Konsekuensi dari penantian tersebut adalah semakin lambannya pemenuhan kapabilitas militer Indonesia, khususnya untuk kekuatan pemukul dan penindak. Dampak lanjutannya adalah efek penggentar (deterrence) yang mutlak diperlukan dalam pertahanan negara akan sulit dipelihara. Padahal, menurut data The Military Balance, baik tahun 2016 maupun 2017, kesiapan operasional jet tempur TNI AU hanya sekitar 45 persen. Pengungkapan data oleh lembaga riset pertahanan Inggris itu juga menunjukkan negara-negara luar mengetahui kelemahan Indonesia.
Karena itu, dilihat dari waktu negosiasi yang telah memakan waktu lebih dari tiga tahun, evaluasi proses pengadaan perlu dilakukan lebih serius. Apalagi, saat kunjungan kenegaraan Presiden Joko Widodo ke Rusia, Juni 2016 direncanakan penandatanganan kontrak pengadaan Su-35. Ironisnya, urusan sepenting itu belum dapat dituntaskan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Waktu negosiasi hingga penandatanganan kontrak yang sangat lama akan memperpanjang pula durasi pengadaan berikutnya. Misalnya, pemerincian kapabilitas teknis, produksi dan pengujian pesawat sesuai pesanan, hingga pengiriman awal sejumlah (batch) pesawat. Durasi pengadaan alutsista dapat makin panjang bila dalam masa penyelesaian seluruh pesanan terdapat permintaan baru terkait spesifikasi teknis, seperti teknologi persenjataan dan siluman (stealthiness).
Permintaan baru biasanya terjadi karena teknologi berkembang sangat cepat, apalagi jika negara-negara di kawasan yang sama telah membeli sistem senjata terbaru. Lalu, bagian manakah yang paling mendesak harus dievaluasi karena memakan waktu paling banyak sehingga seluruh proses lainnya menjadi terhambat? Pertanyaan inilah yang perlu dijawab sehingga dapat menjadi masukan bagi pengambil keputusan negara ini.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut kita perlu membandingkan keterangan pejabat di atas dengan siaran pers bersama Kementerian Pertahanan dan Kementerian Perdagangan pada 22 Agustus 2017. Di dalamnya disebutkan bahwa pada 10 Agustus 2017 telah diteken memorandum kesepahaman (MoU) antara perusahaan Rusia, Rostec, dengan PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI), sebuah BUMN yang berhubungan erat dengan Kemdag.
Pada MoU disebutkan Rostec bersedia membeli lebih dari satu komoditas ekspor dengan pilihan antara lain, CPO (minyak sawit mentah) dan turunannya, karet olahan dan turunannya, kopi dan turunannya, produk industri pertahanan dan lain-lain. Kesediaan itu merupakan imbal dagang sebesar 570 juta dolar AS dari rencana pembelian 11 unit Su-35 senilai 1,14 miliar dolar.
Dari paparan di atas kita dapat melihat bahwa belum ada kemajuan signifikan sesudah penekenan MoU tersebut. Komoditas atau produk olahan apa yang akan dibeli Rusia sebagai kompensasi pembelian jet tempur mereka, berapa nilai dan kualitasnya, serta kapan serah terima komoditas/produk dagang, terlihat belum disepakati kedua belah pihak. Lalu, perusahaan siapa yang akan menjadi eksportir komoditas/produk agaknya lebih sulit lagi untuk diputuskan.
Ironisnya, pada aspek pengadaan alutsista, seperti jet tempur dan spesifikasi teknisnya, termasuk sistem persenjataan, serta harga Su-35 justru lebih mudah disepakati. Bahkan, jika pernah ada berita keluhan dari pimpinan TNI tentang spesifikasi teknis Su-35 hanya sekian persen dari rencana awal menunjukkan baik dari pihak calon pemakai (TNI dan Pemerintah Indonesia) maupun produsen (Rostec, Sukhoi Aviation dan Pemerintah Rusia) telah memiliki kerangka kesepahaman tentang semua sistem jet tempur tersebut, seperti sistem avionik, persenjataan dan lain-lain.
Lagi pula, Indonesia telah membeli belasan Su-27 dan Su-30, baik di era Presiden Megawati maupun Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sehingga diyakini aparat Kemhan dan TNI telah berpengalaman mengurus spesifikasi teknis jet tempur tersebut.
Adanya masalah serius pada proses negosiasi imbal dagang juga dapat dilihat dari proses lahirnya regulasi tersebut. Ketika Presiden Jokowi mengunjungi Rusia, Juni 2016 justru Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 44/M-DAG/PER/6/2016 baru dikeluarkan, tepatnya 20 Juni 2016. Belakangan, aturan tersebut direvisi dengan Permendag Nomor 28/M-DAG/PER/5/2017 tanggal 15 Mei 2017. Perubahan terpentingnya adalah kewenangan penentuan jenis dan nilai barang untuk imbal dagang (imbal beli), serta perusahaan pihak ketiga pelaksananya ditetapkan oleh Menteri Perdagangan. Dengan aturan sebelumnya kewenangan tersebut berada pada tim yang dibentuk menteri dan direktur jenderal.
Jarak waktu perubahan Permendag tersebut adalah sekitar enam bulan. Padahal, Permendag yang keluar Juni 2016 sebenarnya sudah terlambat dikeluarkan jika dilihat dari keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2014 tentang Mekanisme Imbal Dagang dalam Pengadaan Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan dari Luar Negeri tanggal 14 Oktober 2014. Keluarnya Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 30 Tahun 2015 yang mengatur imbal dagang, kandungan lokal dan ofset (kompensasi industrial) dalam pengadaan alat peralatan hankam dari luar negeri pada 30 Desember 2015 memang tidak dapat disebut cepat.
Namun, Permenhan tersebut tidak menjadi konsiderans Permendag, sehingga tidak dapat menjadi alasan keterlambatan lahirnya Permendag. Terlebih, Permendag tersebut bukan hanya mengatur imbal beli dari alutsista, tetapi pengadaan barang pemerintah termasuk dari luar sektor pertahanan.
Selain karena keterlambatan pembuatan regulasi, keterlambatan juga mungkin dalam penentuan jenis dan nilai barang imbal dagang, serta perusahaan pelaksananya. Kompleksitas masalah ini akan bertambah jika ada kepentingan pribadi dan golongan dari mereka yang dekat dengan kekuasaan. Selain itu, perdagangan komoditas, seperti CPO, karet, dan lain-lain menghadapi fluktuasi harga dan tergantung waktu pengiriman.
Rusia juga belum tentu bersedia mengimpor komoditas tertentu, seperti CPO, karena rentan digugat Uni Eropa dengan alasan lingkungan hidup. Padahal, CPO justru menjadi komoditas unggulan Indonesia. Situasi ini dihadapi Rusia karena setelah diembargo Amerika Serikat sejak 2014 Rusia tergantung pada Jerman, Prancis, dan negara Eropa lainnya, di luar China.
Melihat kompleksitas pengadaan jet tempur ini, yang ironisnya bukan disebabkan oleh proses pada institusi pertahanan, Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla perlu berinisiatif untuk melakukan terobosan. Salah satunya adalah mengontrol langsung proses pengambilan keputusan imbal dagang dan pelaksanaannya dengan batas waktu yang ketat. Prioritas kita bukan mencari laba, apalagi untuk pribadi dan golongan tertentu. Prioritas Indonesia adalah pengadaan alutsista untuk kekuatan penindak dan pemukul, serta pencipta efek penggentaran.
Pengontrolan langsung tersebut dapat dilakukan dengan merujuk pada UU Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan Pasal 22 bahwa Presiden adalah Ketua Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP). Kewenangan KKIP harus dimanifestasikan dengan kontrol langsung dari Ketua KKIP, yakni Presiden, termasuk dalam penetapan kompensasi industrial, kandungan lokal, transfer teknologi, imbal dagang dan lain-lain. Kewenangan KKIP yang diatur undang-undang itulah yang terdelusi secara implisit dengan keluarnya berbagai peraturan menteri, dan terbukti memperlambat proses pengadaan alutsista. Kiranya Presiden Jokowi berkenan mengevaluasi masalah ini sebagai salah satu resolusi tahun 2018.
Fahmi Alfansi P Pane alumnus Pascasarjana Manajemen Pertahanan, program kolaborasi Universitas Pertahanan Indonesia dan Cranfield University Inggris
(mmu/mmu)