Ketika Undangan Tahlilan Datang
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Ketika Undangan Tahlilan Datang

Jumat, 26 Jan 2018 14:20 WIB
Hilmi Amin Sobari
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Sebuah acara tahlilan (Foto: Faieq)
Jakarta - Saat kecil saya menyaksikan bagaimana fanatisme kelompok dan agama merusak hubungan sosial di masyarakat. Saya berasal dari keluarga NU yang cukup dihormati di kampung. Kakek adalah seorang kiai yang mengelola pesantren kecil dan sebuah masjid.

Saat kakek meninggal, ayah saya digadang-gadang sebagai calon penerusnya. Tetapi semua berubah ketika dia memutuskan beralih ke Muhammadiyah. Ia yang tadinya menjadi salah satu imam salat di masjid, secara perlahan disingkirkan, tak boleh lagi mengimami. Dalam perkara lain tentu lebih tegas, tidak boleh terlibat.

Meskipun begitu ada satu pengecualian. Setiap kali warga NU mengadakan tahlilan dan yasinan, mereka tetap mengundang ayah saya walaupun mereka tahu sebagai warga Muhammadiyah beliau pantang untuk melakukan kedua hal itu karena dianggap bid'ah.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

***

Maka bukan hal yang aneh bagi saya ketika ada sekelompok orang dengan pemahaman radikalisme-konservatisme membuat umat Islam terpecah.

Saat ini kita mudah menemukan video atau tulisan para juru dakwah yang mengajak umat Islam untuk menjadi kaum yang eksklusif, menggelorakan semangat jihad β€”khususnya di bidang politik, dan mengingatkan umat untuk kembali kepada teks keagamaan sebagai sumber rujukan utama.

Materi-materi dakwah kelompok tersebut biasa disebarkan melalui platform media sosial seperti Facebook dan Twitter, atau melalui metode broadcasting di aplikasi pengirim pesan seperti Whatsapp.

Saya pernah menonton video seorang ustaz yang mengharamkan tanda red cross dipasang di mobil ambulans. Menurutnya itu logo salib milik umat agama tertentu sehingga harus diganti dengan bulan sabit yang merupakan lambang milik umat Islam. Peneguhan identitas dan larangan melakukan tasyabbuh atau menyerupai umat agama lain.

Di kesempatan lain saya mendengar ceramah seorang ustaz yang mengharamkan transaksi berbasis aplikasi-teknologi karena terdapat unsur riba di dalamnya. Ada juga seorang tokoh yang posting-annya tak jauh-jauh dari "umat Islam di Indonesia sedang dizalimi penguasa lalim" β€”umat wajib melawan! (ini bikin merinding). Dan, masih banyak lagi hal lain yang serupa.

Kehadiran kelompok radikalis-konservatif tentunya memunculkan reaksi. Bagi kelompok moderat mereka adalah ancaman bagi umat Islam yang di Indonesia dikenal sebagai umat toleran. Untuk menjaga umat maka mereka mencoba mereduksi pengaruh gerakan ini dengan cara mendakwahkan Islam yang inklusif, ramah, dan progresif.

Dengan mengajarkan umat mengenai pemahaman Islam yang berpikiran terbuka, tidak mudah marah dan menghakimi, dan Islam yang menggunakan logika berpikir dan berlandaskan kemajuan dan pengetahuan maka diharapkan bisa mengimbangi dakwah kelompok radikalis-konservatif yang berlandaskan paham purifikasi.

Dengan mengembalikan arah dakwah umat ke Islam moderat maka diharapkan identitas Islam ramah ala Indonesia tidak pudar, dan menjadi model Islam yang rahmatan lil 'alamin.

Maka hari ini kita menyaksikan seolah Indonesia hanya dihuni oleh dua pihak yang sedang bersaing memperebutkan dominasi wacana. Jika muncul persoalan di satu kelompok maka yang lain segera merespons.

Pada kasus yang menimpa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang dituduh menistakan agama, kelompok konservatif-radikalis bertindak sebagai penuntut yang menginginkan Ahok diproses hukum, sedangkan kelompok moderat sebagai pembela yang menganggap tidak terjadi penistaan.

Belum lepas dari ingatan ketika seorang wartawan olahraga mengkritik Ustaz Abdul Somad. Ia dirisak dan dikeluarkan dari tempat kerjanya karena adanya tekanan dari kelompok konservatif-radikalis. Ia dianggap menghina ulama. Maka ia pun mendekat ke kelompok moderat, dan kini aktif menjadi penyebar pesan-pesannya.

Juga kasus yang menimpa pembawa komedi-tunggal Joshua Suherman dan Ge Pamungkas yang dalam materi lawakannya dianggap melecehkan Islam. Karena tuntutan datang dari kelompok konservatif-radikalis maka Joshua mencari dukungan ke kelompok moderat.

Di sisi lain, saat Ustaz Abdul Somad berceramah yang sedikit menyinggung pemahaman moderat maka segera ia dikecam oleh kelompok moderat. Begitu juga saat Ustaz Bachtiar Natsir menayangkan video di mana dirinya meminum air seni unta, segera ia diperolok. Maka dalam dua kasus itu kelompok radikalis-konservatif tampil di garda terdepan membelanya.

***

Tadinya saya berharap ketegangan di Pilkada DKI dengan tensi yang sangat tinggi karena melibatkan agama sebagai "ruh jihad" ikut berakhir bersamaan dengan tuntasnya hajatan itu. Harapan yang mungkin terlalu optimistis sebab nyatanya keberhasilan menyingkirkan Ahok dan mendudukkan Anies-Sandi di kursi DKI 1 dan 2 tidak membuat kelompok ini puas.

Mereka melanjutkan "jihad politiknya" dengan cara mem-backup Anies-Sandi dan berbagai macam kebijakannya. Mereka juga konsisten mendakwahi masyarakat untuk mengikuti jejak mereka dalam memperjuangkan politik-agama.

Di sisi yang berlawanan, kelompok Islam moderat terus memosisikan diri sebagai lawan, menggunakan segala daya untuk mematahkan argumen dan dakwah mereka. Maka berharap Indonesia akan damai dari perselisihan antara dua kelompok ini dalam waktu dekat sepertinya hanya tinggal harapan yang sia-sia.

Kembali ke cerita masa kecil saya soal undangan tahlilan dan yasinan. Walaupun ayah saya meyakini doktrin Muhammadiyahnya tidak mengakui tradisi itu sebagai bagian dari ajaran Islam tetapi ia mencoba berpikir terbuka dan mencari solusi. Ia mengutus saya menghadirinya. Secara perlahan, hubungan ayah dan warga sekitar membaik. Perbedaan ormas dan doktrin keagamaan tidak lagi menjadi penghalang kerekatan hubungan sosial.

Hal itu kemudian membuat saya mempelajari berbagai aliran dan kelompok dalam tubuh umat Islam. Setelah lama menggelutinya akhirnya saya sampai pada kesimpulan bahwa setiap aliran pada dasarnya sedang bergerak menuju ke titik yang sama yaitu ridha illahi dengan cara fastabiqul khairat, berlomba dalam kebaikan. Hanya caranya yang berbeda.

Jika saja masing-masing kelompok itu mau berpikir terbuka, memahami, menerima perbedaan, dan melepaskan diri dari agenda politik mungkin itu bisa jadi langkah pertama untuk berdamai.

Hilmi Amin Sobari pernah nyantri di PPMWI Kebarongan Banyumas Jawa Tengah. Saat ini bekerja sebagai seorang profesional. Berdomisili di Bekasi. Dapat disapa melalui akun Twitter @hilmisobari

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads