Dangdut dan Siasat Kampanye Partai Politik
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Dangdut dan Siasat Kampanye Partai Politik

Selasa, 30 Jan 2018 13:12 WIB
Irfan R. Darajat
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Foto: Rois Jajeli/ detikcom
Jakarta - Calon Gubernur Jawa Timur Saifullah Yusuf (Gus Ipul) menggandeng Via Vallen dan Nella Kharisma sebagai 'senjata kampanye' dalam Pilkada 2018. Kedua biduan dangdut yang sedang naik daun tersebut dikontrak secara khusus untuk menjadi model dan pengisi suara lagu kampanye yang berjudul Kabeh Sedulur, Kabeh Makmur. Gestur ini menunjukkan bahwa dangdut masih diperhitungkan sebagai suatu siasat komunikasi politik oleh beberapa partai politik.

Via Vallen dan Nella Kharisma merupakan dua penyanyi dangdut yang fenomenal dalam kurun waktu setidaknya lima tahun belakangan ini. Memulai karier mereka dari panggung-panggung di daerah, kini keduanya telah mendapat tempat dan sorotan dari publik nasional. Hal tersebut terbukti dengan keberhasilan Via Vallen menyabet penghargaan dari Anugerah Dangdut Indonesia yang diadakan oleh MNC TV sebagai penyanyi dangdut 'Tersosmed'.

Kendati keduanya memang fenomenal sebagai penyanyi dangdut dan sosok publik, tapi hubungan antara kampanye partai politik dan bintang dangdut bukanlah hal yang pertama kali terjadi di Indonesia. Beberapa pengamat memberikan pandangan bahwa langkah yang diambil oleh Gus Ipul dalam hal ini merupakan siasat yang canggih, tapi hal ini perlu pembuktian lebih lanjut. Mengapa figur dangdut kerap dilibatkan dalam panggung-panggung kampanye partai politik?

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Benarkah penggunaan figur publik dalam kampanye dapat mendongkrak perolehan suara salah satu calon, khususnya dalam hal ini adalah figur dari musik dangdut?

Dari Musik Kampungan ke Musik Rakyat

Jauh hari sebelum Via Vallen muncul, Rhoma Irama telah menggaungkan musik dangdut di seantero Nusantara. Musik dangdut pada awal kemunculannya lebih dikenal dengan alunan musik melayu. Ia diyakini lahir dari percampuran irama zapin melayu, gambus, dan India. Hingga pada 1970-an Rhoma memperbaruinya dengan percampuran irama musik pop dan rock dari Barat. Hal tersebut menjadi sesuatu yang besar, musik yang dibawakan oleh Rhoma Irama mendapat tempat khusus di hati para pendengarnya.

Tema-tema yang diangkat dalam lagu-lagu dangdut seringkali memang berkisar di wilayah kehidupan sehari-hari dan terutama pada masyarakat kelas bawah. Hal inilah yang menyebabkan musik dangdut kemudian menyandang citra sebagai musik kampungan. Tetapi, di luar pandangan itu, catatan dari liputan yang dilakukan Majalah Tempo pada 1979 menyebutkan bahwa irama dangdut yang dibawakan oleh Rhoma Irama laku keras di pasaran. Keadaan ini mengubah arah produksi musik Indonesia, sehingga sempat ada masa di mana semua pemusik digiring untuk memproduksi musik berirama melayu atau dangdut.

Selanjutnya dalam sebuah liputan khusus oleh majalah yang sama pada 1984, Rhoma digambarkan memiliki ciri khas dalam menulis dan menyanyikan lagunya. Iramanya menggerakkan penonton untuk bergoyang, sedang tema-tema yang diangkat dalam teks lagunya kerap mengangkat cinta dan persoalan hidup harian masyarakat kelas bawah. Tapi bukan hal itu saja yang menarik dari Rhoma. Dalam rentang waktu 1977-1982, setelah pulang dari ibadah haji, terjadi perubahan besar dalam hidup Rhoma, yang berdampak pada aktivitas bermusiknya. Soneta, sebagai grup yang dibentuk Rhoma mulai menyuarakan napas moral dalam lagu-lagunya.

Tidak berhenti di sana, konsistensi Rhoma dalam menyuarakan pesan reliji dalam lagu pun ditunjukkan melalui keterlibatannya dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Hal tersebut sempat membuat rezim Soeharto tidak senang. Sebagaimana kita ketahui, bahwa partai politik yang dianakemaskan pada masa tersebut adalah Golkar, sehingga keberadaan Rhoma dengan pendukung yang banyak pada saat itu di sisi yang berseberangan dengan Golkar dianggap membahayakan. Hal tersebut akhirnya harus dituai dengan pencekalan penampilannya selama selama hampir 11 tahun (dari 1977 sampai 1988) di TVRI. Pencekalan yang diterima oleh Rhoma sempat membuatnya hadir sebagai sosok pemberontak yang relijius, penggemarnya pun makin bertambah banyak.

Sebagaimana yang diungkapkan dalam Majalah Tempo, 30 Juni 1984; "Bahkan sikap politik Rhoma Irama, pilihannya kepada PPP untuk dikampanyekannya, lebih terasa sebagai perwujudan sikapnya yang bulat untuk "bangkit dari bawah" atau mewakili lapisan itu. Di situ jugalah faktor agama dalam musiknya bukan hal yang aneh. Nasihat budi pekerti, anjuran beribadah, petuah untuk bersikap adil, juga dalam pengertian sosial, yang semuanya kemudian menjadi lebih jelas bersosok sebagai ajaran agama dengan membacakan ayat Alquran dalam pengantar atau menyanyikannya sebagai saduran...."

Dalam hal ini, musik yang dihadirkan oleh Rhoma Irama memiliki karakter untuk mengundang orang banyak. Ia memiliki unsur-unsur (1) akar pada melodi, rithm, dan gaya vokal dari musik populer melayu; (2) lirik berbahasa Indonesia; (3) tarian atau joged yang relatif sederhana (4) lirik yang lugas dan mudah dicerna; dan (5) syair yang banyak mengangkat persoalan hidup harian orang-orang biasa (Weintraub, 2006: 414). Penonton atau penggemar dangdut Rhoma Irama yang sedemikian banyak dan merasa terwakili oleh syair lagu-lagu Rhoma itulah yang kemudian dibayangkan sebagai "rakyat".

Namun hal tersebut tidak berlangsung selamanya. Pada awal 90-an, ketika Rhoma diizinkan tampil kembali dalam televisi, hal tersebut pun mempengaruhi sikap politiknya. Rhoma Irama tercatat pernah berpindah partai, menjadi juru kampanye Golkar, dan pada 1992 duduk menjadi anggota MPR tetapi bukan dari partai, melainkan dari utusan golongan seniman dan artis. Langkah politik tersebut diambil oleh rezim Soeharto dengan tujuan untuk mengendurkan tekanan pada kelompok Islam dan meraih dukungan dari mereka, karena dirasa semakin banyak tekanan pada rezim tersebut.

Langkah politik tersebut pun berdampak pada pembangunan citra musik dangdut yang mulanya dianggap kampungan menjadi musik semua kalangan. Hal tersebut dapat diamati dengan melihat pada dekade 1990-an, ketika musik dangdut mulai diperkenalkan sebagai musik nasional yang mewakili segala lapisan β€”musik rakyat. Statusnya meningkat. Dari yang awalnya dianggap hanya didengarkan oleh masyarakat kelas bawah, perlahan mulai didengarkan kalangan kelas menengah dan elit. Beberapa pejabat tinggi pada era Orde Baru menyatakan ketertarikannya kepada musik dangdut, dan bukan sebatas ketertarikan personal saja.

Basofi Sudirman menyatakan bahwa dengan dangdut kita akan menyukseskan pembangunan. Tidak berbeda dengan Moerdiono misalnya, sebagai sekretaris negara pada zaman itu, menyatakan bahwa dangdut yang menyampaikan tema tentang penderitaan dan hidup yang kurang sejahtera. Hal ini mendatangkan sebuah ironi, tentang jabatannya yang berurusan dengan kesejahteraan rakyat, namun merasa lagu tersebut berbicara mewakili penderitaan rakyat, mungkin jika tidak berlebihan hal ini dapat dianggap sebagai otokritik bagi pemerintahan yang didudukinya kala itu.

Kelompok-kelompok dangdut dari Jakarta pun melakukan tur ke pedalaman Papua untuk mempopulerkan musik dangdut di sana. Di samping itu, perpindahan haluan politik Rhoma ke Golkar membuat dirinya yang sempat dianggap sebagai simbol perlawanan pada masa lalu menjadi berubah menjadi sosok politisi "kutu loncat", sebagaimana politikus pada umunya yang bersikap pragmatis.

Setelah Orde Baru runtuh pada 1998, Rhoma berpindah partai politik lagi. Pada 2012 Rhoma diusung sebagai calon presiden oleh partai berhaluan Islam lagi yaitu, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) tetapi batal. Hal tersebut disebabkan lantaran suara PKB tidak mencapai 20%. Belum menyerah, Rhoma berpindah partai politik lagi ke partai berhaluan Islam yang lain, yaitu Partai Bulan Bintang (PBB), tetapi juga tidak berhasil karena Rhoma kalah denga calon yang lain yaitu Yusril Ihza Mahendra melalui Muktamar di Bogor pada 25 April 2015.

Situasi setelah Reformasi mengakibatkan perubahan besar-besaran dalam ranah kehidupan politik, sosial, dan ekonomi. Ketunggalan Soeharto dan keterpusatan rezim digantikan dengan semangat demokratisasi dan sistem pemerintahan desentralisasi atau otonomi daerah. Hal tersebut pun berdampak pada banyaknya partai politik yang bermunculan di zaman pasca-Reformasi, setelah selama 32 tahun hanya dibatasi menjadi 3 partai politik.

Rhoma membentuk partainya sendiri, Partai Islam Damai dan Aman (Idaman) yang dideklarasikan September 2015. Partai Idaman dibayangkan akan menjadi kendaraan Rhoma untuk maju sebagai capres pada Pilpres 2019 mendatang. Tetapi hal tersebut pun ternyata tidak berjalan mulus; Partai Idaman tidak lolos verifikasi sebagai badan hukum partai politik di Kemenkum HAM lantaran tidak memiliki sedikitnya 75 persen kepengurusan di setiap provinsi.

Relasi Transaksional

Dari pemaparan tersebut dapat ditelusuri bagaimana Rhoma sangat berambisi dalam wilayah politik praktis, dan ambisinya cukup besar, yaitu menjadi presiden Indonesia dan menegakkan ideologi Islam seperti yang diyakininya. Lantas, di mana posisi musik dangdut dalam hal ini? Musik dangdut hanya ditempatkan sebagai pemanis kampanye partai politik. Pertama-tama karena menyadari kemampuannya untuk mengumpulkan massa.

Di sisi lain, kecenderungan tradisi kampanye partai politik di Indonesia memilih metode kampanye terbuka dan pengumpulan massa, maka musik dangdut merupakan suatu daya tarik khusus yang selalu laku di panggung kampanye partai politik di Indonesia. Panggung kampanye partai politik merupakan panggung dangdut pula.

Kedua, petinggi partai juga menggunakan wacana rakyat yang sudah terbangun melalui praktik dan pemaknaan musik dangdut yang telah menyejarah. Dengan kata lain, penggunaan musik dangdut dimaksudkan sebagai penggunaan pernyataan yang berbunyi bahwa partai politik mengusung musik dangdut, musik rakyat, maka dengan itu partai politik berpihak pada rakyat. Tapi pernyataan tersebut dari tahun-tahun tidak pernah berubah, dan berakhir menjadi omong kosong karena kontradiksi yang akhirnya terlihat setelah masa kampanye.

Hal ini kiranya dapat digunakan untuk membaca bagaimana langkah-langkah strategi komunikasi politik yang diambil oleh partai politik. Berawal dari fenomena yang terjadi pada Rhoma Irama, musik dangdut dan citra rakyat yang melekat padanya kemudian digunakan sebagai wacana yang kemudian dimainkan dalam kampanye. Apakah jika salah satu partai politik menghadirkan musik dangdut dalam kampanyenya, kemudian menandakan bahwa ia berpihak pada rakyat? Belum tentu.

Ideologi partai dan bentuk hiburan saat kampanye terbuka merupakan salah satu gestur atau bahasa dalam siasat komunikasi politik saja, dalam hal ini orkes dangdut atau penyanyi dangdut hanya digunakan sebagai pemanis belaka. Tapi apakah dengan demikian orkes dangdut atau penyanyi dangdut dengan serta-merta dapat dibayangkan memiliki keberpihakan pada partai politik tersebut? Itu juga belum tentu.

Panggung adalah habitat asal orkes dangdut; ia tidak terlalu banyak hidup dalam kepingan rekaman, ia lebih banyak hidup dari panggung ke panggung. Panggung kampanye partai politik hanyalah salah satu saja dari banyaknya panggung yang bisa dihinggapi orkes musik dangdut. Ia bisa hidup di panggung hajatan, pernikahan, khitanan, dan lain sebagainya. Pekerjaan menyanyi di panggung kampanye partai politik tidak bisa dibayangkan serta-merta sebagai keberpihakan ideologis, ia adalah pekerjaan biasa sebagaimana panggung-panggung yang lain. Ketika orkes dan penyanyi dikontrak, ya diambil, tapi untuk sekaligus menyerahkan suara? Belum tentu.

Maka dari itulah, kuasa penyanyi dangdut dan orkes yang kini naik daun justru memiliki posisi yang justru lebih tinggi dari partai politik itu sendiri. Kemampuan menghadirkan massa justru tidak lagi dimiliki oleh kader partai politik. Tidak ada paparan visi dan misi dengan gaya pidato yang membius dari tokoh partai politik. Kader-kader partai lebih memilih bergaya bahasa yang 'diplomatis' yang lebih terkesan berkelit dan banyak membual. Semua tunduk pada lantunan lagu Sayang yang dinyanyikan Via Vallen, ataupun Bojo Galak dari Nella Kharisma.

Irfan R. Darajat peneliti di Yayasan Kajian Musik Laras: Studies of Music in Society

(mmu/mmu)



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads