"Satu kata yang tepat menyimpulkan tanggung jawab setiap wakil presiden adalah 'untuk dipersiapkan'." Kurang lebih demikian Dan Quayle, mantan wakil presiden AS era kepemimpinan George W. Bush mendeskripsikan posisi dan jabatannya. Lebih jauh dia menjelaskan bahwa jabatan wakil tersebut merupakan jabatan canggung. Meskipun seringkali kita tidak setuju dengan kebijakan yang diambil oleh orang nomor satu, namun harus tetap menghormati dan komit untuk mendukung dan melaksanakannya sebaik mungkin.
Dalam logika analogis, hal ini dapat diparalelkan dengan berbagai jabatan wakil lainnya dalam sebuah struktur organisasi badan hukum, baik privat maupun publik, dan tidak terkecuali juga untuk jabatan wakil kepala daerah di Indonesia, baik wakil gubernur maupun wakil bupati/walikota. Mereka yang menduduki jabatan wakil tersebut adalah orang-orang yang siap dan dipersiapkan untuk membantu dan mewakili kepala dalam hal keadaan dan situasi tertentu, yaitu ketika sang kepala berhalangan sementara maupun tetap.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bara dalam Sekam
Fakta empiris membuktikan semenjak adanya jabatan kepala dan wakil kepala daerah, baik dari rezim pilkada melalui DPRD maupun pilkada langsung oleh rakyat, hubungan kepala daerah dan wakil kepala daerah sering berujung pada ketidakharmonisan dan perpecahan. Alih-alih adanya komitmen kebersamaan dalam pelaksanaan tugas dan wewenang penyelenggaraan pemerintahan daerah hingga akhir masa jabatan, yang terjadi malah rivalitas dan perseteruan kekuasaan.
Fenomena intensitas publikasi dan pencitraan diri di berbagai media, event publik hingga acara protokoler kenegaraan, penempatan PNS dalam jabatan strategis, hingga silang pendapat dalam pengambilan kebijakan pemerintahan adalah ragam bentuk dari pertikaian dan persaingan antara kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Jarang sekali hubungan kerja dan kewenangan tersebut berjalan dengan baik selama masa jabatan, apalagi berlanjut untuk periode berikutnya. Ketidakharmonisan tersebut bahkan telah dimulai semenjak pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah mulai menjalankan kekuasaannya setelah pelantikan.
Beragam ketentuan yuridis normatif dalam undang-undang pemerintahan daerah yang silih berganti mengatur pola hubungan kewenangan dan kedudukan kepala daerah dan wakil kepala daerah sepertinya tidak pernah mangkus dan sangkil dalam mengatasi problematika hubungan tersebut. Mulai dari UU No.22/1999 yang kemudian berganti dengan UU No.32/2004 hingga terakhir dengan UU No.23/2014, semuanya hanya bagaikan pajangan dalam etalase sebuah produk mewah yang hanya dijadikan tontonan cuci mata belaka, dan tidak pernah diimplementasikan dengan benar oleh para kepala daerah dan wakilnya yang berseteru.
Jabatan wakil kepala daerah bagaikan bara dalam sekam yang berpotensi untuk memicu ledakan setiap saat, dan mengganggu kinerja aparatur dan organisasi dalam setiap aspek penyelenggaraan pemerintahan daerah, termasuk pelayanan publik. Ujung-ujungnya, daripada menyaksikan berbagai keberhasilan program dan inovasi daerah, kita hanya akan dipertontonkan beragam intrik rivalitas kepala daerah dan wakilnya selama periode kepemimpinan mereka.
Mengurai Akar Masalah
Menelusuri rekam jejak dan fakta-fakta yang ada dari ketidakharmonisan hubungan tersebut selama ini, dapat disimpulkan bahwa cara pandang dan perspektif yang berbeda dalam menakar pola hubungan tugas dan kewenangan adalah akar dari permasalahan yang mengapung.
Dari awal kesepakatan untuk maju mencalonkan diri dalam pilkada, para pihak baik pasangan calon maupun partai pengusungnya sering terjebak dalam asumsi pola pembagian kewenangan dan kekuasaan dalam menjalankan roda pemerintahan dan pengambilan kebijakan publik jika mereka memenangkan pemilihan dan menduduki kursi jabatan. Pendekatan politik yang mengindentikkan jabatan dengan bagi-bagi kekuasaan lebih diutamakan dalam persekutuan tersebut.
Mereka seakan mengabaikan prinsip legalitas dalam hukum administrasi negara yang menegaskan bahwa para penyelenggara negara dalam menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan yang bersifat pelayanan, pembangunan, pemberdayaan dan pelindungan masyarakat tersebut, tindakan dan kewenangannya harus berdasarkan dan dibatasi oleh hukum dan perundang-undangan. Pembatasan dimaksud dapat berupa struktur kedudukan, pola hubungan, fungsi, serta kewenangan.
Hal tersebut seringkali baru disadari ketika jabatan telah diemban dan berbagai deal politik yang telah disepakati sebelumnya tidak dapat berjalan karena terbentur sekat-sekat yang secara normatif telah diatur dan diberi batasan oleh ketentuan perundang-undangan. Kondisi ini menimbulkan ketidakpuasan yang kemudian mengarah kepada persaingan secara diam-diam hingga perseteruan terbuka di hadapan publik.
Reposisi Hubungan dan Kewenangan
Bercermin dari kondisi-kondisi tersebut serta mengingat pilkada langsung dan serentak 2018 yang akan diselenggarakan di 171 daerah provinsi, kabupaten dan kota gagasan berikut mungkin dapat dijadikan pemikiran preventif rivalitas dan ketidakharmonisan hubungan kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Pertama, dalam perspektif manajemen organisasi birokrasi perlu ada pemahaman dan kesadaran pasangan calon kada/wakada bahwa wakil kepala daerah, yang dalam perumpamaan kutipan di awal tadi, adalah personifikasi dari jabatan yang setiap saat siap untuk membantu kepala daerah dalam memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah serta mewakili dan/atau menggantikan kepala daerah jika kepala daerah berhalangan tetap atau sementara.
Kedua, perlu ada pemahaman dan kesadaran hukum para calon kada/wakada bahwa kedudukan, hubungan, pelaksanaan tugas, fungsi, dan kewenangan jabatan mereka dilaksanakan dan dibatasi oleh ketentuan perundang-undangan yang ada. Sinergis dan harmonisnya hubungan kepala daerah dan wakil kepala daerah akan terwujud apabila pasangan calon memahami beragam regulasi yang berkaitan dengan otonomi dan pemerintahan daerah, administrasi pemerintahan, keuangan daerah, dan kepegawaian.
Oleh karena itu, harus ada komitmen bahwa pelaksanaan 'kontrak politik' di antara mereka harus tunduk dan patuh pada batasan yang ditentukan oleh aturan dimaksud. Meminjam ungkapan pemikir besar Jerman, Johan Wolfgang von Goethe, "By seeking and blundering we learn." Saatnya kita belajar dan mengambil hikmah dari segala keteledoran masa lalu, serta melepaskan diri dari belenggu pengulangan kesalahan yang sama.
Fery Chofa PNS daerah dan pengajar di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat, Bukittinggi; alumnus Universiteit Maastricht
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini