Teknologi ruang angkasa memang berkembang pesat belakangan ini. Lembaga ruang angkasa Amerika Serikat NASA, yang berhasil mengantarkan manusia ke bulan untuk pertama kalinya beberapa dekade silam bahkan sudah harus bersaing dengan perusahaan-perusahaan transportasi ruang angkasa swasta seperti Spacex milik Elon Musk. India, yang merintis teknologi roketnya dalam waktu bersamaan dengan Indonesia di awal dekade 1960-an, pada 2014 sudah berhasil mengirimkan satelit pertamanya ke orbit Mars. Malaysia sudah mengirimkan warga negaranya ke luar angkasa pada 2006 melalui program Angkasawan.
Kemajuan bangsa-bangsa lain agaknya tidak membuat bangsa Indonesia lantas terinspirasi. Persoalan-persoalan ruang angkasa jarang menyulut opini publik, kecuali mungkin perdebatan soal "bumi datar" yang cenderung konyol dan sensasinya tidak bermutu bagi masyarakat luas. Padahal, Indonesia sudah merintis usaha serius dalam hal mengeksplorasi ruang angkasa setidaknya sejak 1963 ketika Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (LAPAN) berdiri dan melakukan serangkaian uji coba peluncuran roket-roketnya. Sebut saja roket-roket Kartika I dan Kappa-8 yang menempatkan Indonesia dalam peta negara-negara peluncur roket di dunia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Catatan-catatan historis tersebut adalah akar perkenalan bangsa Indonesia kepada teknologi ruang angkasa. Sayangnya, akar tersebut tidak membangun budaya pikir yang kokoh dan berkelanjutan. Alih-alih melek terhadap isu-isu ruang angkasa terkini seperti pengembangan teknologi roket, wacana eksplorasi bulan, atau kolonisasi Mars, kita masih disibukkan dengan isu-isu ruang kuasa, yakni urusan hal-ihwal politik yang biasanya selalu menimbulkan bentrok verbal maupun nonverbal. Perdebatan politik dengan partisipasi aktif publik luas di dalamnya bukanlah hal keliru, malah sejatinya meneguhkan pilar-pilar demokrasi kita, asal hasilnya produktif.
Silang sengkarut kekuasaan yang tengah berpusat pada dua kubu, yakni kubu "kotak-kotak" dan "garuda merah" kian membuat atmosfer kehidupan di Indonesia memanas. Pemilihan Presiden 2014 memperlihatkan bagaimana media sosial menjadi arena pertengkaran massa kedua kubu, lalu ditegaskan pada Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017. Kala negara-negara lain dengan kreatif merancang dan memperkenalkan nama-nama roket terbarunya, seperti GSLV Mk III (India), SS-520-4 (Jepang), Kaituozhe-1 (Tiongkok), dan Electron (Selandia Baru), Indonesia malah memperkenalkan istilah-istilah olok-olokan seperti cebong, ahokers, sumbu pendek, JKT58, dan lain-lain.
Bukan hanya mental masyarakatnya, kebijakan pemerintah yang cenderung menganaktirikan riset ruang angkasa juga menjadi masalah. Anggaran LAPAN untuk 2018 hanya sebesar 800 miliar rupiah, begitu kerdil dibandingkan ISRO (India) yang setara 18 triliun rupiah, atau NASA (setara 240 triliun rupiah). Saya pernah menemui Adi Sadewo Salatun, kepala LAPAN periode 2006-2011, pada 2013. Ia berkata bahwa LAPAN sebenarnya memiliki sumber daya manusia yang andal, hanya saja kerap terkendala kecilnya anggaran. Adi adalah anak dari Raden Jacob Salatun, pendiri LAPAN.
LAPAN mampu bertahan dengan anggaran minim selama ini, ditandai dengan diproduksinya roket-roket seri RX dan satelit-satelit penginderaan jauh; agaknya mengeksplorasi bulan atau Mars masih begitu jauh dari angan. Padahal, wilayah Indonesia begitu strategis bagi konstruksi teknologi ruang angkasa. Pulau Biak di Papua sudah dilirik oleh negara-negara lain untuk dirombak menjadi bandara luar angkasa karena posisinya dekat dengan garis khatulistiwa, yang membuat peluncuran roket menjadi lebih murah dan menghemat bahan bakar. Biak yang dikelilingi lautan juga terbilang aman untuk meluncurkan roket.
Perlu diterapkan sebuah kebijakan riset nasional paten, dan pengasahan nalar publik terhadap sains yang mumpuni jika Indonesia memang ingin benar-benar serius tampil sebagai bangsa dan negara yang melek terhadap teknologi ruang angkasa. Menurut survei global Gallup pada 2009, 99% orang Indonesia masih menganggap agama, dan tentu janji-janji ruang surga bagi penganutnya, penting bagi kehidupan. Celakanya, aset religius tersebut kerap dipolitisasi ke ranah ruang kuasa. Hasilnya, banyak yang mengamini keterlibatan dalam aksi-aksi yang sejatinya kental dengan politisasi agama sebagai sebuah ibadah.
Sudah waktunya masyarakat Indonesia berbenah dan beribadah secara produktif, misalnya, mendekatkan diri kepada Tuhan dengan membuka wawasan dan mempelajari benda-benda ciptaan-Nya sampai sedalam-dalamnya, bukannya memamerkan keimanan secara tendensius dan agresif di ruang-ruang publik. Karenanya, mempromosikan penetrasi sains untuk memicu transformasi nalar publik, yang lantas bermanfaat untuk memajukan aspek-aspek politik, sosial, dan ekonomi orang-orangnya, kian mendesak untuk segera dilaksanakan. Mungkinkah keluh-kesah Jokowi akan dilanjutkan dengan respons cekatan pemerintah untuk mensponsori lebih jauh aspek-aspek pengembangan sains di dalam negeri? Patut untuk dinanti.
Rahadian Rundjan esais dan penulis, menggemari tema sejarah, sains, dan budaya populer. Dapat disapa di @rahadianrundjan
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini