Mereka yang dihilangkan berpusat pada cerita Biru Laut, Sekjen gerakan Winatra yang dipandang subversif sebab menggugat rezim otoritarian di Indonesia di masa Orde Baru yang nyaris tanpa demokrasi. Awal tahun 1998, bersama kawan-kawannya, Biru Laut diculik lalu berbulan-bulan disekap, diinterogasi, disiksa agar bersedia menjawab siapakah yang berdiri di balik gerakan aktivis dan gerakan mahasiswa. Biru Laut bersama 12 aktivis hilang tak jelas nasibnya, dan 9 aktivis lainnya menghirup udara bebas menanggung trauma berkepanjangan.
Memori Politik 1998
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kisah-kisah pendek yang terbagi dalam 10 bagian itu adalah penyusunan kembali memori politik 1998, ketika sekelompok anak muda yang kritis pada akhirnya mesti menanggung risiko menjadi korban praktik penghilangan orang. Dalam tempat-tempat persembunyian, diceritakan Leila, sekelompok anak muda saling menguatkan diri, berkorban untuk kepentingan kelompok yang lebih besar. Tetapi, sebagai manusia biasa, betapa drama selalu menyertai hidup mereka mulai dari cinta, kecurigaan, putus asa, dan pengkhianatan. Sedang sel bawah tanah menghadirkan dan memberi makna pada derita sang tokoh, metafor pemuda-pemuda tahan banting di tengah kebengisan yang mampu dilakukan manusia terhadap sesamanya.
Mereka yang kehilangan berpusat pada kisah Asmara Jati, adik perempuan Biru Laut. Kisah dimulai dari tradisi keluarga yang meluangkan waktu memasak dan makan malam bersama di hari Minggu. Sejak Biru Laut hilang diculik, tradisi itu tak dihilangkan, satu kursi serta satu piring kosong tetap disediakan, menanti Biru Laut yang dibayangkan barangkali tiba-tiba muncul di muka pintu. Simak kutipan sedih ini: Dan yang paling berat bagi semua orangtua dan keluarga aktivis yang hilang adalah: insomnia dan ketidakpastian. Kedua orangtuaku tak pernah lagi tidur dan sukar makan karena selalu menanti "Mas Laut muncul di depan pintu dan akan lebih enak makan bersama."
Singkat cerita, Asmara Jati lantas bergabung dan ikut membangun Komisi Orang Hilang (KOHI) membuat strategi pencarian dan pendataan 12 aktivis yang diculik dan hilang jejaknya. KOHI yang didukung 16 lembaga dan sejumlah tokoh menjadi rumah harapan mencari jejak mereka yang diculik, hilang meski ketakpastian muncul menghalang seakan memasuki lorong gelap tanpa obor.
Asmara Jati adalah representasi dari suara-suara yang menolak putus asa bahwa kehilangan orang tercinta yang mereka alami bukan semata persoalan pribadi, tapi persoalan bangsa dan kisah penculikan-penculikan tak menutup kemungkinan bisa terjadi pada siapa saja. Simak kutipan ini:
…banyak pekerjaan rumah yang menanti karena sejauh ini belum memperoleh perkembangan apa-apa yang besar. Hilangnya Mas Laut dan kawan-kawan sudah diramaikan media, diangkat sebagai drama, musik dan berbagai medium, tetapi kami ingin pemerintah mengungkap kasus ini hingga tuntas. Mungkin Aksi Payung Hitam setiap hari Kamis bukan sekadar sebuah gugatan, tapi sekaligus sebuah terapi bagi kami dan warga negeri ini; sebuah peringatan bahwa kami tak akan membiarkan sebuah tindakan kekejian dibiarkan lewat tanpa hukuman. Payung Hitam akan terus menerus berdiri di depan Istana Negara. Jika bukan presiden yang kini menjabat yang memberi perhatian, mungkin yang berikutnya, atau yang berikutnya….
Melawan Lupa
Novel Leila S Chudori tentang kisah-kisah penculikan, lengkap dengan sejarah hitam babak baru reformasi Indonesia tahun 1998 layak pula disebut sebagai tindakan melawan lupa. Pendekatan fiksi atau rekaan dalam novel ini, tampaknya, dilakukan Leila dengan sadar untuk menyindir bahwa di dunia nyata pemerintah Indonesia tak memiliki keseriusan untuk mengungkap kejahatan HAM, dan menelusuri kepastian nasib aktivis-aktivis yang diculik yang hilang tak jelas nasibnya sampai kini. Keberadaan mereka terus-menerus dicari jawabnya oleh masing-masing keluarga dan berbagai lembaga dalam aksi rutin kamisan Payung Hitam.
Pada akhirnya, novel Laut Bercerita bukan semata gugusan imajinasi pengarang melainkan wacana. Wacana yang menekankan bahwa "fiksi" di tengah selubung misteri politik adalah suara lain yang paling mungkin untuk menghadirkan suara-suara dari mereka yang menjadi korban penculikan dan hilang tanpa jejak. Dalam pendekatan ini, kata-kata tokoh rekaan Biru Laut --yang sejatinya tak pernah sampai kepada siapapun saat ia dibunuh dengan cara ditenggelamkan dalam laut-- telah menjadi pemantik ingatan bahwa masih ada sejarah hitam politik di Indonesia yang sampai kini tersimpan dalam kotak rahasia: Ini sebuah kematian yang tidak sederhana. Terlalu banyak kegelapan. Terlalu penuh dengan kesedihan.
Abdul Aziz Rasjid esais dan wartawan, Penulis Emerging Indonesia terpilih Ubud Writers & Readers Festival (UWRF) 2017. Tinggal di Cilacap
(mmu/mmu)