Memasuki era media digital ketika semua informasi bisa didapatkan hanya dengan sekali ketik, membuat komodifikasi terhadap nilai seorang perempuan. Perempuan bisa dengan sangat mudah mendapat label pahlawan sampai binal hanya dengan aktivitas yang sekali ia lakukan. Adakah kemudian perempuan yang menjadi pahlawan menjadi lebih tinggi nilainya? Atau, karena jumlahnya yang terlampau sedikit?
Perempuan seusia dewasa yang βseharusnya- telah memiliki nalar berpikir yang lebih baik dibanding saat remaja apalagi anak-anak, berlaku memberantas kejahatan dan menuntut keadilan adalah hasil dari olah pikir untuk mempertahankan hidup. Seorang lelaki dewasa pun berlaku demikian. Terlebih saat ini, kebanyakan pihak yang maju ke medan perang lebih banyak didominasi oleh para lelaki. Apakah mereka juga bisa disebut pahlawan karena membela tanah air atau hanya sekadar menjalankan tugas?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Perempuan? Perempuan di usia dewasa jika selalu dimasukkan ke kategori yang pantas dilindungi maka urusan dapur, sumur, dan kasur akan selalu tertanam menjadi keahlian wajib bagi perempuan. Ia dituntut untuk selalu berada di bagian belakang untuk memenuhi kebutuhan laki-laki yang berjuang atau bekerja di luar rumah.
Nawal el Sadawi pernah menceritakan bahwa perempuan dinikahi dan ditinggal di rumah sedangkan para lelaki pergi bekerja agar pekerjaan seperti membersihkan rumah, mengurus anak, dan pelayanan seperti urusan makanan dan selangkangan bisa tersedia ketika para lelaki pulang. Lelaki tidak perlu pusing lagi terhadap urusan rumah, dan cukup fokus terhadap pekerjaan yang ia lakukan di luar. Perempuan pun menjadi aset pemenuh hawa nafsu bahkan dalam peperangan sekali pun.
Degradasi Nilai Perempuan
Seorang perempuan dikabarkan jatuh cinta dan menjalin hubungan dengan lelaki yang sudah beristri. Kehidupan pribadinya bisa dengan mudah dibagikan melalui jejaring sosial yang terhubung dengan banyak orang. Apalagi untuk menulis jurnal di akun pribadi tidak perlu menjadi seorang jurnalis yang harus memenuhi kaidah jurnalistik. Informasi perihal kehidupan pribadi kemudian dapat disebarluaskan selayaknya kehidupan para artis yang sering diekspos sampai ke akar-akarnya meskipun tidak berhubungan dengan profesi. Kita sering mengiyakan bahkan menikmati aib-aib mereka.
Kisah cinta seorang perempuan yang kemudian menjadi viral di media sosial dianggap sebagai sesuatu yang amoral karena merebut pasangan orang lain. Ia tidak akan mendapat dukungan. Bahkan nilainya akan segera turun dan kemudian dijuluki sebagai pelakor, istilah yang baru-baru ini populer. Lelaki pun disalahkan karena mempermainkan komitmen yang sebelumnya telah dibuat atas kesadaran sendiri bersama pasangannya. Apakah keduanya patut disalahkan? Dan, yang dikhianati adalah korban? Atau, kemudian manusia pun sebenarnya menganut Hukum Gossen 1 seperti layaknya kaidah perekonomian bahwa kenikmatan terhadap sesuatu akhirnya akan mencapai batas kejenuhan apabila dinikmati secara terus-menerus?
Jika nilai-nilai yang membuat seorang manusia kemudian dikomersialkan ke ranah perekonomian, maka cinta ataupun hubungan pun bisa diperjualbelikan. Nasibnya akan sama seperti tubuh perempuan yang kemudian lebih banyak dijadikan sebagai komoditas di atas komoditas. Pemberitaan mengenai capaian atau kesuksesan sering diiringi dengan sebutan cantik ataupun seksi, misalnya.
Aifiatu Azaza Rahmah seorang yang ingin menyuarakan pikirannya melalui tulisan sebab terkadang upaya berbicara secara langsung seringkali tidak didengar. Dapat disapa melalui jejaring sosial Facebook
(mmu/mmu)