Empat Prioritas Panglima TNI
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Empat Prioritas Panglima TNI

Rabu, 06 Des 2017 13:18 WIB
Fahmi Alfansi P Pane
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Foto: screenshot CNN Indonesia
Jakarta - Keputusan Presiden Joko Widodo memilih Panglima TNI dari perwira terbaik matra udara merupakan keputusan optimal. Disebut demikian karena dengan penguasaan ilmu dan teknologi, pengalaman, jaringan, dan kepemimpinannya Marsekal Hadi Tjahjanto akan mampu menuntaskan beberapa prioritas puncak TNI.

Dari segi waktu (urgensi) dan derajat kepentingannya sekurang-kurangnya terdapat empat prioritas puncak TNI. Bila keempatnya gagal terealisasi akan ada risiko strategis bagi kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara, dan keselamatan bangsa yang merupakan tujuan pertahanan negara.

Keempat prioritas tersebut; pertama, pembangunan postur kekuatan minimal esensial (minimum essential force/MEF) TNI, utamanya peningkatan kesiapan tempur (combat readiness) matra udara. Kedua, perwujudan visi Presiden Jokowi berupa Poros Maritim Dunia khususnya dari aspek pertahanan kelautan (maritim).

Ketiga, peningkatan kemandirian dalam pemenuhan alat utama sistem persenjataan (alutsista), antara lain jet tempur, kapal selam, propelan (zat pendorong) untuk roket dan rudal, radar, tank medium, dan kapal selam. Lalu keempat, pengambilalihan kontrol sebagian ruang udara Indonesia yang masih dikendalikan oleh Singapore FIR (Flight Information Region), yakni ruang udara Kepulauan Riau, Kepulauan Natuna dan perairannya.

Prioritas pertama (pembangunan postur MEF TNI) ditargetkan selesai tahun 2024 sejak dimulai tahun anggaran 2010. Dari beberapa sumber pembangunan postur tahap pertama hingga 2014 telah mencapai sekitar 40 persen. Namun, Wakil Ketua Komisi I DPR TB Hasanuddin malah menyebut pembangunan MEF saat ini (tahap kedua) baru tercapai 12 hingga 13 persen (detikcom, 4 Desember 2017). Perbedaan angka yang signifikan dapat terjadi antara lain, karena penyesuaian rencana kebutuhan, baik kapabilitas militer, anggaran pertahanan maupun target waktu, dibandingkan dengan realisasi.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pencapaian pembangunan MEF TNI belum menggembirakan. Pencapaian tersebut dapat mengurangi kesiapan tempur, dan kemampuan menciptakan efek penggentaran (deterrent). Kekurangan ini dapat mendorong ancaman potensial untuk berkembang, termasuk dari negara luar, misalnya pelanggaran wilayah udara dan laut, klaim asing atas teritori Indonesia seperti Blok Ambalat, dan sebagainya.

Dampak yang lain adalah terlalu besar kesenjangan postur yang harus ditutupi dalam sisa waktu yang ada hingga 2024. Konsekuensinya, pemerintah dan DPR harus menaikkan anggaran pertahanan secara drastis, utamanya belanja modal untuk pengadaan alutsista dan berbagai peralatan penunjang. Ironisnya, ruang untuk peningkatan penerimaan negara secara drastis tidak besar, sedangkan belanja wajib (mandatory spending) terus meningkat, seperti belanja pendidikan dan kesehatan, dana desa, dan lain-lain.

Masalahnya, kemajuan pembangunan matra udara kalah jauh daripada matra darat dan laut. Kemajuan pengadaan alutsista matra darat terlihat pada peringatan HUT TNI 5 Oktober 2017, misalnya kendaraan tank amfibi Arisgator, dan menyusul helikopter serang Apache. Kesenjangan tersebut juga terlihat dari data The Military Balance, baik edisi 2016 maupun 2017, bahwa kesiapan operasional pesawat tempur TNI AU hanya sekitar 45 persen.

Kekuatan penentu matra udara seperti jet tempur dan radar belum terealisasi. Jet tempur calon pengganti F-5 E/F yang sudah tidak mengudara adalah Sukhoi 35. Namun, sampai akhir November 2017 belum ada kejelasan, padahal itulah waktu yang dijanjikan untuk penandatanganan kontrak. Realisasi pengadaan radar militer juga signifikan, baik untuk menggantikan radar yang telah sangat tua maupun untuk mengisi wilayah yang masih kosong (blank spot) dari pantauan radar, seperti di sebagian kawasan Indonesia timur.

Oleh karena itu, jika Panglima TNI berlatar belakang matra udara, kita berharap ada akselerasi pengadaan alutsista strategis semacam jet tempur. Panglima TNI seperti itu mestinya lebih mampu meyakinkan koleganya mulai dari Menteri Pertahanan, Menteri Bappenas, dan Menteri Keuangan, termasuk Komisi I dan Badan Anggaran DPR agar memperkuat dukungan politik dan anggaran. Termasuk, dengan Menteri BUMN, Menteri Perindustrian, dan Menteri Perdagangan karena jika alutsista diimpor, itu harus dikompensasi dengan transfer teknologi, pelibatan industri dalam negeri, terutama BUMN, atau imbal dagang dengan produk Indonesia.

Perwujudan prioritas pertama akan memudahkan realisasi prioritas kedua untuk pembangunan pertahanan maritim. Pertahanan kelautan hanya dapat terwujud dengan kolaborasi matra laut dan udara. Dalam operasi harian rutin sudah jamak ada perwira penghubung kedua matra di pangkalan laut dan udara.

Pertahanan darat membutuhkan matra udara sebagai kekuatan pendukung, tetapi tidak selalu bersifat mutlak. Terlebih, alutsista darat juga mempunyai sistem artileri pertahanan udara (arhanud), baik tetap maupun bergerak, bahkan juga didukung oleh helikopter dan pesawat sayap tetap.

Adapun gelar pertahanan maritim di wilayah laut teritorial dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) mutlak merupakan operasi gabungan kedua matra tersebut, baik dalam wujud patroli perbatasan dan keamanan laut, pencegahan dan pencegatan pelanggaran wilayah, maupun untuk gugus pertempuran. Bahkan, menurut Doktrin TNI wilayah perairan teritorial dan ZEE adalah mandala pertahanan utama yang tidak boleh tertembus lawan. Karena itu, keberadaan Panglima TNI dari matra udara bermanfaat untuk mempercepat pencapaian pertahanan kelautan sebagai salah satu pilar Poros Maritim Dunia.

Perwujudan kemandirian pengadaan alutsista mengalami kemajuan untuk alutsista matra darat dan laut. Tank medium kerja sama Pindad dan FNSS (Turki) akan segera memasuki fase produksi seraya terus melakukan pengembangan teknologi. Sementara kapal selam pertama kerja sama dengan Daewoo (Korea Selatan) juga telah diterima Indonesia, dan segera produksi dua unit berikutnya.

Sayangnya, kemajuan serupa tidak dialami oleh pengembangan jet tempur IF-X (KF-X) bersama KAI (Korea Aerospace Industries). Akses teknologi kepada empat komponen terpenting, seperti radar AESA (active electronically scanned array) belum diperoleh sehingga ada risiko jet tempur tersebut tidak memenuhi standar jet tempur siluman generasi 4,5. Bahkan, dukungan politik dan anggaran dari Kementerian Keuangan, Bappenas dan DPR belum diperoleh untuk pembiayaan tahun ini. Akibatnya, pihak Indonesia (PT Dirgantara Indonesia) tidak dapat menyetor kewajiban 20 persennya, atau sekitar 124,5 juta dolar hingga akhir Oktober 2017.

Dampaknya adalah kepercayaan pihak Korea Selatan akan menurun. Lebih lanjutnya adalah mereduksi prospek dukungan dari perusahaan (negara) besar untuk empat komponen terpenting jet tempur IF-X. Karena itu, kehadiran Marsekal Hadi diharapkan dapat menumbuhkan kembali kepercayaan, bahkan mampu menggalang dukungan dari negara besar, seperti Prancis, yang merupakan tempat beliau menempuh pendidikan militer.

Prioritas keempat berupa pengambilalihan pengendalian ruang udara Kepulauan Riau, Natuna dan perairannya hingga sebagian Laut China Selatan. Pengendalian ruang udara oleh asing mengurangi kedaulatan Indonesia, bahkan berisiko pada pertahanan negara karena semua pesawat sipil dan militer yang melintasi ruang udara tersebut harus memberitahukan dan mendapat panduan dari Singapore FIR. Ruang udara yang dikelola Singapore FIR terdiri atas sektor A dari permukaan laut hingga 37.000 kaki, dan sektor B dari permukaan laut hingga ketinggian tak terhingga (unlimited height).

Target pengambilalihan menurut Pasal 458 UU Nomor 1/2009 tentang Penerbangan adalah tahun 2024. Meski leading sector urusan ini adalah Kementerian Perhubungan, tetapi TNI AU adalah organisasi pendukung utama. Terlebih, infrastruktur kontrol udara memerlukan kolaborasi sipil dan militer, termasuk dalam penyelenggaraan manajemen bandara dan pangkalan udara yang berdampingan, atau malah menggunakan landas pacu (runway) yang sama. Diharapkan keberadaan Panglima TNI dari matra udara akan memudahkan kolaborasi antarinstitusi untuk target mulia tersebut. Bravo TNI!

Fahmi Alfansi P Pane alumnus Pascasarjana Manajemen Pertahanan, program kolaborasi Universitas Pertahanan Indonesia dan Cranfield University, Inggris

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads