Namun, sampai saat ini tidak begitu jelas apa bukti-bukti dan argumentasi rasa krisis ini. Yang jelas, kita sebenarnya sudah mewarisi pengajaran bahasa Inggris sejak zaman pergerakan nasional pada awal abad XX yang dilakukan oleh para nasionalis awal Indonesia.
Kita bisa membaca iklan kursus bahasa Inggris di koran Daulat Ra'jat edisi perdana (20 September 1931) yang dipimpin Moh. Hatta, S. Sjahrir, dan Suparman dari Belanda: "Sekolah "Oesaha Kita" H.I.S. Partikoelir dengen keradjinan tangan [yang beralamat di] Kepoeh Bendoengan 148 Djakarta."
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kita perhatikan bahwa pelajaran bahasa Indonesia yang dulu terkenal sebagai pelajaran "A.B.C. Bahasa Melayu" bersanding dengan kursus Bahasa Belanda atau Bahasa Inggris. Tentu saja, sebagaimana politik pengajaran bahasa di negeri Belanda sampai saat ini, para nasionalis itu sebagian besar paham dan fasih bahasa Inggris selain bahasa-bahasa Eropa seperti Prancis, atau Bahasa Belanda, tentu saja.
Dalam Daulat Ra'jat edisi awal 1932 juga ada iklan buku Bahasa Inggeris dengan Tidak Bergoeroe karya Z. Arifin. Yang menarik, pengiklan buku ini sudah menggunakan endorsement (dukungan) dari surat kabar dan tokoh pendidikan.
Simaklah endorsement dari Mohd. Sjafe'i --pengarang boekoe peladjaran Belanda-Melajoe "DJALAN KE BARAT" dan Directeur dari Indonesisch Nederlandsche-School atau yang biasa kita kenal INS Kayutanam di Sumatera Barat: "Menoeroet pendapatan saja boekoe Bahasa Inggeris ini sangat berpaedah bagi bangsa kita jang hendak mempeladjari sendiri bahasa itoe. Sampai sekarang beloem ada boekoe peladjaran bahasa modern (Fransch, Duitsch dan Inggeris) jang dikarang dalam bahasa Indonesiaβ¦Saja berani memoedjikan boekoe toean itoe kepada bangsa kita jang ingin beladjar bahasa Inggeris."
Iklan ini berbarengan dengan buku Mohamad Hatta cetakan kedua, Toedjoean dan Politik Pergerakan Nasional di Indonesia. Iklan buku Hatta yang tak diragukan rasa bela nasionalismenya ini bersanding dengan buku propaganda belajar Bahasa Inggris yang dianjurkan oleh seorang guru yang jelas nasionalis.
Secara umum, kita bisa membayangkan bahwa pengajaran Bahasa Melayu, yang menjadi bahasa revolusioner pada 1920-an sampai menjelang memuncaknya pergerakan kebangsaan menuju kemerdekaan, tidak meluputkan pentingnya pengajaran bahasa Inggris, atau bahasa Eropa lainnya yang dianggap sebagai pengusung gagasan kemajuan. Bahasa Melayu yang sudah dianggap sebagai Bahasa Indonesia pada 28 Oktober 1928 kemudian memang harus ditahbiskan menjadi Bahasa Nasional Indonesia dalam UUD 1945.
Tak hanya itu, "Bahasa Melayu merupakan bahasa nasional satu-satunya dari empat negara: Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Lebih dari sejuta penutur Bahasa Melayu bermukim di Thailand, sementara minoritas lebih kecil bermukim di Birma, Sri Langka, Australia, dan Negeri Belanda melekat dengan Bahasa Melayu sebagai bahasa yang digunakan di tempat mereka," kata James T. Collins (2011: xvii) dalam buku Bahasa Melayu Bahasa Dunia: Sejarah Singkat.
Tak pelak lagi, Bahasa Melayu adalah bahasa yang paling berpengaruh di Asia Tenggara, dan menjadi satu dari lima bahasa yang mempunyai penutur terbanyak di dunia, meski orang Indonesia masih sering merasa minder.
Dengan pengesahan sebagai bahasa resmi nasional, Bahasa Indonesia menjadi bahasa wajib-resmi pengajaran-pendidikan di seluruh negeri ini, mulai dari tingkat paling dasar sampai tingkat doktoral. Proses ini juga sudah lama dibantu banyak sekali media massa sejak zaman pergerakan yang menggunakan Bahasa Melayu.
Kita tahu bahwa tidak ada media massa, baik cetak, elektronik, khususnya televisi yang digdaya, atau media daring yang begitu dominan di negeri ini selain yang menggunakan bahasa Indonesia. Semua sastrawan yang sebagian sangat besar mempunyai bahasa ibu menulis dalam bahasa Indonesia untuk karya-karya terbaik mereka.
Tiap bocah-bocah yang lahir di Indonesia pasti dipaksakan sejak bayi untuk mengetahui bahasa ini dalam lingkungan sosial bahasanya. Dan, tak ada tanda-tanda nyata yang bakal mampu menggeser kuasa dominatif iniβkecuali dengan menyingkirkan Indonesia itu sendiri. Tak perlu diragukan secuil pun bahwa inilah proyek nasionalisasi bahasa yang paling sukses dalam sejarah pergerakan kebangsaan Indonesiaβbahkan di tingkat dunia.
Tak ada pemberontakan berdarah-darah setitik pun terhadap bahasa Indonesia, seperti dalam kasus pemberontakan daerah sejak kemerdekaan Indonesia. Namun, tentu saja pasti ada saja yang merengek: Bahasa Indonesia dalam krisis, terancam oleh bahasa Inggris, dan sebagainya. Sering, rengekan ini seakan akhirnya memohon agar Bahasa Indonesia menjadi bahasa yang imperialistik seperti bahasa Inggrisβtentu sudah berlaku pada bahasa-bahasa daerah.
Tak ada krisis Bahasa Indonesia, kecuali orang Indonesia saja yang merasa inferior terhadap bahasa Indonesia. Tentu saja bukan karena Bahasa Indonesia itu sendiri sebagai bahasa komunikasi. Tapi, tengoklah pada produksi ilmu pengetahuan dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi, produk material budaya khususnya dalam teknologi, sistem perdagangan global, pergerakan selera kuliner, sistem budaya fashion, juga sastra, dan seterusnya; siapa yang berkuasa dengan bangga di siniβ¦.
M Fauzi Sukri penikmat wacana bahasa Indonesia
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini