Kelangkaan pasokan garam dipicu belumstabilnya produksi petani di dalam negeri. Sejak 2016 hingga sekarang, iklim memang tidak kondusif, menyebabkan produktivitas petani merosot hingga di bawah 90% darikapasitasnya. Awal 2017, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) merilis data produksi 2016 hanya 137.600 ton, setara dengan 4,6% dari target 3 juta ton. Sementara kebutuhan garam yang akan dipasok melalui impor, terkendala birokrasi.
Kekhawatiran akanterpuruknya nasib petani garam juga punya alasan. Pengalaman sebelumnya, setiap kali garam impor tiba di Tanah Air selalu diikuti dengananjloknya harga garam di tingkat petani. Akibatnya, harga garam petani bisa jatuh pada kisaran hanya Rp 200 per kilogram. Bandingkan dengan harga garam saat ini yang menyentuh angka Rp 2.000 per kilogram.
Neraca Garam
Seperti halnya komoditas pertanian, data produksi dan data kebutuhan garam nasional kerapkali menjadi polemik di antara pemerintahan sendiri. KKP, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan adalah tiga kementerian yang sering berbeda dalam penyajian data garam. Sementara Badan Pusat Statistik (BPS) masih terus berpangku tangan karena kendala keterbatasan anggaran, walau hanya sekadar untuk memasukkan komoditas garam dalam sensus mereka. Di tengah ketidakpastian neraca garam itulah kebijakan impor garam diputuskan.
KKP, yang telah memiliki Program Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat (PUGaR) sejak 2011, sebetulnya memiliki akses yang lebih luas mendapatkan data produksi garam secara nasional. Seluruh kabupaten dan kota yang memiliki tambak garam mendapat sentuhan PUGaR, sehingga data luas lahan, produktivitas lahan, bahkan jumlah petani garam dimiliki KKP. Karena itu, KKP memiliki data produksi garam nasional lebih akurat ketimbang kementerian lain, termasuk BPS. Kondisi inilah yang mendasari mengapa KKP diberikan otoritas merekomendasikan berapa volume impor garam. Otoritas ini melekat dalam UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani Garam (UU No.7/2016).
Sebagai ilustrasi, KKP dalam 3 tahun terakhir merilis angka produksi garam dari 2,5 juta ton pada 2014, meningkat menjadi 2,9 juta pada 2015, lalu pada 2016 anjlok ke posisi 137.600 ton. Produktivitas tersebut berkorelasi dengan lamanya musim produksi 5 bulan pada 2014, 6 bulan pada 2015 dan kurang lebih hanya 1 bulan pada 2016. Kita masih menunggu rilis resmi dari KKP untuk produksi 2017. Rilis data secara reguler semakin meneguhkan bahwa KKP yang paling kredibel soal data produksi garam nasional.
Sementara itu, tren pertumbuhan kebutuhan garam nasional menunjukkan angka yang terus meningkat. Pada 2013 kebutuhan garam nasional 3,573 juta ton (2,027 juta ton garam industri dan 1,546 juta ton garam konsumsi). Tahun 2014 kebutuhan garam nasional meningkat menjadi 3,601 juta ton (2,128 juta ton garam industri dan 1,483 juta ton garam konsumsi), lalu meningkat menjadi 3,8 juta ton pada 2015 (2,1 juta ton garam industri dan 1,7 juta ton garam konsumsi).
Berbasis kecenderungan data kebutuhan garam industri yang tumbuh rata-rata 10% per tahun, maka rekomendasi impor yang dikeluarkan KKP sebesar 2,37 juta ton sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan garam industri 2018. Agak aneh jika industri masih menuntut rekomendasi impor garam lebih dari itu, karena sesuai tren pertumbuhan tiga tahun terakhir, kebutuhan garam industri diperkirakan hanya 2,2 juta ton. Jika impor tetap dipaksakan hingga mencapai 3 juta ton, maka dipastikan akan mengulang tragedi lama, ketika garam impor masuk semester kedua 2018, harga garam di tingkat petani akan terhempas di kisaran Rp 300 per kilogram.
Berdayakan Petani Garam
Kebijakan sudah ditetapkan, garam impor dari Australia dan India segera melenggang masuk di pelabuhan-pelabuhan kita. Lantas bagaimana nasib petani garam? Sambil mengawasi pelaksanaan impor agar tidak melampaui kebutuhan industri dan tidak menggerogoti pangsa pasar garam rakyat, KKP saatnya meningkatkan program perlindungan dan pemberdayaan petani garam.
Kini saatnya kembali melaksanakan UU Nomor 7 tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan dan Petani Garam, agar petani garam tetap terlindungi di tengah gempuran garam impor. UU tersebut mengamanahkan kepada KKP agar menyelenggarakan program perlindungan dan pemberdayaan petani garam. Program tersebut mencakup (1) penyediaan sarana dan prasarana usaha, (2) memberikan kepastian usaha yang berkelanjutan, (3) meningkatkan kemampuan dan kapasitas petani garam, (4) menghadirkan sistem pembiayaan yang mudah diakses, (5) perlindungan dari risiko bencana alam, serta (6) memberikan jaminan keamanan dan keselamatan serta bantuan hukum.
Salah satu kelemahan mendasar pergaraman rakyat, karena tambak garam terfragmentasi kecil-kecil sehingga sulit mendapatkan hasil yang optimal dan berkualitas. Untuk menghasilkan garam yang berkualitas dengan produktivitas tinggi, perlu hamparan luas dan terintegrasi. Karena itu, pendekatan klaster relevan untuk diinisiasi dan didukung bersama. Tambak rakyat ditata ulang secara partisipatif untuk membentuk klaster-klaster berukuran minimal 100 hektar per klaster.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Klasterisasi tambak garam seyogianya diikuti korporatisasi petani garam. Bekerja secara melembaga perlu dipromosikan kepada petani garam, sebab terus bertahan pada pola individual-parsial akan menyulitkan mereka untuk meningkatkan produktivitas dan mutu produknya. Bertahan pada pola produksi lama tidak akan mampu menghasilkan garam substitusi impor.
Klasterisasi dan korporatisasi petani garam perlu dukungan infrastruktur irigasi, waduk, dan jalan-jalan di dalam kawasan. Irigasi dan waduk akan menjamin pasokan air laut sesuai kebutuhan petani. Jalan-jalan di dalam dan di sekitar klaster akan memudahkan petani dalam distribusi produk garam mereka.
Mengubah perilaku petani berbarengan dengan tata ulang tambak garam mereka memang butuh waktu dan ketekunan yang berkelanjutan. Tanpa itu, klasterisasi dan korporatisasi akan berhenti dan berantakan di tengah jalan. Tetapi jika langkah ini tidak diambil, maka jangan bermimpi swasembada garam akan menjadi kenyataan. Dan, selamanya kita akan bergantung pada garam impor.
Sudirman Saad Komisaris Utama PT Garam pada 2015-2017, dosen Unhas Makassar