Manis-Pahit Kopi Nasional
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Manis-Pahit Kopi Nasional

Senin, 02 Apr 2018 14:23 WIB
Fadly Rahman
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Manis-Pahit Kopi Nasional
Kebun kopi di Pasuruan (Foto: Muhajir Arifin/detikcom)
Jakarta - Pada 9-11 Maret lalu diadakan Pameran dan Ekspo Kopi Nusantara di Serpong, Tangerang. Acara yang diselenggarakan Dewan Kopi Indonesia (Dekopi) itu bertujuan mengembalikan kejayaan kopi nasional dengan menyatukan para stakeholder dan pemerintah. Selain mengadakan ekspo dan pameran, Ketua Dekopi Anton Apriantono juga mengusulkan 11 Maret sebagai Hari Kopi Nasional. Tujuannya, "agar masyarakat lebih tahu kopi kita."

"Kopi kita dikenal di mana-mana di sejumlah negara lain, tapi masyarakat kita tidak banyak yang tahu. Malah tahunya kopi impor. Betapa kayanya kopi kita dan dikenal dunia, kenapa kita kurang apresiasi," ujar Anton.

Apa yang dikehendaki Dekopi adalah salah satu bagian saja dari berbagai program dan perhelatan yang diadakan pemerintah dan swasta untuk mengangkat kejayaan kopi nasional. Pada 2016 misalnya, Kementerian Perdagangan meresmikan "Indonesia as 2016 Official Portrait Country" ketika Indonesia diundang mengikuti pameran Specialty Coffee Association of America (SCAA) di Atlanta, Georgia, Amerika Serikat (AS), 14-17 April 2016.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Berdasarkan survei statistik produksi kopi dunia versi International Coffee Organization, Indonesia adalah negara produsen kopi terbesar keempat di dunia (setelah Brazil, Vietnam, dan Kolombia). Saat itu, SCAA menjadi momen untuk unjuk diri ke dunia internasional bahwa jenis-jenis kopi Indonesia memiliki kualitas wahid di dunia. Ajang SCAA sendiri ditujukan agar para pengusaha kopi dapat meningkatkan ekspor kopi Indonesia ke AS. Pada 2015, AS menempati peringkat pertama sebagai negara tujuan ekspor kopi Indonesia, disusul Jepang, Jerman, Italia, dan Malaysia.

Identitas Bangsa

Itu dari segi kepentingan ekonomi. Hal menarik lainnya adalah wacana penebalan citra kopi lokal Indonesia sebagai identitas kebangsaan. Maksudnya, sejak dibudidayakan pertama kali tahun 1690 oleh Maskapai Dagang Hindia Timur (VOC) hingga masa sekarang, kopi di berbagai daerah di Indonesia terus berkembang ragamnya. Sebut saja kopi mulai dari Gayo (Aceh), Java Preanger (Jawa Barat), Toraja (Sulawesi), Flores (NTT), hingga Wamena (Papua).

Menariknya, ragam kopi lokal yang banyak diekspor ke mancanegara itu lebih dikenal oleh publik dunia sebagai kopi dari daerah asalnya (Gayo, Toraja, Flores, dan Wamena). Nama "Indonesia" sendiri tersembunyikan, atau terkesan berada di balik bayang-bayang pamor kopi lokal yang merujuk pada nama daerah asalnya itu.

Strategi pemasaran yang dilakukan pemerintah untuk mengedepankan pamor kopi Indonesia saat itu adalah menempatkan nama "Indonesia" di depan nama produk kopi lokal dalam setiap labelnya. Dengan begini diharapkan konsumen kopi dunia akan lebih mudah membayangkan Indonesia sebagai negara yang memiliki kekayaan ragam kopinya.

Secara tidak langsung keragaman kopi lokal bisa dimanfaatkan sebagai sarana menyiarkan nilai diversity in unity (Bhineka Tunggal Ika) ala Indonesia kepada konsumen kopi dunia. Idealnya begitu. Tapi, apakah di Indonesia sendiri masyarakat sudah memiliki perspektif demikian? Bagaimana bisa kopi menjadi sarana menumbuhkan rasa kebangsaan? Untuk mendapat jawabnya, tentu kita perlu sedikit menilik buktinya melalui perjalanan budaya dan sejarah konsumsi kopi.

Budaya dan Sejarah

Dalam buku All about Coffee (1922) yang ditulis William H. Ukers dijelaskan bahwa di dunia Barat minum kopi bukan sekedar urusan gaya hidup, tapi juga sebagai identitas kebersamaan. Di sana kedai kopi adalah ruang untuk berkumpul dan berdiskusi. Sejak biji-biji kopi (kahwa) diperkenalkan dari dunia Arab ke Barat oleh para pedagang Venezia sejak awal abad ke-17, setelah itu konsumsinya menyebar ke berbagai kawasan Eropa.

Pada abad ke-18, ratusan kedai kopi bertebaran di London. Setelah itu penyebarannya meluas ke Paris dan ratusan kedai kopi bertebaran di kota ini. Tokoh-tokoh penting yang kini menjadi simbol sejarah bangsa Perancis seperti Napoleon, Robespierre, Rousseau, Richelieu, Voltaire, dan Victor Hugo kerap mengunjungi kedai-kedai kopi. Tidak heran, dalam keseharian hidup masyarakat Eropa kedai kopi jadi semacam ruang yang berkesan untuk rendezvous.

Sejak abad ke-17, produksi kopi dari Jawa banyak diekspor ke Eropa. Jan Breman dalam bukunya Kolonial Profijt van Onvrije Arbeid: het Preanger Stelsel van Gedwongen Koffieteelt op Java (Keuntungan Kolonial dari Kerja Paksa: Penanaman Paksa Kopi Preanger Stelsel di Jawa, 2010) menerangkan bahwa para petani kopi saat itu dipaksa penguasa untuk menanam komoditas eksotis ini. Setelah itu, hasil panennya dijual sesuai harga yang ditetapkan VOC. Biji-biji kopi lalu disetor para penguasa lokal (bupati) ke petinggi VOC, lalu diangkut ke Amsterdam untuk dilelang. Biji-biji kopi dari Priangan pun menyebar ke Eropa.

Perekonomian Belanda melambung berkat niaga kopi. Tren minum kopi di Eropa pun terus berkembang. Adapun di Hindia sebagai negeri sumber kopi berasal, para petaninya justru tidak terintegrasikan secara langsung ke pasar. Sistem kapitalisme kolonial jelas adalah sebabnya. Wajar saat itu petani tidak turut menikmati kegairahan pasar kopi di dunia. Itulah mengapa, sekalipun negeri Hindia sohor sebagai produsen kopi berkualitas, tapi jangan dibayangkan memiliki budaya konsumsi kopi sama seperti di Eropa.

Akibat dari mahalnya nilai harga biji kopi, pemerintah kolonial bahkan melarang hingga memberi sanksi bagi para petani yang diketahui menyelundupkan biji kopi hingga mengkonsumsinya. Kasus menarik terjadi di Sumatra Barat; ketika aturan ini diberlakukan, rakyat bersiasat dengan memanfaatkan daun kopi untuk dirajang sebagai minuman yang diberi nama kawa daun (kopi daun). Bukti, rakyat di tanah jajahan tak lebih hanya menjadi kuli di negeri sendiri.

Tren Hari Ini

Lalu, bagaimana dengan tingkat konsumsi kopi di Indonesia saat ini? Jika merujuk data International Coffee Organization (ICO) tahun 2013, ternyata Indonesia tidak masuk dalam 50 daftar rata-rata konsumsi kopi per kapita per tahun di dunia (dibandingkan dengan produsen kopi lainnya, Brazil yang menempati urutan 10 dan Kolombia urutan 44). Namun, merujuk data ICO pula, terhitung sejak 2013 hingga 2017, tren konsumsi kopi di Indonesia mengalami peningkatan signifikan seiring dengan meningkatnya produksi kopi nasional yang diikuti tingginya permintaan impor dari berbagai negara.

Mengingat Indonesia produsen kopi keempat di dunia (dan kedua di dunia untuk produsen kopi arabika), amat patut bila budaya minum kopi ditanamkan dalam kehidupan masyarakat sebagai bagian dari identitas ke-Indonesia-an. Di Aceh dan Medan misalnya, budaya ngopi di kedai kopi begitu melekat dalam hidup keseharian masyarakatnya. Tapi, di banyak wilayah lain masih banyak dari masyarakat yang belum mengenal ragam citarasa kopi di Tanah Airnya sendiri.

Di kota-kota besar, tren minum kopi berkualitas cenderung tersedia di kafe-kafe "mentereng" yang banyak disambangi kalangan menengah ke atas. Relatif tingginya harga kopi-kopi berkualitas secara tidak langsung mempengaruhi selera ngopi masyarakat umum yang hanya sebatas mengkonsumsi produk-produk "kopi" kemasan berkualitas rendah.

Menggenjot "manisnya" produksi kopi nasional dan mempromosikannya ke mancanegara memang penting dilakukan. Tapi, yang lebih penting diperhatikan adalah bagaimana membudayakan terlebih dahulu konsumsi kopi di kalangan masyarakat Indonesia sendiri. Jangan sampai sejarah "pahit" kopi di Indonesia berulang: kita menjadi kuli di negeri sendiri.

Fadly Rahman sejarawan makanan Universitas Padjadjaran, penulis buku Jejak Rasa Nusantara: Sejarah Makanan Indonesia (2016)

(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads