Bahasa Roedjak!

Kolom

Bahasa Roedjak!

Priyadi - detikNews
Rabu, 25 Okt 2017 13:00 WIB
Ilustrasi: Arina Yulistara/Wolipop
Jakarta - Pada 1911, hari Selasa tanggal 3 Januari, surat kabar Selompret Melajoe memuat iklan Kamus Melayu-Belanda dan Belanda-Melaju karangan L. Th. Maijer. Iklan kamus membuat kita mengerti bahwa pada saat itu terdapat ikhtiar untuk belajar bahasa Belanda sebagai bahasa pendidikan, bahasa kemadjoean. Kita memahami kamus sebagai "kitab kunci" untuk mengerti bahasa.

Iklan kamus itu bersanding dengan iklan buku-buku lain. Buku-buku yang diiklankan di antaranya Kokki Bitja atau Kitab Masakan India, Peratoeran Pengadjaran Baroe karangan J. Kats, Boekoe Pengadjaran tentang hal menjoentik tjatjar, juga buku panduan berbahasa lain berjudul Practische Indische Tolk karangan P. Pieters. Buku Pieters adalah buku pelajaran bahasa Belanda yang di terangken dengan bahasa Melajoe rendah dan bahasa Djawa Ngoko dan Kromo.

Kira-kira pada 1917, singa podium Sukarno mengaku mendapat kesempatan pertama untuk berpidato pada sebuah forum di kelompok belajarnya. Saat itu, Sukarno berusia 16 tahun. Ia dengan emosi meletup-ledak berbicara: "Adalah mendjadi suatu keharusan bagi generasi kita untuk menguasai betul bahasa Belanda." Kawan-kawan HBS yang jadi bagian Studieclub, kelompok belajar itu, menyetujui pernyataan Sukarno.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tapi setelah tenang sejenak, membiarkan angin berembus dan memperoleh perhatian dari kawan-kawannya kembali, Sukarno berkata, "Tidak. Saja tidak setudju."

Pengakuan Sukarno yang dituturkan kepada Cindy Adams dalam Bung Karno Penjambung Lidah Rakjat Indonesia (1966:57-58) tersebut adalah monumen pertempuran. Perjuangan dalam pertempuran meraih kemerdekaan Indonesia darinya berawal dari sebuah pidato, dimulai dengan pertarungan bahasa. Gagasan mencari identitas untuk meneguhkan kedirian kemudian dibangun menjadi modal utama. Modal itu adalah bahasa, yang harus dicari dan mesti diketemukan.

Di hadapan kawan-kawannya, Sukarno berkata: "Saja berpendapat, bahwa jang harus kita kuasai pertama-tama lebih dulu adalah bahasa kita sendiri. Marilah kita bersatu sekarang untuk mengembangkan bahasa Melaju..."

Dengan begitu, Sukarno memberi semaian benih gagasan kebahasaan dalam pencarian identitas untuk pemuda-pemudi berusia belasan tahun. Pencarian yang ditemukan tersebut layak untuk ditumbuhkan dan dirawat. Identifikasi identitas yang dilakukan untuk meneguhkan bahwa "kita" berbeda dengan "mereka" yang menjajah, dilakukan pertama kalinya lewat pertempuran bahasa.

Kalimat terakhir sebagai penutup yang dituturkan oleh Sukarno dalam pidato adalah: "Kemudian baru menguasai bahasa asing. Dan sebaiknja kita mengambil bahasa Inggris, oleh karena bahasa itu sekarang mendjadi bahasa diplomatik." Bahasa Inggris adalah bahasa asing yang disarankan oleh Sukarno, bukan bahasa Belanda. Sukarno memiliki pengetahuan bahwa perkembangan bahasa Inggris di masa depan itu akan sangat berpengaruh. Dan, di kemudian hari hal itu terbukti.

Kita tahu, dalam Kerapatan Pemoeda pada Oktober 1928 yang menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia, para pemuda-pemudi yang hadir gagap dalam berbahasa Indonesia. Saat itu, elite terdidik kita menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa intelektual, bahasa kemadjoean, sebagai bahasa pengantar. Namun, usai peristiwa tersebut bahasa Indonesia mulai menjadi semacam amunisi yang dibuat dan dikumpulkan dalam sebuah arsenal untuk memberondong dan menunjukkan identitas diri.

Bulan dan tahun berganti. Musim dan matahari terus bergerak. Sensitivitas dengan segala yang berbau kebelandaan lama-lama membesar, dan menggusur bahasa Belanda. Meski, tidak seluruhnya pengaruh budaya kolonial itu bisa dihilangkan. Tujuh puluh tahun tahun lebih Indonesia merdeka, urusan berbahasa terus jadi soal yang diperdebatkan. Ketakmampuan kita untuk bergerak mencipta berbagai temuan dan inovasi dalam teknologi membuat bahasa kita gagap dalam mengartikulasikan barang-barang baru hasil dari ilmu pengetahuan yang berkembang pesat.

Lidah generasi milenial, generasi "wai", dan generasi terbarukan kesulitan untuk melakukan naturalisasi istilah-istilah like, update, upgrade, comment, share, download, upload, printer, gadget, pin it, dan segala macam saudara kandung dan saudara tiri serta turunannya dari bahasa seberang samudera. Kita tak lagi kaget, nggumun, ketika melihat orang-orang awam menggunakan istilah-istilah keminggris tersebut. Sebab, lidah keminggris saat ini tak hanya dimonopoli oleh para kaum ngintelektual dan akademisi, tapi buruh tani dan para kuli kelas bawah juga tak mau kalah gaul dengan perkembangan yang ada.

Jika kemudian kita saat ini merasakan bahwa kondisi bangsa semrawut-ribut serta kocar-kacir, apakah itu juga berarti bisa disebabkan karena penggunaan bahasa yang saling tumpang tindih lewat lidah kita?

Dahulu, pada 1947, pernah terbit sebuah buku karangan Dr. C. Hoykaas berjudul Modern Maleis Zakelijk Proza. Buku berisi pelbagai tulisan dari beragam tema. Dalam tulisan-tulisan tersebut, Hoykaas menulis tentang "perkelahian" media yang pernah terjadi antara Bintang Timoer, Sinar Soematera, Sin Po, juga Pewarta Deli. Pangkal kelahi itu adalah soal bahasa roedjak, bahasa yang campur aduk dan tidak jelas.

Hoykaas mengutip bagaimana Bintang Timoer melakukan hantaman dengan keras penulisan bahasa roedjak yang digunakan oleh media dengan menyelingkuhkan bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris serta bahasa Belanda.

Kalimat hantaman itu begini: Djika perhatian dan boedi bangsa Indonesia kedapatan seperti sekarang koetjar-katjir, sedikitnja boléh ditjari sebabnja pada bahasa roedjak, jang mendjadi makanan otaknja. Wah! Rupanya perhatian dan boedi bangsa koetjar-katjir karena bahasa yang digunakan adalah bahasa roedjak!

Selamat merayakan bulan of language ya, guys!

Priyadi petani jamur tiram, berdomisili di dusun Watulemper

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads