Peraturan KPU Nomor 11 Tahun 2017 tentang Pendaftaran, Verifikasi, dan Penetapan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah, pasal 22 ayat 1 mengatakan, KPU melakukan penelitian administrasi terhadap dugaan keanggotaan ganda partai politik. Dan, di ayat selanjutnya dijelaskan yang dimaksud dengan ganda adalah ganda eksternal (ganda dengan parpol lain) serta ganda internal (ganda di dalam partai sendiri).
Untuk ganda eksternal KPU diperintahkan melakukan verifikasi faktual dengan cara mendatangi dor to dor. Sedangkan ganda internal, KPU hanya mencoret saja atau dihitung satu. Misal ada 300 ganda internal, maka KPU hanya menghitung satu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam Undang-undang Nomor 7/2017 tentang Pemilihan Umum pasal 3 menyebutkan Penyelenggara Pemilu harus berdasarkan asas yakni langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil serta harus memenuhi prinsip diantaranya terbuka atau transparansi.
Tetapi pada praktiknya KPU enggan terbuka pada tiga hal ini. Pertama, saat proses verifikasi faktual. Keputusan KPU Nomor: 174/HK.03.1-Kpt/03/KPU/X/2017 tentang Pedoman Pendaftaran, Penelitian Administrasi, Verifikasi Faktual, dan Penetapan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota pada halaman 39 huruf b hanya mengatakan, KPU/KIP/ Kabupaten/Kota menyampaikan hasil verifikasi faktual keanggotaan kepada partai politik, KPU melalui KPU Provinsi, dan Bawaslu Kabupaten/Kota.
Karena Keputusan KPU inilah akhirnya para Pengawas Pemilu kesulitan dalam mengawasi proses verifikasi faktual yang dilakukan oleh petugas verifikator. Meski demikian, KPU tetap menganggap lembaganya sudah transparan, karena sudah memberikan jadwal dan waktu pelaksanaan verifikasi faktual kepada partai politik (Keputusan KPU No 174 halaman 36 huruf c poin 1. Padahal, secara logika KPU dan partai politik tidak boleh "berduaan" karena akan menimbulkan dugaan-dugaan negatif baik dari Pengawas Pemilu ataupun masyarakat.
Kedua, dalam proses rekrutmen petugas verifikator. Dalam melakukan perekrutan petugas verifikasi faktual, KPU tak pernah berkomunikasi dengan Panwas Pemilu. Padahal, petugas verifikator ada ketentuan dan syarat-syaratnya antara lain adalah bukan anggota partai politik, harus cermat, teliti, dan jujur dalam bekerja.
Petugas verifikator juga harus mengerti dengan apa yang dikerjakannya. Pertama, menerima softcopy daftar nama anggota partai politik hasil pencermatan KPU. Kedua, meneliti jumlah keanggotaan partai politik pada softcopy daftar nama anggota partai politik hasil pencermatan KPU, daftar nama anggota partai politik sebagaimana formulir Lampiran 2 Model F2-Parpol dan fotokopi KTA.
Ketiga, mencocokkan softcopy daftar nama anggota partai politik hasil pencermatan KPU dengan daftar nama anggota partai politik sebagaimana formulir Lampiran 2 Model F2-Parpol dan fotokopi KTA. Apabila softcopy daftar nama anggota partai politik telah sesuai dengan hardcopy dan/atau KTA, maka KPU Kabupaten/Kota memberikan keterangan dengan tanda centang pada softcopy daftar nama anggota partai politik.
Apabila terdapat ketidaksesuaian antara softcopy daftar nama anggota partai politik dengan formulir Lampiran 2 Model F2-Parpol, KPU Kabupaten/Kota menggunakan softcopy daftar nama anggota partai politik hasil pencermatan KPU sebagai pedoman untuk mencocokkan dengan fotokopi KTA.
Lalu, apabila daftar nama anggota partai politik pada softcopy tidak ditemukan fotokopi KTA, KPU Kabupaten/Kota memberikan keterangan pada softcopy daftar nama anggota partai politik tidak ditemukan KTA.
Keempat, menyusun berita acara hasil verifikasi administrasi keanggotaan partai politik sebagaimana dimaksud angka 2 dan 3 dalam contoh formulir terlampir. Kelima, melaporkan berita acara hasil verifikasi administrasi keanggotaan partai politik kepada KPU melalui KPU Provinsi dan aplikasi Sipol. Keenam, menerima softcopy daftar nama anggota partai politik hasil perbaikan dari KPU untuk dicocokkan dengan hardcopy daftar nama anggota partai politik dan/atau fotokopi KTA hasil perbaikan dengan mekanisme sebagaimana dimaksud angka 2 sampai dengan 5.
Ketiga, KPU enggan terbuka pada proses pembagian surat pemberitahuan waktu dan tempat pemungutan suara atau formulir C6-KWK II. Formulir ini dibagikan oleh Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) seminggu sebelum pemungutan suara. Pendistribusian formulir C6 seharusnya melibatkan Pengawas Pemilu, karena jika C6 ini jatuh kepada yang bukan pemiliknya, maka bisa disalahgunakan.
Contoh kasus di Jakarta Utara, S ketahuan menggunakan formulir C6 milik seorang warga Kelurahan Tugu Selatan, Kecamatan Koja lainnya bernama Hasan Basri di TPS 54 RW 07 dan diancam kurungan penjara paling singkat 24 bulan dan paling lama 72 bulan atau denda paling sedikit Rp 24.000.000,00 dan paling banyak Rp 72.000.000,00.
Meski formulir C6 bukan menjadi syarat untuk memilih, namun persepsi masyarakat dan KPPS tetap membawa C6 saat datang ke TPS.
Oleh karenanya, dalam proses ini KPU harus lebih hati-hati dan meminta pengawas pemilu selalu mengawasi pekerjaannya. Jangan jalan sendiri yang nantinya akan mengakibatkan sebuah pelanggaran baik administrasi, pidana, kode etik ataupun sengketa. Hadirnya Pengawas Pemilu dalam proses tersebut sesungguhnya untuk melakukan pencegahan dengan cara selalu mengingatkan baik secara lisan atau bersurat.
Transparansi dalam suatu lembaga itu sangatlah penting. Meski tak diatur dalam peraturan, juknis, ataupun pedoman namun jika tidak melanggar etika, saya pikir tidak ada masalah selama tidak ada yang dirugikan. Kita harus akui KPU saat ini sudah transparan pada hasil. Namun, belum pada tataran proses. Semoga tulisan ini dapat membuka mata KPU tentang arti sebuah transparansi. Bersama rakyat awasi Pemilu. Bersama Bawaslu tegakkan keadilan pemilu. Salam awas!
Ahmad Halim Ketua Panwas Kota Administrasi Jakarta Utara
(mmu/mmu)











































