Bandung dan Ekspektasi Kepemimpinan Muda
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Bandung dan Ekspektasi Kepemimpinan Muda

Senin, 19 Feb 2018 11:17 WIB
Arie Putra
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Bandung dan Ekspektasi Kepemimpinan Muda
Nasdem umumkan hasil penjaringan Pilwakot Bandung (Foto: Mukhlis Dinillah)
Jakarta - Saya termasuk orang yang cukup percaya bahwa anak muda bukanlah objek keinginan dari generasi sebelumnya. Tanpa mengecilkan berbagai peran dan pengaruh generasi tua dalam menyediakan lingkungan yang kondusif-produktif, anak muda sejatinya bisa tumbuh dan menebar inspirasi kepada publik tanpa harus merasa tertekan oleh ketakutan-ketakutan terhadap eksistensi dan keinginan generasi sebelumnya.

Bahkan, anak muda bisa duduk sejajar dengan generasi sebelumnya, berbagi dan saling bahu-membahu unjuk kreasi penyelesaian masalah-masalah kota yang ada. Sehingga tidak menutup kemungkinan kaum muda, yang sudah unjuk gigi dalam bukti dan bakti, segera ikut terlibat di level yang lebih tinggi, yakni level pengambil kebijakan (top level of decision maker) di sebuah pemerintahan daerah atau lingkungan kerja yang otoritatif.

Oleh karena itu, ketika beberapa generasi muda mulai muncul di dalam kompetisi politik perebutan posisi kepala daerah belum lama ini, hati saya cukup berbunga. Bagaimana tidak, rasanya sudah terlalu vulgar pesimisme publik terhadap kepemimpinan politik yang itu-itu saja. Entah mengapa. Tapi nyatanya, fakta beberapa survei terbaru di beberapa kota yang akan menghelatkan pilkada tahun ini menunjukkan bahwa ekspektasi dan preferensi politik terhadap kepemimpinan muda mulai menyeruak.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Boleh jadi, dengan munculnya nama-nama muda yang masih segar, tapi penuh dengan motivasi, prestasi, dan pengalaman di bidangnya masing-masing, akan menjadi magnet baru bagi pemilih untuk kembali mengarahkan hak pilihnya ke ranah pertarungan pemegang kedaulatan lokal. Bandung di tangan Kang Emil, misalnya, sudah cukup memberi warna yang berbeda di pentas nasional. Sekalipun, dari beberapa sisi Kang emil tentu tidak semudah itu dikategorikan muda lagi. Masih terdapat sisi-sisi konservatif dalam penyelesaian beberapa persoalan kota Bandung.

Memang, beda generasi berbeda pula konsentrasi dan aksentuasi. Di saat calon-calon dari generasi tua masih bertahan dengan isu-isu konservatif, bahkan tak sedikit yang mengelukan kembali ke masa jaya di masa silam, anak muda justru terlihat lebih santai dengan isu kekinian dan solusi-solusi milenial teknologis yang ditawarkan untuk penyelesaian berbagai persoalan kota, seperti smartcity, pendekatan kebijakan yang lebih community engagmental, penggunaan media sosial yang lebih terukur alias tidak hanya untuk pencitraan, dan keberanian untuk menebas batas-batas normal yang agak kurang muncul pada generasi sebelumnya.

Di saat generasi tua keranjingan dengan pencitraan menggunakan kemajuan teknologi serta berlindung di balik daya boosting media sosial, justru anak muda terlihat lebih relevan bermain dengan itu alias terlihat lebih pantas dan arif dalam menggunakan strategi pencitraan tersebut. Anak muda lebih pandai merapatkan disparitas antara pencitraan media dengan kenyataan yang sebenarnya. Karena anak muda cenderung memilih berkreasi terlebih dahulu baru kemudian berbicara kepada publik, ketimbang generasi tua yang lebih memilih bermanis-manis ria di media tanpa publik mengetahui secara mendalam seperti apa sebenarnya kinerja mereka.

Dalam konteks politik Kota Bandung, terlepas apakah akan menjadi pemenang atau hanya pelengkap penderita generasi tua di dalam kompetisi nanti, keterlibatan tokoh-tokoh muda adalah sebuah kemajuan pesat yang sangat layak diacungkan dua jempol. Apalagi jika generasi milenial mulai berani memunculkan diri untuk masuk panggung. Namun nama-nama muda yang muncul, sepanjang pengetahuan saya, adalah nama-nama yang hanya senang mengaku muda, tapi cara pandang dan penyelesaian masalah yang diisukan masih kurang berbeda dengan generasi sebelumnya.

Sebut saja Oded M Danial, Atalia Praratya, Nurul Arifin, atau M Farhan (presenter). Bahkan saya kira, nama-nama mereka tertelan oleh gaung Ridwan Kamil yang sudah menguasai Kota Bandung cukup lama. Oleh karena itu saya belum berani mengatakan bahwa tokoh-tokoh yang muncul belum terkategori generasi muda. Pasalnya, generasi muda biasanya dengan mudah menawarkan sesuatu yang berbeda dengan generasi sebelumnya, dan itu memang sebuah tipikal yang sangat khas dari mereka.
.
Saya secara pribadi sangat berharap, ada sosok yang lebih muda dan lebih memiliki gaung kreativitas di dunianya sebelumnya, kemudian memberanikan diri untuk ikut menyejajarkan nama dengan tokoh-tokoh yang sudah mempromosikan diri terlebih dahulu. Mengapa? Pertama, karena ketertarikan anak muda untuk ikut berjuang di arena otoritatif adalah sebuah ketertarikan yang langka yang perlu didukung oleh generasi sesamanya dan bahkan perlu diapresiasi oleh generasi sebelumnya. Begitulah seharusnya regenerasi terjadi bukan?

Regenerasi kepemimpinan tidak mesti berlangsung sesuai keinginan generasi sebelumnya, apalagi jika ternyata generasi sebelumnya hanya mampu untuk berjuang menjadi bersih, tapi di sisi lain tidak melakukan terobosan yang berarti. Rasanya, jika ingin menjadi pemimpin publik hanya untuk menghindari korupsi, tapi tak mampu menghadirkan perbedaan yang berarti dengan keadaan-keadaan sebelumnya, maka sebaiknya tidak perlu bersusah payah merebut kepemimpinan publik. Karena pada akhirnya keadaan akan sama seperti sebelumnya.

Memilih menjadi bersih tapi tidak melakukan terobosan apa-apa tentu juga merupakan sebuah pilihan sikap, tapi di sisi lain nyatanya ada begitu banyak persoalan masyarakat yang butuh kreativitas seorang pemimpin. Maka seorang pemimpin akan cukup berdosa jika hanya memilih satu opsi, yakni opsi bersih, tanpa berjuang di opsi selanjutnya, yakni opsi melahirkan terobosan-terobosan kreatif untuk menyelesaikan berbagai persoalan daerah.

Saya kira, dari sisi ini lah anak muda seharusnya mulai tertarik untuk kembali memaksa diri ke dalam ranah politik, terutama genersi milenial yang sudah cukup paripurna belajar dari generasi-generasi sebelumnya. Semoga dengan munculnya anak muda dalam pertarungan kepala daerah Kota Bandung, gairah politik pemilih kembali terpacu. Ketertarikan publik terhadap isu-isu bersama kembali bertumbuh.

Kedua, karena Kota Bandung adalah kota metropolitan dengan tingkat dinamika yang sangat tinggi. Butuh kegesitan bergerak dan kecepatan berpikir untuk mengimbangi pergerakan kota Bandung. Anak muda adalah sosok yang paling mendekati kebutuhan, anak muda yang sudah teruji kreasi dan baktinya tentu saja. Jika hanya yang itu-itu saja, saya kira Kota Bandung harus kembali mendesain ulang model regenerasi kepemimpinannya.

Sudah seharusnya Kota Bandung yang supernyaman untuk lahirnya pemimpin-pemimpin muda berbakat dikepalai oleh pemimpin hasil jerih kreasi kotanya sendiri, yakni pemimpin muda yang tidak hanya puas dengan status kota penyangga Jakarta, tapi melewati status tersebut dengan bukti kemajuan kota, kesejahteraan masyarakatnya, kenyamanan daerahnya, kemumpunian dunia pendidikannya, ketertataan kotanya, atau kematangan sistem pelayanan kesehatannya, dan lain-lain.

Bukankah indah jika generasi muda mulai merasakan dirinya berdosa jika tidak ikut terlibat dalam menyelesaikan masalah-masalah publik? Maka dari itu, tidak hanya disambut dengan gembira, tapi harus diapresiasi dengan sepenuh hati jika anak-anak muda, milenial, penuh semangat perubahan, muncul di panggung Pilwakot Kota Bandung. Sekalipun sebenarnya dalam konteks yang lebih sempit, perkara umur hanya perkara deret angka.

Tapi perkara beda generasi tentu tidak bisa dilihat dari sisi itu saja. Beda generasi terkadang lebih banyak menyentuh perbedaan sudut pandang, pola pikir, gaya hidup, gaya penyelesaian masalah, dan kemampuan-kemampuan baru yang belum dimiliki generasi sebelumnya. Mari kita dorong dan sambut keterlibatan generasi muda nan milenial sebagai bagian dari Kota Bandung, bukan sebagai tamu yang ingin memiliki rumah kita.

Arie Putra
CEO Inkubator Politik Indonesia

(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads