Di antara warga sekitar, terdapat seorang alim yang kemudian melihat tindakan warga sudah menjadi syirik. Dia berusaha memperingatkan warga, namun tidak ada yang mau mendengarkannya. Dia malah diusir. Namun baru beberapa langkah si alim melangkah tiba-tiba angin puting beliung datang memporak-porandakan semak bambu Awi Bitung dan rumah warga.
Si alim berkata bahwa Tuhan telah menghukum warga atas kemusyrikannya. Si alim lalu membangun perkampungan baru di atas reruntuhan wilayah tersebut. Wilayah tersebut dinamai Rangkasbitung untuk mengenang hukuman Tuhan atas kemusyrikan warga. Rangkas berarti patahan, sedangkan Bitung adalah jenis pohon bambu yang dikeramatkan warga.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Suatu peradaban seringkali tidak muncul sedemikian adanya. Ia seringkali dibangun di atas sebuah kehancuran suatu peradaban tertentu. Rangkasbitung mungkin menunjukkan bagian kecil dari proses tersebut. Satu desa harus hancur terlebih dahulu untuk membangun desa baru bernama Rangkasbitung.
Kita tidak akan mempertanyakan siapa yang bertanggung jawab atas angin tersebut. Apakah memang Tuhan yang murka lalu mengirimkan angin topan tersebut, atau itu muslihat si alim yang sakit hatinya karena diusir warga. Yang kita tahu, sistem kehidupan baru yang lebih baik telah coba dibangun.
Rangkasbitung yang telah hidup damai setelah dibangun kembali di atas puing-puing itu, rupanya dianugerahi tanah yang subur. Jika orang bilang kopi adalah tanaman surga, maka Rangkasbitung adalah salah satu tanah surga yang ada di dunia. Hasil tanaman kopi dan hasil pertanian di daerah ini relatif bagus. Tapi sayangnya, sekali lagi itu bukan hasil kesejahteraan tanam penduduk setempat.
"Rakyat ditindas oleh bupati mereka sendiri. Petani hanya berkeringat. Tidak bisa tertawa. Hak pribadi diperkosa." W.S Rendra tepat menggambarkan keadaan petani Rangkasbitung dalam sajaknya Demi Orang-orang Rangkasbitung.
Dalam sajak itu Rendra menceritakan seorang abdi Kerajaan Belanda bernama Multatuli yang bertugas di Rangkasbitung. "Dan bangsa kami di negeri Belanda pada hari minggu berpakaian rapi, berdoa dengan tekun. Sesudah itu bersantap bersama. Menghayati gaya peradaban tinggi, bersama sanak keluarga. Menghindari perkataan kotor, dan selalu berbicara dalam tata bahasa yang patut," begitu kata Multatuli.
"Peradaban tinggi itu Tuan, Puan," lanjut Multatuli, "adalah hasil keuntungan besar di dalam perdagangan kopi. Sebagai hasil yang efisien dari tanam paksa di tanah jajahan." Rangkasbitung kembali hancur kali itu, demi kebangkitan Kerajaan Belanda yang menjajah Indonesia di periode abad ke-18 hingga masa akhir penjajahan Belanda.
Max Havelaar lalu hadir melalui tangan Multatuli sebagai pembawa keberuntungan baru bagi masyarakat Rangkasbitung. Keberadaannya sampai akhir memang tidak dapat mengangkat perekonomian warga secara signifikan. Namun Max Havelaar, seperti yang dituliskan Pram pada 1999, adalah Best Story; The Book That Killed Colonialism.
Melalui Max Havelaar, Belanda pada akhirnya terdesak untuk menerbitkan apa yang disebut sebagai kebijakan etis. Dan, waktu pada akhirnya menunjukkan tuah Max Havelaar. Putra-putra Nusantara yang berkenalan dengan Max Havelaar inilah yang akhirnya meretas jalan kemerdekaan Indonesia, dan secara otomatis juga berarti kebebasan masyarakat Rangkasbitung.
Rangkasbitung tak lagi sepi dan muram. Menjelang kemerdekaan Rangkasbitung menjelma daerah basis pergerakan Revolusi. Salah satu yang paling terkenal adalah ditunjuknya Ilyas Husein sebagai perwakilan Banten untuk menghadiri Konferensi Pemuda pada 9 Agustus 1945. Kita tentu lebih mengenalnya sebagai Tan Malaka.
***
Saat Museum Multatuli dan Perpustakaan Saija Adinda diresmikan pada 11 Februari 2018 di dekat alun-alun Rangkasbitung, respons masyarakat memang cukup bagus. Museum dan perpustakaan ini juga disebut-sebut sebagai "Perpustakaan Anti Kolonial Pertama di Indonesia". Tapi sungguh ini masih sangat dini. Jalan mewujudkan slogan itu mungkin akan memakan waktu seumur hidup masyarakat Rangkasbitung.
Sebab, Multatuli --sebagaimana kata Rendra-- bukan buku yang bisa dilarang dan dibakar. Juga bukan benteng yang bisa dihancurleburkan. Tidak pula dapat disamaratakan dengan tanah. Apalagi hanya dikultuskan dalam sebuah bentuk bangunan di tengah kota.
Sebab yang terburuk dari adegan-adegan di panggung itu adalah orang menjadi begitu terbiasa dengan kebohongan sehingga mereka terbiasa melontarkan kekaguman dan bertepuk tangan. "Saya Multatuli, adalah sebagian dari nurani tuan-tuan sendiri." Ia adalah bagian dari jiwa masyarakat Rangkasbitung yang akan membangun dirinya sendiri.
Sebab Rangkasbitung akan mengingatkan masyarakat bahwa dahulu kala keberuntungan tidak datang dari tuah Bambu Bitung, tapi dari keahlian masyarakat menganyam dan membuat perkakas dapur dari bambu itu.
Sebab kita bersuka cita bukan karena memotong padi; kita bersuka cita karena memotong padi yang kita tanam sendiri.
Imam B. Carito pejalan kaki dan peminjam buku di Rumah Buku Cilegon (RBC)
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini