Mendongkrak Partisipasi Pemilih di Pilgub Jateng 2018
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Mendongkrak Partisipasi Pemilih di Pilgub Jateng 2018

Selasa, 27 Mar 2018 13:00 WIB
Syafiq Naqsyabandi
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Ganjar Pranowo melawan Sudirman Said pada Pilgub Jateng 2018
Jakarta -

Sejak pilgub dilaksanakan secara langsung (2008, 2013), partisipasi pemilih di Pilgub Jawa Tengah (Jateng) hanya 55%. Demi demokrasi yang berkualitas dan berintegritas, kondisi ini mengharuskan upaya serius agar partisipasi pemilih pada Pilgub 2018 meningkat tajam.

Di antara tiga besar provinsi dengan jumlah pemilih terbanyak, partisipasi Pilgub Jateng selama ini adalah yang terendah. Pada Pilgub 2013, Jawa Barat mencatat partisipasi pemilih mencapai 63%, sementara Jawa Timur mencatat tingkat partisipasi pemilih pada angka 60%. Jawa Tengah sendiri mencatat hanya 14,2 juta warga yang datang ke TPS, dari keseluruhan 26,4 juta warga yang mempunyai hak pilih.

Hanya tiga daerah yang mencatatkan tingkat partisipasi di atas 70%, yakni Kabupaten Temanggung (82,89%), Kabupaten Kudus (79,26%), dan Kabupaten Magelang (71,31%). Di sisi lain, masih ada sembilan daerah yang mencatatkan tingkat partisipasi di bawah 50%, yakni Kabupaten Grobogan (45,78%), Kabupaten Pati (44,52%), Kabupaten Jepara (44,85%), Kabupaten Demak (44,92%), Kabupaten Pekalongan (46,94%), Kabupaten Pemalang (46,76%), Kabupaten Tegal (48,49%), Kabupaten Brebes (44,59%), dan Kota Pekalongan (47,45%).

Berkaca pada Pemilu 2014, tingkat partisipasi pemilih di Jateng sebenarnya cukup baik, yakni 73,9% pada pemilihan legislatif dan 73% pada pemilihan presiden. Lalu mengapa tingkat partisipasi pemilih pada pemilihan gubernur begitu rendah? Di antara beragam jawaban yang dikemukakan adalah kurangnya sosialisasi, kurangnya perhatian masyarakat, vote getter yang tidak sebanyak pada pileg, dan sebagainya.

Sejauh ini, para pemangku kebijakan masih menggunakan cara-cara lama. Baliho, iklan media massa, dan sosialisasi di institusi formal (balai desa/kecamatan) masih dianggap satu-satunya cara yang bisa dilakukan. Padahal, dibutuhkan cara-cara yang tidak biasa, yang dapat menerobos dinding kebuntuan. Adalah sebuah kegilaan, jika terus mengulang sesuatu dengan cara yang sama, tetapi mengharapkan hasil yang berbeda (Albert Einstein).

Pemilih Muda dan Pemula

Tahun-tahun sekarang ini sering disebut sebagai zaman disrupsi, zaman digital, atau pun zaman milenial. Zaman ini adalah zaman di mana generasi milenial mendikte perubahan dengan tidak hanya meninggalkan, tetapi juga tidak peduli dengan cara-cara lama. Generasi milenial ini, dalam kontek Pilgub 2018 adalah pemilih pemula dan pemilih berusia muda.

Secara nasional, jumlah pemilih pemula mencapai 30-35% dari jumlah keseluruhan pemilih. Sementara jika dijumlah untuk pemilih dengan usia kurang dari 40 tahun, jumlahnya mencapai 60%. Kisaran angka ini pasti tidak jauh berbeda dengan yang ada di Jawa Tengah, mengingat peningkatan populasi angkatan kerja menuju bonus demografi tahun 2020 terjadi merata di semua wilayah di Indonesia. Adapun disampaikan oleh komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jawa Tengah di berbagai kesempatan, jumlah pemilih pemula di Jawa tengah mencapai 1,4 juta pemilih. Jumlah ini jika ditambah dengan pemilih berusia 25-40 tahun, pasti akan sangat besar.

Para pemilih muda ini, sebagaimana layaknya generasi milenial pada umumnya, sangatlah identik dengan media sosial. Mereka adalah peselancar internet yang andal. Sebaliknya, mereka tidak menyukai acara-acara formal yang terasa membosankan. Mereka tidak hidup di balai desa, balai kecamatan, atau instansi pemerintahan lain. Ruang publik bagi mereka adalah beranda Facebook, Instagram, grup Whatsapp, dan Twitter. Lebih jauh, media sosial tidak hanya sekadar ruang publik, tapi menembus ruang-ruang pribadi yang sangat privat.

Pemasangan poster ajakan mencoblos pemilu di pinggir jalan atau di balai desa hanya dilihat sambil lalu, tapi poster yang tersebar di media sosial akan dilihat saat mereka bangun tidur, sela-sela waktu bekerja, saat mereka duduk minum kopi di kafe, sampai saat mereka hendak tidur lagi. KPU dan pasangan calon peserta pemilu harus melihat fenomena ini sebagai kesempatan besar untuk mendongkrak partisipasi pemilih.

Alih-alih menghabiskan anggaran untuk menyebar baliho sepenjuru Jawa Tengah, sebaiknya KPU mengaktifkan akun media sosial dan menyuntikkan anggaran untuk membuatkan akun tersebut diiklankan sepenjuru jagad maya Jawa Tengah. Cara ini sudah dilaksanakan dalam dunia bisnis, usaha-usaha berbasis start up dan digital marketing sudah berhasil. Jika KPU tidak menginvasi dunia maya, tidak hanya KPU yang akan ketinggalan, tetapi juga demokrasi kita.

Eksplorasi Isu dan Program

Jika cara di atas sudah digunakan, maka yang harus dilakukan selanjutnya adalah mengeksplorasi isu dan program yang ditawarkan pasangan calon peserta pemilu. KPU, pasangan calon, dan media harus beranjak dari sebatas membahas slogan semata. KPU dapat berperan dalam mengeksplorasi isu ini sebagai penyelenggara debat. KPU sebaiknya mendesain acara debat dengan pembahasan yang lebih berbasis isu dan program ketimbang slogan. Pasangan calon dapat melakukannya dalam kesempatan berkampanye. Media berperan dalam memberikan porsi pemberitaan yang lebih besar pada isu dan program.

Langkah-langkah ini perlu dilakukan dalam rangka mendekatkan permasalahan pada masyarakat dengan tujuan untuk meningkatkan atensi masyarakat. Masyarakat harus diberikan pemahaman bahwa pemerintah provinsi mempunyai kewenangan yang strategis dalam mengelola daerah. Masyarakat harus mengerti bagian mana yang menjadi kebijakan pemerintah propinsi, dan memisahkannya dari kebijakan kabupaten/kota dan pemerintah pusat.

Sebagai contoh, dalam bidang pendidikan, masyarakat harus diberi pemahaman bahwa pemprov mempunyai kewenangan pada pendidikan sekolah menengah atas dan sederajat, sehingga masyarakat dapat menimbang apakah kebijakan yang dijalankan sudah sesuai harapan atau belum. Contoh isu yang paling hangat dalam bidang ini adalah perubahan dari enam hari kerja ke lima hari kerja pada SMA, di mana siswa mempunyai dua hari libur tetapi juga harus pulang lebih sore untuk lima hari lainnya.

Kebijakan lingkungan adalah sektor strategis lain yang kewenangannya dimiliki oleh pemerintah provinsi, mengingat banyak potensi sumber daya alam yang wilayahnya menembus batas kabupaten/kota. Sebagai contoh, proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi di lereng Gunung Slamet di mana daerah terdampaknya meliputi Tegal, Banyumas, sampai Cilacap. Ada pula bencana banjir rob yang melanda wilayah pantura, sampai persoalan pabrik semen di Kendeng, Rembang.

Sektor terakhir yang mudah didekatkan kepada masyarakat adalah infrastruktur jalan. Masyarakat harus tahu bahwa ada jalan milik provinsi, selain jalan milik nasional, kabupaten/kota, dan desa. Jangan sampai ada kesalahpahaman dalam menilai kondisi infrastruktur. Jangan sampai misalnya, jalan nasional yang mulus tetapi gubernur yang dapat pujian, ataupun jika jalan provinsi yang rusak tetapi bupati yang disalahkan.

Bagaimana tanggapan masyarakat terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah provinsi akan menentukan apakah mereka akan datang ke TPS atau tidak. Sehingga semua langkah ini mandatory untuk dilaksanakan supaya demokrasi di Jawa Tengah semakin berintegritas dan berkualitas.

Syafiq Naqsyabandi peneliti di Lembaga Studi Integritas Publik Hoegeng Institute

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads