Posisi Pengemudi dalam Industri Transportasi Online
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Posisi Pengemudi dalam Industri Transportasi Online

Kamis, 05 Apr 2018 13:56 WIB
Alih Nugroho
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Demo driver transportasi online menuntut kenaikan tarif
Jakarta -

Jasa transportasi berbasis daring menjadi fenomena yang mampu menarik perhatian masyarakat. Kemunculannya menjadi seperti oase di padang gurun. Jumlah armadanya pun tumbuh subur. Pada 2018, menurut pendiri dan CEO Go-jek Nadiem Makarim, jumlah pengemudi transportasi daring tembus di angka 1 juta orang yang tersebar di 50 daerah di Indonesia. Di Jakarta saja, menurut data dari Perwakilan Masyarakat Transportasi, menyerap 500.000 pekerja. Ini berarti pengendara Go-jek sudah menyerap lima persen penduduk Jakarta. Layanan yang dimiliki Go-jek dipakai secara aktif oleh 15 juta orang setiap minggunya. Setiap bulannya, lebih dari 100 juta transaksi terjadi di platform Go-Jek. Angka pertumbuhan yang fantastis mengingat keberadaannya belum ada sewindu.

Namun, fenomena tersebut nyaris tanpa regulasi yang memayungi. Terlebih pada hubungan industrial yang terbentuk. Padahal, kejelasan hubungan industrial merupakan sesuatu yang krusial. Kaitannya dengan hak dan tanggung jawab antarkedua subyek. Alpanya regulasi yang menjadi jaring pengaman menjadikan posisi pengemudi menjadi rentan dan rawan dieksploitasi. Apalagi menurut Bernstein (2007), pekerjaan yang tidak stabil dari segi upah maupun keamanan kerja menjadi tren ekonomi kontemporer. Ditambah lagi tren pengubahan pekerjaan formal menjadi informal masif terjadi (Harvey, 2007).

Akibatnya, terjadi gelombang demonstrasi yang dilakukan oleh pengemudi. Pada November 2015, demo driver dipicu oleh penurunan tarif, dari 0.25$ menjadi 0.23$ per kilometer. Pada akhir 2015 demo kembali terjadi dengan skala yang lebih besar dan luas. Penyebabnya yaitu banyak driver yang diputus hubungan "kemitraan" secara sepihak karena dianggap melanggar peraturan dengan melakukan order fiktif.

Demo besar kembali terjadi pada akhir 2016. Ribuan driver memadati ruas Jakarta. Penyebabnya adalah penurunan tarif secara simultan, dari Rp 4.000 menjadi Rp 3.000, dan akhirnya menjadi Rp 2.000 per kilometer. Selain itu pihak Go-Jek juga mencoba menghilangkan bonus. Pada 2017 awal, demo besar yang melibatkan ribuan driver Go-jek kembali terjadi. Penyebabnya yaitu tarif dasar yang fluktuatif, serta disinyalir ada kecurangan dalam penghitungan bonus sehingga merugikan driver (Nastiti, 2017). Gelombang demo yang dilakukan oleh pengemudi merupakan reaksi atas perubahan kebijakan dari Go-Jek.

Terbaru, dua hari berturut-turut, Selasa dan Rabu (27-28/3/2018) ribuan pengemudi transportasi online menggelar aksi demonstrasi di depan Istana Negara, Jakarta. Sehari sebelumnya, di Medan juga terjadi aksi serupa. Ratusan pengemudi ojek online lintas platform menggelar aksi di depan kantor Go-Jek dan Grab di Komplek CBD Polonia (26/3/2018).

Ilusi Kebebasan di Balik "Kemitraan"

Perusahaan jasa transportasi daring baik Gojek, Grab, maupun Uber menyebut pengemudi dengan sebutan "mitra". Hubungan kemitraan menjadikan seakan-akan terjalin interaksi yang setara dan pengemudi dapat menentukan berapa banyak uang yang akan mereka hasilkan, kapan pun mereka mau.

Kondisi ideal tersebut tampaknya sulit ditemui penerapannya di lapangan. Memang benar bahwa pengemudi dapat memutuskan untuk memastikan aplikasi kapan pun mereka mau. Namun kenyataan tak sesederhana itu. Sesudah masuk ke aplikasi, menurut Nastiti (2017) program tersebut mengontrol pengemudi, dari mulai ke mana mereka pergi, pesanan apa yang mereka ambil, pilihan pekerjaan datang hanya dalam hitungan detik.

Pengemudi hanya memiliki waktu 10 detik untuk memilih "terima" atau "menolak" order yang ditujukan pada mereka. Tarif yang dipasang cenderung rendah (Rp 1.000-2.000 per kilometer untuk ojek) sehingga tidak mencukupi kebutuhan hidup. Kebanyakan driver bergantung pada bonus harian sebagai pendapatan utama. Bonus diberikan berdasarkan poin. Agar bisa mengambil bonus, driver harus meraih 60-75% rata-rata tingkat penerimaan pesanan dan mendapatkan rating 4,5 dari penumpang.

Kerja pengemudi tidak sesederhana menjemput dan mengantar penumpang, namun ada permainan matematika yang harus terus dipikirkan. Mulai dari mengkalkulasi poin, bonus, persentase performa, dan rating agar mendapat upah yang cukup.

Menurut seorang pengemudi, untuk mendapatkan penghasilan yang cukup mereka harus bergantung pada sistem bonus. Untuk pengemudi Go-jek, 20 penumpang akan dikonversi menjadi 20 poin yang berarti bonus sebesar Rp 90.000. Masalahnya, untuk mendapatkan bonus tiap harinya pengemudi harus bekerja lebih dari 12 jam.

Dalam konsep sosiologi modern, menurut Michael Burawoy (1979) terjadi gamifications of work, kerja yang menyerupai permainan. Seakan-akan tidak ada paksaan (flexibility), namun sebenarnya ada banyak peraturan (rule of the game) yang "mengikat". Roethlisberger and William Dickson (dalam Burawoy, 1979) mengatakan bahwa pekerja memiliki aturan dan "logika" sendiri dalam bekerja. Game yang dibuat yaitu pola untuk mengalahkan diri sendiri, dengan reward dan capaian bonus yang ditetapkan oleh perusahaan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Keadaan tersebut menjadikan pekerja mengalami "prisoner's dilemma", yaitu keinginan individual pekerja untuk mendapatkan penghasilan semaksimal mungkin seperti jika dikerjakan secara kolektif. Padahal semakin lama semakin banyak yang ikut bermain "game". Sehingga permainan menjadi semakin sulit, dan terjadi kebuntuan.

Menggugat Aturan Kemitraan

Posisi pengemudi yang rawan serta bertambahnya kesewenang-wenangan perusahaan dalam mengubah aturan main menjadi bola salju resistensi. Ketidakadilan yang dirasakan setiap hari serta dengan kondisi di mana permainan semakin sulit dan insentif semakin turun, maka muncul kesadaran kritis dari pengemudi.

Pengemudi mulai menggugat aturan main di bawah dalih "kemitraan". Aturan tersebut menihilkan perjanjian kerja "rigid" yang mengikat seperti pekerja formal dengan perjanjian kontrak misalnya. Dengan karakteristik yang melekat seperti pekerjaan yang tidak menentu --jam kerja, kontrak kerja, jaminan kerja, lingkup kerja, atau secara umum dapat diartikan pekerja yang rawan-- maka bisa digolongkan sebagai kelompok pekerja informal. Terjadi informalisasi pekerja.

Perbedaannya, menurut Habibi (2017), yaitu pekerja formal memainkan fungsi 'pekerja aktif' di sektor inti kapital dan relatif memiliki kepastian kontrak kerja. Sementara pekerja informal berperan sebagai 'tentara cadangan pekerja' yang harus bekerja di sektor yang tidak aman dan rawan, dan berada di luar sektor inti sistem ekonomi modern.

Selain itu pengemudi mulai kritis terhadap apa yang dilakukan oleh pihak perusahaan hanya menguntungkan perusahaan. Potongan (atau disebut biaya aplikasi) yang dibebankan terlalu besar. Setiap pengemudi jika ingin mengakses aplikasi harus deposit dulu sejumlah uang. Setelah itu setiap transaksi dipotong 20% oleh pemilik aplikasi. Padahal biaya produksi semua ditanggung oleh pengemudi. Mulai dari penyediaan unit transportasi, perawatan, bahan bakar, sampai biaya paket internet dan pulsa semua ditanggung oleh pengemudi. Praktik yang terjadi adalah sharing profit but not sharing cost of productions.

Meningkatkan Bargaining Position Pengemudi

Masalah kerentanan pengemudi transportasi daring akan menjadi bola salju yang terus membesar. Kontradiksi yang terjadi tidak akan terdamaikan jika sistem "permainan" tidak diperbaiki. Kerentanan yang dirasakan oleh pengemudi akan menjadi bom waktu yang bisa meledak kapan pun dan di mana pun. Jumlah pertambahan pengemudi yang tidak terkontrol ditambah semakin pelik aturan terkait mendapatkan bonus menjadi pemantiknya.

Bagi pengemudi, untuk bisa mempengaruhi kebijakan perusahaan maka harus meningkatkan posisi tawarnya. Logika yang berlaku sama seperti buruh pada perusahaan manufaktur. Karena sejatinya siapapun yang tidak memiliki kuasa atas alat produksi adalah buruh. Dalam transportasi daring ini, alat produksi yang dimaksud adalah aplikasi. Jadi selain orang yang berkuasa atas aplikasi Go-Jek adalah buruh perusahaan tersebut. Sehingga agar suara kepentingan buruh didengar oleh perusahaan dan pemerintah harus memiliki wadah.

Salah satu wadah untuk menyalurkan kepentingan yang paling efektif dari buruh adalah serikat. Sejarah membuktikan dengan berserikat buruh menjadi lebih kuat. Tanpa adanya kesadaran kolektif antarpengemudi serta dibentuk wadah untuk bersatu maka buruh tidak akan mampu berjuang mendesakkan kepentingannya sebagai kelompok (Hadiz, 1997, 2002; Tornquist, 2004; Juliawan, 2009). Dengan pengemudi berserikat maka akan menaikkan bargaining position sehingga perusahaan tidak akan bisa bertindak sewenang-wenang. Tanpa penyatuan dari lapisan pengemudi yang muncul kesadaran spontan tersebut maka kerentanan dan ketidakadilan akan terus berlanjut.

Alih Aji Nugroho dosen STIA LAN Jakarta, penggiat MAP Corner-Klub MKP UGM yang tertarik pada isu-isu ekonomi-politik perburuhan

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads