Menteri BUMN Rini Sumarno yakin, revitalisasi bangunan heritage yang bercokol di telatah Karanganyar ini sanggup menjadi besi sembrani bagi wisatawan nasional dan mancanegara. Maka, ragat puluhan miliar digelontorkan demi merealisasikan mimpi tersebut. Megaproyek revitalisasi itu tak mengubah karakter bangunan, bahkan tetap meletakkan mesin produksi di tempat semula, serta memakai lagi perabot asli pabrik gula.
Bekas pabrik gula ini bagaikan kereta waktu, yang melemparkan imajinasi historis kita untuk mencoba mengerti apa yang telah terjadi di masa lampau. Menatap beberapa jenak kemegahan bangunan kusam yang berada di dekat Bandara Adi Sumarmo itu, seakan membujuk kita menggali setumpuk kisah gemilang, unik, dan inspiratif yang terpendam di sana. Makna sejarah pabrik bekas milik istana Mangkunegaran ini patut dibedah dan dikabarkan pada anak negeri.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Disorot dari kacamata sejarah kebangsawanan Jawa, keluarga aristokrat Mangkunegaran memang tergolong unik (untuk tidak mengatakan aneh). Fakta umum bahwa bangsawan dan priayi tradisional mempunyai etos kerja lembek atau ide tumpul lantaran hidup mereka sudah nyaman dan aman dengan setoran pajak para kawula yang dibungkus lewat pepatah klasik: asok bulu bekti glondong pangareng-areng. Ringkasnya, mereka tak terbiasa dengan bakulan (bisnis). Malah hidup sebuah persepsi bahwa bangsawan yang kala itu menggeluti bisnis bakal melorot martabat dan harga dirinya. Kelompok darah biru dipandang saru dan memalukan bila menggeluti niaga.
Beda dengan nasib Praja Mangkunegaran. Dari rahim istana kecil itu, lahir aristokrat yang menggeluti bisnis, dan pikirannya melampaui zaman. Kreativitas dan kejelian pembesar Mangkunegaran "membaca" zaman nyaris tak dipunyai bangsawan kerajaan lainnya. Kejawaan sebagai identitas tersendiri juga tidak membelenggu upaya keras petinggi Mangkunegaran merealisasikan gagasannya dalam balutan modernitas. Menyulap sawah dengan membangun pabrik gula adalah bukti kreativitas Gusti Mangkunagara yang tak elok untuk diremehkan.
Berkat usaha industri pabrik gula di Colomadu dan Tasikmadu yang dijalankan dengan manajemen yang rapi, setumpuk utang Mangkunegaran terhadap pemerintah kolonial Belanda mampu dilunasi. Lebih jauh lagi, Mangkunegaran menyulap istana begitu keren dan membangun pendapa termegah di Asia Tenggara gara-gara keuntungan yang direguk dari butiran-butiran gula yang diekspor itu. Selagi bisnis komoditas ekspor ini tidak goyah, roda pemerintahan Mangkunegaran pun melaju kencang untuk menata wilayah kekuasaan dan memperbaiki kualitas hidup masyarakatnya.
Sungguh suatu kebanggaan kolektif bahwa diam-diam kecermerlangan pemikiran Mangkunagara IV dan kejayaan PG Colomadu pernah mencuri perhatian raja Negeri Gajah Putih (Thailand). Karena dianggap tamu agung, kedatangan penguasa tersebut di telatah Solo diberitakan Koran Darmo Kondo. Dua dasarawarsa pada abad XX, penguasa dari luar negeri itu mendatangi Mangkunagara VII (1916-1944) untuk belajar pengelolaan pabrik dan sistem teknologinya. Kenyataan ini memperlihatkan dengan gamblang bahwa jaringan di Asia mampu dianyam lewat tangan kreatif dan otak cerdas pribumi, bahkan membuat kagum tamu asing.
Nyata bahwa situs PG Colomadu bukan saja dipahami sebagai objek sejarah lokal, tapi jejak sejarah industri di Nusantara yang menasbihkan Mangkunegaran sebagai gudangnya orang berpikiran maju. Di samping itu, melalui PG Colomadu, istana Mangkunegaran sendiri merupakan pelopor bagi spesialisasi industri modern yang ditekuni orang pribumi (Indonesia), sekaligus sebagai seorang yang berpikiran progresif. Kedekatan dengan komunitas asing dimanfaatkan untuk mengembangkan usahanya dengan menempatkan mereka sebagai teknisi, bukan majikan!
PG Colomadu laksana monumen agung yang mengekalkan cerita kejawaan sebagai identitas tersendiri ternyata juga tidak membelenggu upaya keras petinggi Mangkunegaran merealisasikan gagasannya dalam balutan modernitas. Ketekatannya mendirikan pabrik gula dipadu dengan kemampuan membangun jaringan.
Kreativitas dan etos kerja merupakan modal berharga selain uang. Mangkunegara IV memupuk semangat generasi penerusnya dalam berkarya di bidang ekonomi, selain lebih hati-hati dalam mengelola usaha. Menekuni sektor industri bertopang ingatan kolektif tentu mempertebal rasa percaya diri dan membulatkan tekad. Puncak kata, De Tjolomadoe sebagai destinasi wisata di Indonesia merupakan langkah tepat untuk sarana pembelajaran publik di era ekonomi kreatif ini. Jangan sampai kegiatan wisata tersebut hanya memburu gebyar tanpa edukasi sejarah yang kontekstual.
Heri Priyatmoko, M.A dosen Prodi Sejarah Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma, lahir di Solo
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini