Mobil-mobil itu memakai 25,000,000 m2 lahan jalan kalau diam tak bergerak. Kalau bergerak bisa 50,000,000 hingga 60,000,000 m2. (Belum lagi parkirnya di jalan milik sabarataan, tempat isi bensin, bengkel dll).
Becak total hanya memakai 2,000 m2 lahan jalan. Itu pun di ruang-ruang yang jarang dilewati mayoritas mobil-mobil itu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara itu, minimal 250,000 ojek online beroperasi melanggra Undang-undang No 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Roda dua tak boleh menjadi angkutan umum, minimal roda-tiga baru boleh)
Misteri nalar: Mengapa Kota Jakarta dapat mentoleransi 2,500,000 mobil penyebab polusi serta minimal 250,000 ojek (online maupun tidak) yang melanggar undang-undang, tetapi tidak sanggup mentoleransi hanya 1,000 roda-tiga ramah lingkungan? Di mana salah nalar kita?
Masalah mendasar kita lebih mendalam. Ada kesalahan paradigma. Diperlukan paradigm shift. Regulasi kita sudah secara salah mengakomodasi kepentingan-kepentingan yang sempit serta tidak inklusif. Solusi kita bukan pilihan hanya A atau B atau C, tapi bisa A+B+C+... Jangan kita berkelahi memaksakan hanya A atau B atau C. Kita perlu bersatu dan kreatif mencari solusi yang inklusif. Jangan mau dipecah belah! Tidak maju-maju nanti.
Namun, benar juga kata orang, mengurangi ketimpangan dengan menolong yang lemah dan miskin itu tak sukar. Mereka hanya perlu sedikit. Yang sukar itu meladeni intoleransi yang kaya. Hal yang sama mungkin benar dalam hal membantu orang bodoh; tantangannya ada pada meladeni yang pintar yang tidak toleran, bukan sebaliknya.
Ir Marco Kusumawijaya arsitek, pengamat penataan kota dan mantan Ketua Dewan Kesenian Jakarta
(mmu/mmu)











































