Secara ringkas, CSR sebuah perusahaan sepatutnya menyentuh dulu hal-hal yang terkait dengan bisnis mereka secara langsung. Setelah kewajiban itu tunai, barulah perusahaan tersebut dapat melakukan kegiatan CSR dalam bentuk lain. Namun sayangnya di Indonesia penerapannya bergeser sangat jauh. Di Indonesia, CSR lebih sering dimaknai sebagai sumbangan dana oleh perusahaan untuk kegiatan yang sifatnya non-profit.
Dalam konsep CSR, kegiatan itu disebut tanggung jawab filantropis. Tanggung jawab ini adalah bagian pucuk pada Piramida Caroll yang menggambarkan struktur CSR. Artinya, sebenarnya ada berbagai tanggung jawab lain yang lebih mendasar yang harus ditunaikan perusahaan, yaitu tanggung jawab ekonomi, tanggung jawab hukum, dan tanggung jawab etis. Sayangnya, ketiga jenis tanggung jawab itu sering diabaikan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam hal industri rokok, ada begitu banyak tanggung jawab sosial yang mereka abaikan. Yang pertama dan utama adalah tanggung jawab terhadap efek rokok pada kesehatan manusia, baik perokok maupun orang-orang di sekitarnya. Alih-alih bertanggung jawab, industri rokok cenderung membantah efek rokok terhadap kesehatan. Mustahil kita bisa menyaksikan ada perusahaan rokok yang menyantuni perokok yang sakit akibat merokok.
Industri rokok juga tutup mata terhadap perokok di bawah umur. Alih-alih melakukan usaha mencegah anak-anak remaja merokok, industri rokok justru menjadikan mereka sebagai target pemasaran.
Yang tak kalah penting adalah tata krama para perokok. Di Indonesia masih sangat banyak perokok mengabaikan tata krama. Orang bisa merokok di sembarang tempat, seperti dalam angkutan umum, atau tempat umum. Lalu mereka dengan enteng membuang puntung rokok sembarangan, menjadi sampah yang mengotori lingkungan. Yang lebih mengerikan, ada banyak perokok yang dengan enteng menyulut rokok di depan anak-anaknya, menjadikan mereka perokok pasif.
Apa yang dilakukan industri rokok terhadap hal itu? Tidak ada. Mereka menghabiskan entah berapa puluh miliar uang setiap tahun untuk berbagai iklan dan sponsor. Adakah yang memberi pendidikan kepada para perokok? Tidak.
Yang terjadi di Jepang menurut saya bagus untuk dijadikan teladan. Di Jepang kita tidak akan menemukan iklan rokok dalam siaran TV, dalam arti iklan yang mengajak orang untuk membeli rokok. Atau, iklan yang membangun citra baik untuk perokok. Perusahaan rokok Japan Tobacco menyiarkan iklan di TV, tapi tidak untuk mengiklankan rokok. Perusahaan itu menyiarkan iklan yang mendidik perokok untuk menjaga tata krama ketika merokok. Misalnya, mengingatkan orang soal bahaya lentingan api rokok atau gangguan asap bagi orang lain.
Pernahkah itu dilakukan oleh industri rokok Indonesia? Tidak. Mereka tidak peduli terhadap efek apapun yang terjadi, sebagai akibat produk bisnis mereka. Mereka lebih fokus pada kegiatan filantropi, melalui klub olah raga, pemberian beasiswa, dan lain-lain. Kasarnya, mereka menyogok masyarakat dengan sumbangan-sumbangan, dengan mengabaikan tanggung jawab yang lebih fundamental.
Hasanudin Abdurakhman cendekiawan, penulis dan kini menjadi seorang profesional di perusahaan Jepang di Indonesia
(mmu/mmu)