Hilangnya keajaiban Nawangwulan yang menyebabkan gabah di lumbung padi menyusut dengan cepat. Jumlah gabah kian berkurang yang berimbas pada ditemukannya selendang yang mengantar empunya kembali ke kayangan. Nawangwulan ogah kena tipu lagi. Ditinggalkanlah Jaka Tarub di desa.
Saat menghayati kisah Jaka Tarub dan Tujuh Bidadari, kita boleh membayangkan nuansa pedesaan dengan surplus padi di lumbung tiap petaninya. Tiap-tiap keluarga bisa memperoleh akses pangan. Sayangnya, kadang realita jauh lebih fantastis daripada cerita fiktif. Isu surplus beras yang kontroversial, misalnya. Kementerian Perdagangan jadi reaktif dengan isu ini. Tindakan segera diambil dengan mengimpor 500.000 ton beras kualitas khusus. Namun, kata "impor" mencipta ngeri pada psikologi petani.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Beras (nasi) telah menembus batas kesukuan, menyatukan kita melalui perut, menafikan keragaman makanan pokok yang pernah ada dalam perjalanan peradaban suku-suku Indonesia; umbi-umbian, sagu, jagung, hewan buruan. Ketersediaan nasi menjadi indikasi ketahanan pangan. Nawangwulan, sang bidadari tercantik, pun makan nasi. Kita telanjur kecanduan nasi!
Kisah Nawangwulan mencoba membujuk kita melongok keadaan di luar istana. Bahwa, kemakmuran tidak melulu milik keluarga raja. Kemakmuran, ketahanan pangan, ditemui di desa-desa, dalam rumah-rumah, dalam keluarga-keluarga biasa. Kita luput dengan menganggap desa itu miskin, petani itu miskin. Petani dan desa dikonotasikan miskin. Ah! Padahal, petani memiliki kuasa untuk mengatur pembagian hasil panen mereka; untuk dijual, dan untuk kebutuhan rumah tangga.
Maka, sebenarnya tiap-tiap keluarga petani adalah titik tolak ketahanan pangan, di desa bahkan nasional.
Kisah juga menarasikan peran perempuan, peran ibu. Peran Nawangwulan dengan sengaja dikisahkan saat menjadi manusia. Nawangwulan mengalami perubahan hidup yang sangat drastis: dari seorang bidadari jelita penghuni kayangan, menjadi manusia bumi. Ia melepas segala aset, akses, dan fasilitas yang melekat pada kebidadariannya, menjadikannya perempuan desa biasa. Ia melakoni kemanusiaannya tanpa perlu merasa jetlag. (Ini tentu sangat berat apabila dilakoni perempuan mutakhir yang mengalami penurunan status sosial. Aduh!).
Nawangwulan menjadi representasi wanita Jawa di masanya. Ia memasak, merawat anak, membersihkan rumah. Sayangnya, kebanyakan dari kita terkecoh dengan stereotip dapur, sumur, dan kasur. Domain wanita Jawa sering dilekatkan stereotip itu. Atau, seperti praduga Peter Carey dalam Perempuan-perempuan Perkasa (2016), stereotip itu barangkali dampak dari kolonialisme yang menginginkan perempuan Jawa laiknya boneka cantik tapi berotak kosong. Kolonialisme tidak mengizinkan perempuan meninggalkan sektor domestiknya. Takut akan muncul lagi sosok sehebat Nyi Ageng Serang.
Meski belenggu itu telah didobrak, katakanlah oleh Kartini, dapur tetap diidentikkan dengan perempuan. Kita memang tidak bisa menafikan pengorbanan lelaki, bapak, yang menekuni sektor domestik, dan perempuan, ibu, yang memilih berkarier. Tetapi, urusan memilih menu, meracik, dan menyediakan sarapan atau bekal masih kerap diidentikkan dengan peranan dan cinta kasih ibu. Peran dan tugas ini masih dapat kita saksikan dalam film animasi Disney, Mars Needs Moms (2011).
Film itu mengisahkan Milo, bocah 9 tahun yang hampir saja kehilangan ibunya gara-gara diculik makhluk Mars. Ibu Milo memiliki perwatakan yang dicari makhluk Mars untuk ditanamkan di nannybots (robot pengasuh bayi). Ibu mendidik Milo agar bersih dan disiplin waktu. Ia juga mengatur makanan untuk menjamin gizi seimbang. Tetapi, suatu ketika, ia terpaksa mendebat Milo karena tidak memakan brokoli di menunya. Perdebatan memuncak dan berakhir saat Milo mengucapkan, "Hidupku akan jauh lebih baik kalau aku tidak punya ibu." Dan, pernyataan "pembuangan ibu" inilah yang membawa bencana.
Makhluk Mars mengambil para ibu yang "terbuang". Kemudian, mereka mengekstraksi ingatan ibu dan menanamkannya di nannybots. Diceritakan, Milo berhasil menyelamatkan ibunya dan meminta maaf untuk ucapan kasarnya. Makhluk Mars rupanya membutuhkan ibu untuk membangun peradaban! Siapa tahu, menjadi ibu itu sulit?
Perempuan yang memilih atau pun mewarisi peran ibu berterima dengan tugas-tugas ke-ibu-an. Ibu hampir tidak pernah gagal meriset dalam diam: ibu tahu menu kelangenan tiap anggota keluarga. Melalui tangan ibu, ada kasih yang teramu di tiap sajian. Ada makna kultural yang diwariskan; pengajaran-bimbingan pola makan seimbang, tepat waktu, dan rasa-merasa cukup dengan rezeki.
Ibu juga tidak segan menghabiskan makanan anaknya yang tersisa, sebagai bentuk syukur akan kelimpahan rezeki dan kemurahan semesta alam. Agar alam, dan tentu saja Tuhan, tidak murka karena pembuangan pangan.
Saya ingat renungan batin Miranda Risang Ayu dalam buku Cahaya Rumah Kita (1997): pekerjaan menjadi orangtua, khususnya ibu, merupakan salah satu pekerjaan klasik terberat dan tertua dalam sejarah umat manusia. Kita boleh membenarkan. Tidak ada kursus menjadi ibu. Karier sebagai ibu adalah profesi seumur hidup. Tentu, tidak mengenal masa pensiun seperti pekerjaan lain.
Mencintai, merawat, dan memenuhi kebutuhan nutrisi manusia, tua dan muda, membutuhkan kedisiplinan dan kekuatan yang maha lembut. Kekuatan ibu inilah, disadari atau tidak, turut menentukan ketahanan pangan pada aras keluarga. Dan, tentu saja, ketahanan pangan di lingkup lebih luas.
Anindita Prabawati penulis buku Suguhan (Hampir) Serius
(mmu/mmu)