Ini artinya, ada dua peristiwa politik dengan bobot resonansi tinggi akan berlangsung pada sisa dua tahun kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Tahun politik akan menyita sebagian besar energi politik elite pemerintahan. Pertama, Jokowi merupakan presiden yang menjabat periode pertama. Meski belum secara resmi deklarasi pencalonan pada Pilpres 2019, namun riak-riak konsolidasi ke arah sana makin benderang. Artinya, hampir bisa dipastikan Jokowi akan kembali berlaga memperebutkan singgasana RI-1.
Besar kemungkinan konsentrasi Jokowi sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan akan terganggu. Energi Jokowi akan terkuras dalam arena konsolidasi politik melihat posisinya belum aman dalam urusan "tiket pencapresan". Berbega kasus misalnya dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang saat itu merupakan ketua umum Partai Demokrat. Ini belum soal elektabilitas Jokowi yang kini masih di bawah kisaran 50 persen. Secara elektoral, tingkat keterpilihan dengan angka tersebut bukanlah posisi "aman". Konfigurasi peta politik ini tentu sedikit banyak akan menguras energi Jokowi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ketiga, sebagian besar pembantu presiden merupakan pentolan orang-orang parpol, bahkan jumlahnya lebih dari 50 persen. Sudah menjadi tradisi, para menteri kerap menjadi juru kampanye parpol dalam setiap momentum pilkada ataupun pileg. Mereka dianggap mampu menjadi "magnet elektoral" bagi publik sehingga diharapkan dapat membantu mendulang lumbung suara partai. Itulah sejumlah tantangan penting yang perlu kita ingatkan bersama.
Memang harus diakui kepuasan publik terhadap kinerja pemerintahan Jokowi selama tiga tahun mengalami kenaikan. Survei SMRC September 2017 lalu mengungkapkan, sebesar 68 persen publik puas dengan kinerja Presiden Jokowi. Jika dibandingkan tingkat kepuasan publik atas kinerja Presiden ke-6 SBY dengan Jokowi pada periode masa kepemimpinan yang sama, kepuasan terhadap Jokowi lebih tinggi.
Tantangan Ekonomi
Meski begitu, selama tiga tahun memimpin, Jokowi juga tak bisa lepas dari catatan kekurangan, salah satunya persoalan ekonomi. Meskipun kinerja sektor ekonomi terbilang ada kenaikan, namun kenaikannya masih minim. Survei CSIS menyebut kepuasan bidang ekonomi hanya 56,9%. Bila dibandingkan dengan kinerja ekonomi pemerintahan sebelumnya, angka yang diperoleh Jokowi relatif masih rendah.
Padahal sudah menjadi pengetahuan bersama bahwa saat hajatan politik digelar, suasana penuh ketidakpastian kerap menyelimuti. Suasana ketidakpastian akibat menyembulnya beragam polarisasi politik jelas sangat tidak kondusif untuk sektor perekonomian. Pasalnya, perekonomian yang sehat dan bergairah mensyaratkan adanya kepastian iklim usaha.
Apalagi tahun 2018 sebagaimana tertuang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2018, pemerintah punya target pertumbuhan ekonomi di angka 5,4 persen. Kondisi ini mengisyaratkan bila suasana tahun politik tidak mampu terkelola dengan baik, target pertumbuhan ekonomi tersebut bukanlah target yang mudah dicapai.
Sebaliknya, turbulensi ekonomi yang pada gilirannya dapat berdampak pada krisis kepercayaan publik terhadap kepemimpinan Jokowi bisa saja terjadi. Secara politik, hal itu jelas sangat merugikan Jokowi karena bukan tidak mungkin kegagalan dalam sektor ekonomi akan menjadi "batu sandungan" dalam meneruskan estafet kepemimpinan di periode berikutnya.
Perkuat Soliditas
Sebagai pemegang kendali di republik ini, Presiden Jokowi mesti pintar-pintar mengatur strategi dalam menghadapi tahun politik. Salah satu upaya untuk mengoptimalkan kinerja di tahun politik adalah dengan memperkuat soliditas di semua sektor pemerintahan.
Soliditas dan kekompakan itu perlu dimulai dari para pembantu presiden. Kegaduhan politik akibat manuver sejumlah pembantu presiden belakangan mesti dihindari. Presiden Jokowi perlu memberi peringatan tegas kepada segenap pembantunya supaya menciptakan iklim kondusif mesti tahun politik tengah berlangsung.
Di sisi lain, upaya Presiden Jokowi membangun sinergi dengan pemerintahan daerah juga perlu diperkuat. Sebab, meski kepala daerah secara struktur merupakan perpanjangan tangan pemerintah pusat, namun faktanya kini dianggap terlalu otonom untuk bisa mendukung agenda pemerintah pusat. Selama ini para kepala daerah lebih cenderung menjalankan agendanya masing-masing.
Dua tahun menjelang sisa pemerintahan Jokowi, penyatuan visi antara pemerintah pusat, para menteri dan kepala daerah, perlu kembali dilakukan. Selain sebagai upaya menggenjot target kinerja masing-masing sektor, Presiden Jokowi perlu mereview kembali komitmen segenap menteri dan kepala daerah untuk mensukseskan agenda-agenda pemerintahan pusat. Sebab, komitmen merupakan nilai sentral dalam mewujudkan soliditas. Tanpa itu, soliditas untuk menggonjot kinerja di tahun politik akan sulit terealisasi.
Ali Rif'an Direktur Riset Monitor Indonesia
(mmu/mmu)