Tanpa fantasi dari novel, kita tetap bisa membayangkan seperti apa Indonesia kelak, 10, 20, atau 50 tahun lagi. Ada banyak suara optimistis soal masa depan Indonesia. Saat ini GDP Indonesia mendekati 1 triliun dolar. Tahun 2022 diramalkan besarnya akan membengkak menjadi 1,5 triliun. PWC meramalkan tahun 2050 ekonomi Indonesia akan menjadi yang terbesar nomor 4 di dunia, setelah Cina, India, dan Amerika. Saat ini Indonesia berada di posisi nomor 8. Jepang saat ini nomor 4, dan akan bertukar tempat dengan Indonesia menjadi nomor 8, 50 tahun lagi.
Apa yang membuat Indonesia nomor 8 sekarang? Sumbangan sektor industri manufaktur pada GDP kita saat ini sekitar 20%, lebih tinggi dari sumbangan sektor pertanian dan pertambangan. Apakah itu bermakna bahwa kita sudah menjadi negara industri? Dalam kriteria tertentu, ya. Tapi jangan bayangkan kita ini sudah menjadi negara industri seperti Cina, Korea, Jepang, atau Taiwan. Negara-negara itu punya berbagai produk industri manufaktur yang diproduksi dari teknologi yang mereka kembangkan. Sementara kita lebih berperan sebagai pembuat produk negara lain.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Struktur ini tidak akan banyak berubah 20-30 tahun lagi. Kita masih jauh dari harapan menjadi negara yang punya teknologi sendiri, dan dengan itu kita memproduksi barang-barang manufaktur tadi. Sebabnya, karena kita tidak membangun riset yang merupakan basis industri manufaktur itu.
Data UNESCO menyebutkan bahwa Indonesia menyediakan dana sebesar 2,1 juta dolar setahun untuk riset, setara dengan 0,1% dari GDP. Populasi periset adalah 89 orang per 1 juta penduduk. Sebagai perbandingan, Thailand membelanjakan 5,2 juta dolar, 0,5% dari GDP. Populasi perisetnya adalah 973 orang per 1 juta penduduk. Malaysia menghabiskan 9,7 juta dolar, 1,5% dari GDP, dan populasi perisetnya adalah 2017 orang per 1 juta penduduk. Jangan bandingkan dengan Singapura, kita makin jauh tertinggal.
Tapi bukankah negara-negara itu tidak masuk dalam ranking negara-negara dengan ekonomi besar? Kalau begitu, apa korelasinya dengan riset? Itulah soal penting yang harus kita pahami soal GDP. GDP adalah soal skala ekonomi, salah satu penentunya adalah populasi. Populasi Thailand hanya 68 juta jiwa, sedangkan Malaysia hanya 31 juta, jauh dari kita yang mencapai 260 juta. Ibaratnya, 260 juta orang bekerja tetap menghasilkan sesuatu yang lebih besar dari 31 juta orang.
Perhatikan 4 negara yang akan jadi pemimpin ekonomi tadi. Semua berpenduduk besar. Dari 4 negara itu, hanya Indonesia yang tertinggal dalam hal teknologi. Artinya, bagi negara-negara lain, kekuatan ekonominya disokong oleh penduduk yang besar dan teknologi. Kita, hanya punya penduduk besar.
Proyeksi tadi pun bisa berubah. Ketika tenaga kerja tak lagi murah, para investor industri manufaktur akan memindahkan industri mereka ke negara-negara lain yang padat penduduk. Kalau itu terjadi, harapan kita tinggal bergantung pada industri manufaktur untuk memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri.
Proyeksi pertumbuhan GDP tadi bisa bergeser. Dalam laporan soal proyeksi tadi, PWC menjelaskan syarat tercapainya proyeksi itu, yaitu Indonesia melepas ketergantungan pada sumber daya alam. Artinya, sekali lagi, kita harus menggeser sumber pendapatan dari penjualan barang mentah, menjadi barang dengan nilai tambah yang lebih tinggi. Nilai tambah itu dihasilkan dengan teknologi.
Mengapa kita tak punya teknologi? Karena kita tak membangunnya. Anggaran yang disediakan kurang. Jumlah SDM yang tersedia juga minim. Sudah begitu, produktivitasnya pun sangat rendah. Beberapa minggu yang lalu Kemenristek mengumumkan bahwa ada 3800 dari 5300 guru besar yang tidak punya publikasi ilmiah internasional. Harap dicatat, itu mungkin termasuk Menristek sendiri, yang merupakan seorang guru besar. Itu baru dari sisi kuantitas karya. Kalau diteliti sampai ke tingkat kualitasnya, akan lebih parah lagi.
Tak sulit untuk membayangkan bahwa situasi ini tidak akan banyak berubah 20-30 tahun lagi. Kecuali bila pemerintah mengubah kebijakan risetnya secara radikal. Apa yang harus dilakukan? Pertama, porsi anggaran riset harus diperbesar, dalam waktu 1-2 tahun ini harus digeser menjadi setidaknya 1-2% GDP. Terlalu besar? Ya. Tapi tanpa dana sebesar itu, kita akan terus jalan di tempat. Ingat, membangun riset sama pentingnya dengan membangun infrastruktur yang sekarang giat dilakukan pemerintah.
Kedua, memperbanyak jumlah periset. Targetnya, setidaknya 2 kali lipat dari yang ada sekarang.
Ketiga, tentu saja pemerintah harus mendorong riset yang berkualitas. Guru besar yang tidak melakukan riset, harus ditinjau status dan tunjangan guru besarnya. Riset harus diarahkan untuk jauh beranjak dari sekadar riset dengan tujuan menambah poin angka kredit untuk kenaikan pangkat, atau sekadar untuk menambah penghasilan. Dua hal ini dirasakan betul dan diakui oleh para periset.
Keempat, tetapkan fokus dan prioritas riset yang hendak dibangun. Kita tidak bisa menguasai semua. Tapi harus ditetapkan fokus di mana kita bisa unggul, dan menghasilkan produk.
Kelima, sektor swasta harus membangun teknologi. Perusahaan-perusahaan nasional sejauh ini sangat minim dalam alokasi dana untuk pengembangan teknologi. Sementara di negara lain perusahaan berani membelanjakan 20% keuntungannya untuk keperluan riset.
Tanpa ini semua, dengan GDP besar, kita hanya akan besar sebagai pesuruh orang lain.
Hasanudin Abdurakhman cendekiawan, penulis dan kini menjadi seorang profesional di perusahaan Jepang di Indonesia
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini