Buruh ibaratnya sebagai gadis cantik yang diperebutkan oleh calon gubernur dan wakil gubernur. Kontrak politik selalu diumbar ketika pasangan pilkada bertarung. Buruh sudah sadar betul akan hal ini. Bahkan salah unsur buruh pun berhasil melakukan kontrak politik dengan calon kandidat gubernur.
Kemudian apa kabar dengan kontrak politik itu; ketika upah yang ditetapkan saat ini tidak seperti yang dijanjikan dalam kontrak politik? Kontrak politik yang berhasil mengumpulkan suara buruh tersebut ternyata hanya angin lalu. Buaian kenaikan upah yang mampu menyihir buruh untuk melakukan politik, pada akhirnya berakhir dengan kekecewaan. Padahal upah adalah instrumen bagi buruh untuk mencapai kesejahteraan. Mengingkari kontrak politik kenaikan upah di atas rata-rata pemerintah yang ditetapkan berarti mengingkari janji untuk menyejahterakan buruh.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Situasi yang terjadi ini sangat jelas menimbulkan ketidakpuasan, dan melahirkan demo buruh, seperti dalam berita beberapa hari ini yang menghiasi media. Dinamika politik yang terjadi di DKI Jakarta yang menimpa buruh ini menjadi pembelajaran yang sangat berharga.
Di sinilah dapat dilihat letak posisi buruh ketika dihadapkan dengan politik praktis. Di sisi lain, jika menelusuri lebih jauh dalam PP No. 78 Tahun 2015, formula perhitungan upah minimum adalah upah minimum tahun berjalan ditambah dengan hasil perkalian antara upah minimum tahun berjalan dengan penjumlahan tingkat inflasi nasional tahun berjalan dan tingkat pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) tahun berjalan.
Melihat permasalahan di atas, buruh sebagai salah satu elemen masyarakat harus memiliki sikap dan pandangan politik yang cermat. Meskipun kontrak politik ada tanda tangan dan komitmen, namun sekali lagi ini kontrak politik. Sudah menjadi rahasia umum, politik adalah dunia yang begitu cair. Meskipun sudah "kontrak", belum tentu akan dilakukan. Oleh karena itu, yang bisa dilakukan saat ini, bagi yang melanggar kontrak politik sanksi sosial perlu diperkuat.
Kontrak dan Komoditas Politik
Di sisi lain melaksanakan kontrak politik sesuai dengan kesepakatan buruh dengan calon gubernur dan wakil gubernur terpilih memang berat. Karena dalam penetapan upah tentunya juga memperhatikan pengusaha sebagai pihak yang menggaji buruh. Pemerintah juga memiliki andil dalam penetapan upah sebagai pihak regulator sekaligus pengawas. Hal ini menjadi pelajaran berharga bagi semua.
Ketika janji politik itu diobral, seyogianya sebagai pemilih yang cerdas harus betul-betul memperhatikan apakah janji tersebut logis untuk dilakukan atau tidak. Namun, lagi-lagi politik kadang tidak memiliki rasa rasional; irasional lebih mendominasi.
Elemen buruh sebagai komoditas politik tentunya bukan barang yang baru. Sebenarnya siapa saja boleh berpolitik termasuk kaum buruh. Namun seyogianya jika ingin masuk ke ranah politik maka pilihan yang bisa dijalankan adalah memperkuat buruh itu sendiri. Dengan demikian tidak tersubordinat dengan afiliasi partai tertentu. Mendorong buruh memiliki partai buruh sendiri yang kuat adalah salah satu jalan keluar.
Kondisi saat ini, suasana gerakan buruh yang terfragmentasi ke berbagai ideologi dan kepentingan menjadi tantangan tersendiri dalam gerakan buruh ke depan, apalagi jika ingin membentuk partai buruh yang kuat. Pilkada DKI kembali menjadi cermin bagi buruh, bahwa kontrak politik saja tidak cukup untuk memperjuangkan kesejahteraan. Buruh harus memiliki posisi tawar yang lebih kuat dengan mengorganisir semua elemen buruh serta memperkuat melalui kelembagaan tripartit.
Jika posisi tawar kuat maka jalan sanksi sosial akan dapat dijalankan terutama bagi kandidat yang melanggar janji kontrak politik. Selain itu buruh mampu menimalisasi jebakan dari kaum politisi. Dengan demikian, buruh tak hanya selalu menjadi komoditas politik semata.
Triyono peneliti ketenagakerjaan Pusat Penelitian Kependudukan LIPI
(mmu/mmu)











































