Zebra Cross dan Hak Pejalan Kaki
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom Kang Hasan

Zebra Cross dan Hak Pejalan Kaki

Senin, 23 Okt 2017 11:12 WIB
Hasanudin Abdurakhman
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Hasanudin Abdurakhman (Ilustrasi: Edi Wahyono)
Jakarta - Pagi ini saya berjalan kaki di Jalan Gatot Subroto, Jakarta. Setiap pagi saya berolah raga jalan kaki, mulai dari jalan itu, kemudian masuk ke daerah SCBD, mengelilingi daerah itu selama sekitar satu jam. Saat menyeberang jalan di zebra cross, sebuah mobil melintas persis di depan saya. Saya ketuk badan mobil untuk mengingatkan. Bukannya menyadari kesalahan, penumpang mobil malah menegur saya, karena memakai earphone, sehingga tak mendengar bunyi klakson mobilnya. Saya mendengar bunyi klakson, tapi saya abaikan, karena mendapat prioritas saat di zebra cross adalah hak saya. Hal itu saya sampaikan kepada pengemudi mobil. Sayangnya, seperti umumnya pengemudi di Indonesia, dia tidak mau tahu.

Di depan mal Pacific Place saya kembali menyeberang di zebra cross. Dari jauh saya lihat ada sebuah mobil yang melaju cukup kencang. Tak ada tanda-tanda bahwa pengemudinya akan memperlambat laju kendaraan. Sepertinya ia berhitung bahwa saya akan selesai menyeberang saat ia tiba di zebra cross, sehinggga ia tak merasa perlu memperlambat kendaraan. Saya beri isyarat tangan agar ia memperlambat laju kendaraan. Barulah ia memperlambat, lalu akhirnya berhenti di sisi zebra cross. Saya beri isyarat bahwa ini zebra cross, dia wajib memperlambat lalu menghentikan kendaraan kalau ada orang yang sedang menyeberang.

Beberapa hari sebelumnya ada taksi berhenti di atas zebra cross, saat lampu lalu lintas menyala merah. Ia menghalangi jalan orang yang hendak menyeberang. Saya suruh sopirnya memundurkan kendaraan.

Jalan-jalan di negeri kita ini dipenuhi oleh pengendara yang tidak terdidik. Bukan berarti mereka tidak pernah sekolah. Tapi mereka tidak pernah mendapat pendidikan memadai soal tata cara berkendara. Mereka mendapat SIM dengan cara-cara siluman, tanpa pernah memiliki pengetahuan berkendara secara memadai, juga tidak pernah dites pengetahuan serta keterampilannya secara benar.

Para pejalan kaki adalah pihak paling lemah di jalan raya. Maka mereka harus mendapat prioritas untuk dilindungi. Jalur pejalan kaki (pedestrian) harus disediakan, demikian pula dengan zebra cross. Hal pejalan kaki untuk berjalan dengan aman harus dihormati.

Tata cara yang harus dilakukan pengendara adalah memperlambat laju kendaraan saat ia melihat zebra cross di depan, meski tidak terlihat ada orang menyeberang. Ia harus mengatur laju kendaraan sedemikian rupa sehingga ia siap berhenti di sisi zebra cross tanpa menimbulkan bahaya bila diperlukan. Bila ada orang menyeberang, maka ia harus berhenti, sampai orang itu menyeberang dengan selamat.

Waktu saya ikut sekolah menyetir di Jepang dulu, tata krama soal zebra cross ini sangat ketat. Kalau kita sedang menyetir, dari jauh kita lihat ada orang berdiri di pinggir jalan di dekat zebra cross hendak menyeberang, kita wajib berhenti meski ia belum mulai menyeberang. Kalau saat ujian seorang pengendara tidak berhenti pada kejadian itu, maka ia otomatis gugur.

Yang dilakukan oleh kebanyakan pengemudi di Indonesia adalah melaju tanpa mempedulikan zebra cross. Bahkan saat ada orang menyeberang, mereka tetap melaju. Tak sedikit yang membunyikan klakson, menyuruh orang yang sedang menyeberang untuk buru-buru. Itulah yang saya alami tadi pagi.

Ketika sedang menyetir, orang sering merasa seperti raja jalanan. Segala yang ada di depannya adalah penghalang. Segala jenis penghalang itu harus disingkirkan, disuruh minggir, memberi jalan kepada sang raja. Penyeberang di zebra cross termasuk halangan yang harus disuruh minggir.

Orang lupa, tidak tahu, atau tidak sadar bahwa para pejalan kaki adalah pihak yang paling lemah, yang harus dilindungi. Orang sering tidak sadar bahwa jalan raya adalah tempat untuk berbagi, bukan untuk unjuk kekuasaan. Kadang saya membayangkan, bagaimana sikap pengemudi seandainya yang sedang menyeberang itu anak atau ibunya. Masihkah tetap bersikap pongah seperti itu?

Sementara itu, para pejalan kaki juga sering tak paham soal hak dan kewajiban mereka. Mereka pasrah menerima teror para pengemudi, tanpa perlawanan. Kalau sedang menyeberang, dan ada kendaraan melaju, mereka buru-buru berlari menghindar. Padahal tindakan ini justru bisa berbahaya. Pengemudi berasumsi bahwa ia tak perlu mengurangi laju kendaraan, karena ia lihat penyeberang sudah berlari. Tapi bagaimana bila penyeberang terpeleset dan jatuh? Akan terjadi kecelakaan fatal.

Sama seperti pengendara yang brutal, pejalan kaki juga sering brutal terhadap diri mereka sendiri. Mereka seenaknya menyeberang tidak pada tempatnya, di tempat-tempat yang bisa membahayakan diri sendiri. Di Jalan Sudirman atau Jalan Thamrin, jalan protokol yang padat arus kendaraan, di mana bagi penyeberang disediakan jembatan, banyak orang malas melewatinya. Mereka lebih suka menyeberang di jalan. Ini dilakukan oleh orang-orang yang bekerja di kawasan elit. Orang-orang yang seharusnya terdidik, profesional, paham etiket, dan tentu saja tertib.

Hal-hal seperti ini dianggap soal sepele oleh banyak orang. Tapi ini sama sekali bukan soal sepele. Hidup dalam sebuah sistem sosial dimulai dengan menghormati hak orang lain, yang merupakan kewajiban setiap anggota sistem itu. Pelanggaran terhadap hak-hak orang lain adalah pangkal kejahatan lain yang lebih besar. Maka, hal itu harus dihindari, dimulai dari hal yang kelihatannya paling sepele sekalipun.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hasanudin Abdurakhman cendekiawan, penulis dan kini menjadi seorang profesional di perusahaan Jepang di Indonesia

(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads