Pemimpin Muda dan Korupsi
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Pemimpin Muda dan Korupsi

Selasa, 06 Feb 2018 13:35 WIB
D. Febrian
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Ilustrasi: Mindra Purnomo/detikcom
Jakarta - Ditetapkannya Gubernur Jambi Zumi Zola oleh KPK sebagai tersangka tidak pidana korupsi sebenarnya tidak terlalu mengejutkan. Mengingat kasus yang sedang diusut KPK itu terlihat sangat terang benderang. Perilaku suap menyuap antara kekuasaan eksekutif daerah dan parlemen daerah sudah jamak terjadi. Berulangkali kasus ini terungkap dan sepertinya para pejabat dan anggota parlemen tak pernah jera. Tak banyak gubernur dan kepala daerah yang mau dan memberanikan diri seperti Basuki Tjahaja Purnama untuk berselisih dengan DPRD dalam pembahasan APBD. Hampir semuanya memilih kompromi dan mendamaikan diri dengan penyelewengan dan pembegalan uang rakyat.

Jual beli pengaruh di lingkungan politisi sepertinya sudah tidak berlaku lagi, karena tanpa uang pelicin semuanya semakin sulit berjalan dalam menjalankan roda pemerintahan. Persoalannya memang, siapa yang mau repot dengan bertele-telenya pembahasan RAPBD? Bukankah jika semuanya berjalan mulus program kerja dapat segera terlaksana dan semua senang? Uang selalu menjadi lembaran yang membuat tergelincir kebanyakan politisi kita.

Dan, ternyata usia muda yang biasanya digambarkan sebagai usia penuh gairah, api idealisme, dan integritas tidak berlaku di hadapan uang yang mahakuasa.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sejarah kita sebenarnya dipenuhi oleh orang-orang muda yang berintegritas tinggi. Sebut saja Hatta dan Syahrir, Moh. Natsir dan banyak lagi. Bahkan Sukarno sampai menjelang usia 50 tahun masih seorang yang memiliki integritas tinggi sebelum terjebak ke dalam kubangan kediktatoran. Namun, tergelincirnya para founding fathers lebih banyak karena pergelutan idealisme dan paham pikiran. Sementara uang sering tidak menjadi setan godaan bagi mereka.

Kita ingat kisah Bung Hatta yang sangat menginginkan sepasang sepatu bermerk Bally, yang sampai akhir hidupnya tidak bisa dimilikinya, karena memang tidak punya uang untuk kepentingan sepasang sepatu mahal. Bung Hatta hanya meninggalkan warisan sepuluh ribuan buku bagi anak-anaknya dan bangsanya. Begitu juga kisah H. Agus Salim yang tak pernah punya rumah pribadi sampai kematian menjemputnya, sehingga harus tinggal di rumah kontrakan dan berpindah-pindah. Memakai baju bertambal biasa saja baginya. Kesederhaanaan hidup dan tidak mementingkan uang sudah menjadi ciri khas mereka meskipun kekuasaan besar berada di tangan, di mana mereka sebenarnya bisa mendapatkan apa pun yang mereka inginkan.

Mereka orang-orang-orang besar yang memandang uang bagaikan debu, sebagaimana yang kabarnya pernah diungkapkan oleh Salahaddin Al Ayubi hampir seribu tahun yang lalu, yang dikabarkan bahkan tidak meninggalkan uang yang cukup untuk membeli kain kafannya sendiri.

Usia muda memang usia yang penuh gejolak dan penuh tantangan. Ingin menjadikan dunia sebagai tembok yang mesti dihancurkan apabila menghalangi langkah-langkah kaki muda itu. Dan, Zumi Zola tidak membiarkan usia mudanya menjadi penghalang untuk menjadi pejabat publik. Melayani rakyat dan mengabdikan dirinya untuk kepentingan publik.

Kita sempat terkagum ketika pada usia yang belia, 31 tahun, Zumi Zola sudah menjadi seorang bupati di Tanjung Jabung Timur. Dan tak perlu waktu panjang baginya untuk merengkuh jabatan lebih tinggi, pada 12 Februari 2016, dalam usia 35 tahun ia dilantik menjadi Gubernur Jambi.

Mantan pelakon ini tidak perlu waktu lama juga untuk segera mengisi daftar orang muda cemerlang yang tersangkut korupsi bersama dengan Anas Urbaningrum, Angelina Sondakh, Nazaruddin, dan banyak yang lainnya. Tepat dua tahun kurang 10 hari masa jabatannya sebagai gubernur, Zumi Zola ditetapkan sebagai tersangka kasus suap APBD Jambi dan penerimaan gratifikasi yang totalnya bernilai Rp 6 Miliar oleh KPK.

Ternyata dalam usia mudanya, Zumi Zola mengumpulkan segala prestasi, kenaikan, dan kejatuhannya sekaligus. Apa yang salah dengan semua ini?

Beberapa tahun terakhir telah menjadi tren di seluruh dunia naiknya ke tampuk kekuasaan orang-orang muda yang penu semangat dan idealis. Sebut saja Presiden Prancis Emmanuel Macron. Dalam usia 39 tahun Macron menjadi presiden termuda dalam sejarah Prancis. Sedikit lebih tua, Justin Trudeau menjadi Perdana Menteri Kanada pada usia 44 tahun. Sebastian Kurz dari Austria menjadi Kanselir di usia 31 tahun dan sebelumnya pada usia 27 tahun ia sudah menjadi seorang Menteri Luar Negeri. Dan, jangan lupa juga Sutan Syahrir menjadi Perdana Menteri pertama Indonesia setelah tidak dipakainya lagi UUD 1945 tiga bulan setelah Indonesia merdeka, pada usia 36 tahun. Kita kira itu gejala yang sangat baik. Bagaimana dengan Indonesia? Tidak jauh beda sebenarnya. Tapi kita saat ini harus menelan kekecewaan yang pahit.

Kita selalu terpana dengan usia muda. Bukankah kita selalu menyebut-nyebut nama Aleksander Agung dan Napoleon sebagai orang muda yang menakhlukkan dunia? Bukankah sering kita mendengar para pemuda adalah "the agent of change"? Jika seorang pemimpin muda naik ke puncak kekuasaan, tentu saja kita berharap ia membawa kebaruan dan juga semangat yang murni dari darah muda yang mengalir di dalam darahnya. Kita mengharapkan semangat muda itu membawa perubahan besar dan mampu melawan segala penyakit kekuasaan yang biasanya sangat mudah menghinggapi para politisi tua.

Terutama tentu saja penyakit korupsi. Korupsi sebagai penyakit kekuasaan yang paling merusak adalah tantangan kekuasaan yang paling besar. Perlu semangat besar dan tekad yang kuat untuk melawan virus kekuasaan yang satu ini. Sehingga kita sangat berharap ketika orang muda duduk di kursi kekuasaan dengan integritas dan idealisme yang belum terlalu tercemar, si pemuda akan mampu mengelak dan menindas penyakit parah yang satu itu.

Tokoh-tokoh muda seharusnya menjadi teladan bagi para politisi tua dalam hal integritas dan idealisme. Karena mereka belum terlalu jauh berjalan dari bangku sekolah yang mengajarkan nilai-nilai ideal, kejujuran, dan kebaikan. Para tokoh muda belum terlalu lama berkubang di dalam lumpur kekuasaan yang mampu mengisap jiwa semurni apa pun ke dalam lubangnya yang paling busuk. Sehingga harapan itu benarlah jika dialamatkan kepada para pemuda.

Suaranya masih keras dalam berteriak. Kepalanya masih bisa seperti batu jika dihadapkan dengan godaan uang dan penyelewengan kuasa. Itulah harapan kita semua. Apakah jawabnya?

Dunia pendidikan kita tidak mampu menghasilkan para pemuda yang beritegritas dan penuh idealisme. Sangat mungkin demikian adanya, karena sudah menjadi ketentuan umum sepertinya saat ini, bahwa universitas adalah pencetak tenaga kerja andal. Bukan lagi sebagai penghasil manusia-manusia luhur dan berbudi tinggi. Sekolah dan universitas tidak lagi menjadi tempat menempa anak didik menjadi manusia terbaik, dengan kesadaran penuh akan nilai moral dan kejujuran, memupuk integritas diri, dan idealisme yang teguh.

Bukankah universitas adalah lembaga tempat berkumpulnuya jiwa-jiwa muda yang bersemangat, yang dibimbing oleh para orang-orang muda yang suda lebih dahulu menamatkan pendidikan mereka, dan orang-orang tua yang bijaksana dengan pengalaman dan kedalaman ilmu? Tetapi gambaran ideal universitas yang seperti itu sudah menjadi arkeologis dan mimpi belaka.

Akibatnya, lulusan universitas adalah para pragmatis yang hanya memburu pekerjaan untuk hidup layak menurut standar zamannya, dan berkelindan dengan hedonisme dan arus informasi yang lebih berharga dibandingkan dengan ilmu pengetahuan yang dipelajari secara murni, dengan pikiran terbuka dan komprehensif. Idealisme tidak ada, dan integritas sudah menjadi sesuatu yang asing.

Ditambah lagi dengan kurangnya teladan dari generasi tua yang telah lebih dahulu berkubang dengan lubang hitam politik dan kekuasaan, akhirnya para muda hanya terjun dengan bekal yang sudah dibuang dan masuk ke perangkap yang melenakan dari politik dan kekuasaan. Tidak heran pada akhirnya orang muda memang hanya sebagai penerus tradisi belaka. Bukan orang-orang yang progresif, mau menjadi agen perubahan dan berani menantang "the old establishment" dengan gagah.

Banyak orang muda yang berhasil dalam dunia usaha dan membuat perubahan penting dalam masyarakat, terutama dalam bidang teknologi dan ekonomi. Tetapi jelas, dalam politik dan kekuasaan, orang muda hanya bisa menjadi pengikut dan penerus tradisi kekuasaan yang korup. Salahkah jika disimpulkan demikian?

Ke depan, jika fenomena ini tidak segera dilawan, kepada siapakah lagi harapan perbaikan bangsa ini akan kita gantungkan? Jika para pemuda begitu mudah terjebak dalam pusaran korupsi dan kemaruk harta, adakah mungkin kita bergantung kepada generasi tua yang sudah hitam legam dalam pusaran yang sama?

Kekuasaan di mana pun dan kapan pun selalu melenakan. Tidak peduli kepada siapa ia diserahkan. Setannya tetap tangguh dan perkasa. Kekuasaan selalu mencoba menarik keluar segala bentuk keserakahan di dalam diri manusia. Sejarah sudah membuktikannya demikian. Tidak terbantahkan lagi. Tetapi jika kaum muda saja sudah tak sanggup lagi melawannya, kita mungkin layak berputus asa.

Tetapi jelas saja tidak harus begitu. Melawan kekuasaan yang korup harus dengan ketegasan yang kontras dengan kepengecutan. Katakan dengan tegas, "Tidak." Lalu berperanglah melawannya.

Tetapi bukankah dulu para pemuda yang berkata begitu dengan gagahnya dalam iklan sebuah partai politik justru juga berkabung ke dalam bui korupsi?

(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads