DI sisi lain, Jawa Timur memiliki karakteristik khas yang tidak bisa disamakan dengan daerah-daerah lain. Lokalitas khas Jawa Timur itu kiranya perlu dicermati dengan hati-hati oleh KIP dalam menentukan bakal calon pasangannya. Identifikasi penulis, setidaknya ada empat variabel khas Jawa Timur yang perlu diperhatikan dengan jeli oleh KIP untuk menentukan pasangannya. Pada gilirannya, Pilgub Jawa Timur diharapkan dapat menghadirkan pilihan pasangan yang berkualitas dan mampu meningkatkan angka partisipasi pemilih.
Warna Ideologis
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kedua, kalangan santri atau nahdliyyin (warga NU) yang kerap diidentikkan dengan warna hijau. Sebaran kalangan santri meliputi wilayah Tapal Kuda, yakni Jawa Timur bagian timur meliputi Banyuwangi, Situbondo dan sekitarnya. Kultur yang dominan di daerah Tapal Kuda ini merupakan perpaduan Jawa-Madura. Begitupun di daerah Madura sendiri yang kental warna ideologis santri. Selain itu, daerah Pantai Utara (Pantura), yakni meliputi Bojonegoro, Tuban, dan sekitarnya juga kental dengan nuansa santri.
Ikhtiar untuk mengusung pasangan kombinatif santri-nasionalis telah dilakukan oleh PKB-PDIP dengan mengusung pasangan GI-Anas. Walau demikian, aroma santri dari pasangan itu masih terkesan lebih kuat dibanding nasionalis dengan diusungnya Anas sebagai pasangan GI. Riwayat politik Anas yang dulunya merupakan kader PKB sekaligus tokoh NU terkemuka di Banyuwangi, tak pelak memposisikan dirinya lebih hijau alih-alih merah, walaupun notabene kini sebagai kader PDIP.
Di sinilah celah yang kiranya bisa menjadi catatan penting bagi KIP dalam menentukan pasangannya. Dengan kata lain, pasangan KIP hendaknya merupakan tokoh nasionalis yang memang memiliki riwayat politik yang secara ideologis merah.
Pengaruh Teritorial-Politik
Lazimnya kandidasi politik di level lokal, penentuan pasangan bakal calon juga dipengaruhi oleh posisi politik dan pengaruhnya di daerah pemilihan. Dalam hal ini, kepala daerah βentah bupati atau walikotaβ sebagai simpul politik merupakan variabel penentu yang kiranya menjadi pertimbangan penting. Kepala daerah merupakan representasi kekuatan politik di daerahnya. Bagaimanapun, proses kandidasi di kabupaten/kota yang telah dimenangkan dalam pilkada sebelumnya adalah bukti kongkret bahwa ia memiliki basis pemilih setidaknya di daerahnya.
Lagi-lagi, koalisi PKB-PDIP telah mempertimbangkan dengan jeli variabel ini. GI merupakan petahana Jawa Timur, sedangkan Anas merupakan Bupati Banyuwangi aktif. Anas bahkan tidak hanya dikenal di Banyuwangi, melainkan di daerah-daerah lain di Jawa Timur atas prestasinya mengakselerasi Banyuwangi sebagai daerah wisata yang menonjol di Jawa Timur. Dalam hal ini, seyogianya KIP memperhatikan variabel teritorial-politik ini sebagai kriteria penting untuk menentukan pilihan pasangannya.
Latar Belakang dan Jejaring Birokrasi
Pembelajaran dari dua periode Pilgub Jawa Timur terakhir, maupun sejumlah kasus pilkada kabupaten/kota memperlihatkan bagaimana kuatnya jaringan birokrasi turut menentukan kekuatan politik di level lokal. Setidaknya kemenangan Soekarwo-GI (Karsa) dalam dua kali pilgub sebelumnya dapat menjadi pelajaran berharga bagi KIP. Pakdhe Karwo (Soekarwo) merupakan birokrat tulen. Ia menduduki posisi Sekretaris Daerah (Sekda) sebelum running dalam Pilgub 2008. Jejaring birokrasinya yang kuat merupakan amunisi yang sangat berharga dan turut menentukan kemenangan Karsa dalam dua kali pilgub sebelumnya.
Selain Jawa Timur, Surabaya merupakan kasus yang menarik untuk dicermati kaitannya dengan variabel birokrasi tersebut. Tri Rismaharini juga merupakan birokrat tulen sebelum menjadi Wali Kota Surabaya. Prestasi dalam menghijaukan Surabaya menjadi modal berharga baginya untuk menduduki kursi Wali Kota Surabaya selama dua periode.
Alhasil, variabel latar belakang dan jejaring birokrasi kiranya menjadi pertimbangan penting bagi KIP untuk menentukan pasangannya. Di sisi lain, tak bisa dimungkiri komposisi GI-Anas memiliki celah di dalam variabel ini. Keduanya bukanlah sosok birokrat tulen, walau bukan berarti jejaring birokrasinya lemah.
Sensitivitas Kepemudaan
Terakhir, variabel sensitivitas kepemudaan sebagai motor pendulang suara, khususnya melalui jejaring dan kampanye di dunia maya. Telah banyak sekali fenomena elektoral, baik level nasional, lokal, hingga berbagai kasus di negara-negara lain, menunjukkan bahwa pergerakan melalui dunia maya yang dimotori oleh pemuda menjadi salah satu instrumen penentu bagi kemenangan dalam proses kandidasi politik.
Di era banjir informasi seperti sekarang, seorang kandidat dituntut memiliki sensitivitas kepemudaan, yakni mampu menarik minat para pemuda sehingga bersedia dengan sukarela mendukung kandidat tersebut. Ketika kandidat mampu memikat hati para pemuda, umumnya mereka menjadi bola salju yang bergerak secara masif, baik di lingkungannya maupun di dunia maya melalui akun-akun media sosial. Di sinilah kiranya, KIP secara jeli mempertimbangkan pasangannya, yakni sosok yang mampu merepresentasikan kepentingan kaum muda sekaligus berjiwa kawula muda.
Fahrul Muzaqqi pengamat politik, staf pengajar di Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga, staf peneliti di Lakpesdam NU Surabaya
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini