Sepeda dan Kaos Kaki: Psikopolitik Presiden Populis
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Sepeda dan Kaos Kaki: Psikopolitik Presiden Populis

Jumat, 20 Okt 2017 15:40 WIB
Siti Siamah
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Foto: Biro Pers Setpres
Jakarta - Pada 20 Oktober tahun ini bangsa kita genap tiga tahun dipimpin oleh seorang presiden yang ramah. Dalam hal ini, banyak fakta bisa dijadikan alasan untuk menyebut Joko Widodo alias Jokowi sebagai presiden yang ramah, khususnya terhadap anak-anak. Misalnya, Jokowi bermain sulap untuk menghibur anak-anak dalam rangka peringatan Hari Anak Nasional 23 Juli lalu di Pekanbaru, Riau. Momentum tersebut makin memperkuat citra Jokowi sebagai presiden yang ramah terhadap anak.

Sebelumnya, di Istana Negara, Jokowi juga pernah mendongeng di depan anak-anak. Selain itu, Jokowi juga sering membagi-bagikan sepeda kepada anak-anak dalam acara dialog ringan di sela-sela kunjungannya di sejumlah daerah.

Begitulah. Sejak terjun di ranah politik di Solo, kemudian di DKI Jakarta hingga menjadi orang nomor satu di negeri ini, Jokowi tampak selalu memanfaatkan situasi dan kondisi di sekelilingnya untuk menegaskan psikopolitiknya yang populis dengan bersikap dan berperilaku ramah lingkungan. Karena itulah, popularitasnya sebagai pemimpin selalu bisa dipertahankannya.

Satu contoh sikap ramah lingkungannya yang cukup menarik: ketika menjadi Gubernur DKI Jakarta, Jokowi tak segan-segan masuk lubang gorong-gorong untuk mengecek kondisi saluran air dengan pakaian dinas seragam batik. Mana pernah ada gubernur yang pernah melakukan hal yang sama?

Sedangkan, kesukaannya blusukan ke berbagai pelosok yang notabene jauh dari pusat kekuasaannya, bisa juga menjadi bukti nyata sikap ramah lingkungan yang dimiliki Jokowi. Misalnya, Jokowi pernah mengajak jajaran pejabat tinggi untuk melihat dari dekat kawasan hutan yang sedang terbakar agar mengerti tindakan paling tepat untuk mengatasinya.

Sikap ramah lingkungan itulah yang membuat Jokowi sangat mudah mendapat simpati rakyat, terutama di lapisan bawah. Hal ini logis, karena rakyat di lapisan bawah selama ini seperti hidup terlantar di negeri sendiri, hampir tak pernah didekati oleh pemimpinnya kecuali jika ada pemimpin yang sedang sibuk pencitraan untuk kepentingan kampanye politik.

Tetap Merakyat

Jika Jokowi tetap mempertahankan psikopolitiknya, tentu akan tetap suka blusukan ke banyak pelosok Tanah Air untuk menemui rakyat yang perlu diperhatikan. Dia akan menjadi presiden yang terkesan tidak betah tinggal di Istana. Dia akan lebih sering memakai baju putih dengan lengan digulung, atau tetap merakyat, daripada memakai jas dan dasi yang terkesan "berjarak".

Dengan penampilan yang sederhana dan merakyat tersebut, Jokowi tentu akan semakin populer dan polulis. Pada titik ini, andaikata parlemen mencoba menggoyang kekuasaannya, tentu Jokowi tak ambil pusing. Sebab dia adalah presiden yang dipilih langsung oleh rakyat, dan bukan oleh parlemen.

Bahkan, andaikata parlemen mencoba memakzulkannya, Jokowi pasti juga tak ambil pusing karena rakyat terutama di lapisan bawah pasti akan membelanya. Pada titik ini, rakyat kecil akan menjadi tameng kekuasaannya.

Untuk konteks Indonesia sekarang, sikap tetap merakyat seorang pemimpin sangat penting ditonjolkan, mengingat wilayah Tanah Air sangat luas. Selama ini, wilayah timur atau wilayah luar Jawa terkesan sangat jauh dari Jakarta karena pemimpin nasional tidak suka blusukan dengan berbagai alasan, termasuk alasan anggaran dan keamanan.

Bagi Jokowi, alasan terbatasnya anggaran dan keamanan mungkin tak perlu dipertimbangkan terlalu serius, karena bisa saja dirinya memilih menumpang pesawat sipil dengan tiket murah. Dan, selama di daerah yang dikunjunginya bisa menginap di rumah dinas gubernur atau bupati dan makan di warung kaki lima. Hal itu memang tampak aneh karena selama ini tak pernah dilakukan oleh pemimpin nasional. Namun, bagi Jokowi hal seperti itu sudah biasa dan akan tetap dianggap biasa selama dirinya menjadi orang nomor satu di negara ini.

Gagap yang Lucu

Jika dicermati, psikopolitik Jokowi yang juga sering menonjol adalah sikap gagapnya yang lucu setiap kali berpidato sehingga tak pernah berpanjang-panjang kata dalam berbicara di podium. Selain itu, sikap gagapnya yang lucu juga sering muncul ketika Jokowi menjawab pertanyaan serius dari pers yang berkaitan dengan masalah bangsa dan negara.

Bisa jadi, sikap gagapnya yang lucu merupakan akibat dari sikap rendah hatinya. Dengan kata lain, lebih baik bicara sedikit daripada banyak kata tapi percuma atau tidak proporsional. Hal ini tentu selalu membuat pers terpaksa kerja keras setiap kali memberitakan Jokowi. Misalnya, berita wawancara di berbagai media tentang Jokowi pun selalu lebih banyak dipenuhi deskripsi latar belakang hidupnya daripada deretan rekaman percakapannya.

Begitulah, Jokowi memang sering lucu. Banyak insan pers tertawa geli setiap kali bertemu dan mewawancarainya, karena Jokowi suka berseloroh atau bergurau untuk menepis kekakuan suasana. Bahkan, dalam satu kesempatan tiba-tiba Jokowi meminta jajaran wartawan di Istana untuk memperlihatkan kaos kaki dan bagi yang memiliki kaos kaki bolong akan diberi hadiah sepeda.

Bagi rakyat Indonesia, tentu menjadi berkah tersendiri ketika memiliki pemimpin yang lucu pada saat bangsa dan negara sedang terhimpit persaingan global yang memusingkan. Dan, selama ini, bagi rakyat kecil yang sedang susah, memang tidak mudah untuk bisa tertawa-tawa, apa lagi tertawa bersama pemimpinnya.

Tampaknya, mungkin karena memang senang kepada Jokowi yang selalu merakyat dan lucu, rakyat tidak marah ketika biaya hidup semakin melambung. Dalam hal ini, rakyat terbukti bisa dikendalikan dengan sikap merakyat dan lucu, bukan dengan bedil dan barikade kawat berduri.

Meski demikian, ada saja pihak yang menuduh Jokowi selalu suka ramah hanya untuk pencitraan saja agar tetap menjadi pemimpin yang populer. Mereka tampak tidak bisa mengapresiasi keramahan Jokowi karena mungkin mereka sudah terlalu lama melihat bangsa dan negara kita dipimpin oleh presiden yang kurang ramah. Misalnya, dulu ada presiden yang suka menyuruh aparat keamanan untuk memasang pagar kawat berduri di depan Istana.

Bagi segenap rakyat, jika punya presiden yang ramah —terhadap anak-anak khususnya— seharusnya tidak ada lagi kasus kekerasan terhadap anak, termasuk kekerasan terhadap anak di ranah pendidikan. Jika negara ini dipimpin presiden yang ramah terhadap anak tapi kasus kekerasan terhadap anak justru makin mengerikan, apa gunanya?

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Siti Siamah peneliti di Global Data Reform
(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads