kerajaan-kerajaan Jawa menjadi menyenangkan. Siapapun boleh menyanggah, mempertanyakan ulang, mengutarakan pengetahuannya ihwal sejarah kerajaan-kerajaan di Jawa yang telah disampaikan oleh pemateri.
Sejarah panjang ihwal kerajaan-kerajaan di Jawa yang dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah formal membutuhkan beberapa kali pertemuan cukup dibahas dalam satu tempo yang kurang lebih 3 jam. Sekolah Kota kala itu jelas tak memberi pengertian yang cukup ihwal sejarah kerajaan-kerajaan di Jawa. Tetapi cukup dalam memberi pengantar yang menceritakan bagaimana perjalanan waktu merekam perkembangan kerajaan-kerajaan di Jawa bersifat persemakmuran yang melibatkan para raja dari garis keturunan yang linier. Sebelum akhirnya Mataram Islam berdiri dan kemudian berjaya.
Sejarah kerajaan-kerajaan di Jawa juga menjadi bukti bahwasanya kebhinekaan atau keberagaman bukan hal yang baru. Candi Prambanan dan Borobudur menjadi bukti kokohnya dua keyakinan berbeda yang tak saling mencederai semasa Mataram Kuno. Hingga kini, wisatawan yang pergi ke Prambanan masih bisa menjumpai kuatnya kebhinekaan di masa lalu melalui keberadaan candi-candi Hindu-Budha yang letaknya berdampingan di satu kawasan lapang yang hijau nun teduh.
Kemudian Mataram Islam lahir, bentuk kerajaannya memang bukan lagi persemakmuran melainkan kesatuan. Inilah salah satu cikal bakal keberadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berkredo bhinneka tunggal ika.
Kelas Empat
Komunitas Sraddha mendaku diri sebagai wadah pembelajaran amatir nan serius bagi pencinta kesusasteraan Jawa. Sadar betapa perjalanan hari turut mengikis jumlah sumberdaya ahli sastra Jawa, membuat para pemuda lintas disiplin keilmuan yang sama-sama memiliki kepedulian terhadap keberhidupan sastra Jawa sepakat merancang gairah mimpi-mimpi pelestarian dalam suatu komunitas.
Di awal pembentukannya, ada suara sumir yang mengatakan bahwa geliat komunitas sastra Jawa akan mengancam keberhidupan bahasa Indonesia. Ini tentu sekadar satir yang berlebihan. Kenyataannya, bukankah bahasa asing yang dengan pasti menggerus kepercayaan diri kita ihwal bahasa Indonesia dan bahasa daerah? Mari kita tilik apa-apa yang ada di sekitar kita, terutama apa-apa yang melekat pada tubuh kita sebagai permulaan. Apa yang tidak bernuansa "asing" dalam keseharian kita, tampaknya kita susah memberi jawab.
Program Kelas Empat yang diinisiasi Komunitas Sraddha merupakan lanjutan dari program sebelumnya: Kelas Satu, Dua, dan Tiga. Kelas Empat bermula pada 18 Maret dan akan berakhir pada 19-20 Mei 2018 yang antara lain mendiskusikan Suluk Pepeling Seh Bahri, Serat Tripama Mangkunega IV, Angger-angger Jawi, Kawruh Sinjang, Babad Madura karya Paku Buwana VII, Kancil Amongsastra, dan akan ditutup dengan kelas lapangan ke situs bersejarah di kota tertentu.
Kelas Empat digelar di ruang temu Museum Radya Pustaka yang terletak di pusat Kota Surakarta. Setiap minggu selepas agenda bebas asap kendaraan di Jalan Slamet Riyadi, puluhan muda-mudi dan beberapa orang dewasa berkumpul untuk menyimak materi dan kemudian mendiskusikannya.
Rendra Augusta, salah satu penggerak Komunitas Sraddha di awal Kelas Empat sudah memberi kawruh, bahwa peserta kelas tidak sekadar hadir untuk mendengarkan materi tetapi boleh membantah pemateri. Rendra juga tak capai memberi pengertian betapa Komunitas Sraddha tidak akan mampu memberi jawaban yang 100% benar ihwal suatu pokok bahasan.
Komunitas Sraddha mendaulat diri sebagai tempat berkumpulnya manusia-manusia penanya yang tak pernah puas dengan satu jawaban, melainkan terus mencari kemungkinan jawaban lain.
Tak Pesimistis
Ketjil Bergerak dengan beragam kegiatannya dan Komunitas Sraddha dengan kelas-kelas diskusinya menjadi bukti kecil yang nyata akan kekuatan kolektif alternatif dalam masyarakat. Komunitas-komunitas tak hendak ambisius menjadi pejuang bangsa dan negara melalui jalur formil berpolitik, melainkan melalui jalur yang lebih humanis dan cenderung mengambil jarak dengan para elite politik atawa pemerintahan.
Komunitas-komunitas memberdayakan para pemuda dan masyarakat dengan kerja-kerja alternatif yang lebih nyata dampaknya bagi kemajuan berbangsa apabila skala kegiatannya terus ditambah baik secara kualitas maupun kuantitas.
Sentuhan kegiatan komunitas-komunitas alternatif yang memilih lingkup masyarakat yang paling dasar seperti masyarakat desa membuktikan perkataan Bung Hatta, Daoed Joesoef, serta Emha Ainun Nadjib bahwasanya pertama-tama ialah desa yang membentuk Indonesia. Bahwa kemajuan dan kemakmuran bangsa Indonesia bermuasal dari kemaslahatan masyarakat di tataran desa. Dan, bahwa komunitas-komunitas alternatif melibatkan penuh energi para muda-mudi, itu menjadi satu bentuk optimisme yang nyata dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tsah!
Rizka Nur Laily Muallifa tertarik dengan isu seputar perempuan, lingkungan, dan seni-budaya, berumah maya di @lailymuallifa
(mmu/mmu)











































