Anies-Sandi dan Kekuasaan yang Menolong
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Anies-Sandi dan Kekuasaan yang Menolong

Senin, 16 Okt 2017 15:28 WIB
Muhammad Najib
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Foto: Arief Ikhsanudin
Jakarta - Masyarakat Jakarta akan mempunyai pemimpin baru untuk periode lima tahun ke depan. Kepastian itu terlihat dari komitmen Kementerian Dalam Negeri yang sudah mengagendakan pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih DKI Jakarta Anies Baswedan dan Sandiaga Uno pada Senin (16/10) yang dilaksanakan di Istana Negara oleh Presiden Joko Widodo.

Bersamaan pelantikan itu, fokus masyarakat Jakarta adalah menagih dan mengawal realisasi janji-janji kampanye Anies-Sandi. Jangan sampai kekuasaan yang sudah diamanatkan oleh masyarakat itu digunakan semana-mena, tidak memberikan implikasi positif terhadap nasib dan kesejahteraan masyarakat Jakarta. Sebagaimana yang selalu diucapkan Anies, bahwa "kita harus melunasi janji kemerdekaan". Maka, pernyataan itu juga berlaku untuk Jakarta.

Kini, besar harapan masyarakat Jakarta disematkan kepada Sang Gubernur Baru. Sebagaimana diketahui, Jakarta adalah kota yang mempunyai segudang persoalan yang sampai hari ini belum menemukan solusi konkretnya. Dalam konteks inilah, sekali lagi, pergantian gubernur diharapkan tidak sekedar 'syarat' sistem demokrasi belaka, melainkan tampuk kepemimpinan yang memiliki otoritas penuh itu dapat digunakan untuk menolong banyak orang.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kekuasaan yang Menolong

Lantas, bagaimana agar kekuasaan itu dapat digunakan untuk menolong dan meningkatkan kesejahteraan orang yang dipimpinnya? Setidaknya ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi seorang pemimpin agar kekuasaan dapat menolong.

Kekuasaan sangat bergantung pada siapa yang memegangnya. Jika jatuh pada orang yang tepat, sebagaimana yang dikatakan Toto Tasmara (2006), kekuasaan dapat menjadi bahan bakar meniti kehidupan yang lebih baik dan progresif. Sebaliknya, jika jatuh pada sosok yang sombong dan arogan, maka kekuasaan itu tidak akan memberikan dampak positif. Yang ada justru akan menimbulkan malapetaka; kekuasaan dijadikan legitimasi untuk menindas rakyat kecil.

Pertanyaan yang kemudian muncul, bagaimana caranya atau ciri-cirinya pemimpin yang menjadikan kekuasaan yang diemban sebagai penolong rakyat secara keseluruhan? Mohammad Nasih (2012) merinci syarat wajib seorang pemimpin yang harus dipenuhi agar kekuasaan yang diemban dapat menolong banyak orang.

Pertama, mapan dalam hal spiritual. Imam Al-Ghazali, sebagaimana dikutip Dhiauddin Rais (2001) menegaskan, "Agama adalah poros, dan penguasa adalah penjaga, dan sesuatu yang tidak ada penjaganya akan hancur." Jadi, spiritual adalah modal utama dan pondasi dalam menjalani godaan yang menggiurkan.

Dalam hal ini, Anies-Sandi harus benar-benar merealisasikan janji-janji kampanyenya, salah satunya membuat Jakarta sebagai kota yang santun dan agamis. Jakarta, sebagai miniatur Indonesia sudah saatnya menjadi daerah percontohan pengejawantahan sila pertama Pancasila. Jakarta harus bisa menjadi kota toleran, ramah, agamis, dan nyaman bagi pemeluk agama yang beraneka ragam itu.

Kedua, tidak memiliki beban di masa lalu. Memang sulit melahirkan pemimpin yang bersih sejak awal. Meskipun demikian bukan berarti pemimpin bersih tidak ada. Biasanya, pemimpin yang memiliki karakteristik atau syarat demikian dilahirkan dalam lingkungan pengusaha. Tentunya pengusaha yang rela jihad mengeluarkan harta untuk meraih kemuliaan di dunia dan akhirat. Jadi, sejak awal ia sudah siap, terutama dari aspek biaya. Sehingga, fokusnya mengabdi; bagaimana hak-hak rakyat terpenuhi secara menyeluruh.

Dan, inilah yang menjadi komitmen salah satu pasangan yang maju dalam Pilgub DKI. Bahwa jika ia terpilih menjadi wakil Gubernur Jakarta, maka gajinya tidak akan diambil, melainkan diperuntukkan bagi kaum dhuafa Jakarta. Jika yang demikian terjadi, kekuasaan benar-benar dapat menolong orang lemah.

Ketiga, memiliki keberanian tinggi. Idealitas yang tinggi dapat ditransformasikan dalam bentuk kebijakan-kebijakan yang berorientasi memperbaiki negara. Memimpin adalah menginspirasi. Biasanya, pemimpin berani diuji ketika muncul konflik antara masyarakat kecil dengan para pengusaha. Nah, pemimpin yang berani akan berpihak pada masyarakat kecil yang lemah itu.

Hari ini, masyarakat Jakarta banyak mengeluh karena perlakuan penguasa terhadap mereka. Seringkali, kepentingan rakyat diabaikan dan lebih mengedepankan kaum pemodal. Sebagai contoh kasus reklamasi. Berkali-kali nelayan yang terdampak melakukan aksi menuntut hak mereka, tetapi selalu kandas. Pemimpin seperti ini jelas tidak memiliki keberanian melawan pemodal. Padahal, pemimpin itu harus memihak, memihak pada yang harus dipihak, yakni rakyat kecil.

Keberanian Anies-Sandi juga diuji, terutama terkait penutupan tempat praktik prostitusi. Dikatakan butuh keberanian karena langkah itu dapat ditentang oleh kelompok tertentu yang merasa dirugikan.

Keempat, asketis. Salah satu sumber kehancuran ada keserakahan (hedonis). Di tangan orang yang serakah dan hedonis, kekuasaan tidak lebih dari sekedar kendaraan untuk meraup uang rakyat dan mengumpulkan kekayaan. Dalam sebuah hadis disebutkan: Rasulullah SAW bersabda, "Tidaklah dua ekor serigala yang lapar dikirimkan pada seekor kambing itu lebih berbahaya daripada tamaknya seseorang pada harta dan kedudukan dalam membahayakan agamanya." (HR. al-Tirmidzi)

Sejarah telah mewariskan kisah teladan pemimpin asketis seperti Umar bin Abdul Aziz (682-720). Di tengah tren pemimpin yang dimanjakan dengan berbagai fasilitas, Umar bin Abdul Aziz tidak silau akan kemegahan yang diberikan. Malahan, beliau memilih jalan sunyi. Kesederhanaan menjadi ciri utama khalifah ini karena menolak pengawalan ketat, dan tidak mau tinggal di istana raja. Selama hidup, beliau hanya punya satu gamis. Beliau juga membagi-bagi tanah kepunyaannya kepada masyarakat.

Indonesia, khususnya Jakarta, sangat rindu pemimpin seperti Umar bin Abdul Aziz. Dalam konteks Indonesia, pemimpin sederhanya tidak perlu dibuktikan dengan menolak berbagai fasilitas, melainkan tidak korupsi dan tidak menyelewengkan kekuasaan sudah lebih dari cukup. Semoga, Anies-Sandi termasuk sosok pemimpin asketis.

Kelima, berkarakter pahlawan. Kasman Singodimedjo (1904-1982), salah seorang tokoh pendiri negara ini mengatakan ungkapan menggunakan bahasa Belanda yang sangat menarik bahwa "leiden is lijden; memimpin adalah menderita." Jabatan adalah cobaan dan permainan dunia. Orang bisa mulia karena jabatan, pun sebaliknya, bisa menjadi hina karenanya.

Model pemimpin seperti itu sejak awal sudah berkomitmen untuk "mewakafkan" sebagian umurnya untuk kepentingan umat. Jadi, ia sudah tidak mencari besarnya sebuah gaji. Dan, prinsip hidupnya jelas, menebar benih kebaikan dan menciptakan keadilan serta bagaimana sisa umurnya dapat bermanfaat bagi umat dan bangsa.

Muhammad Najib dosen STEBANK Islam Mr. Sjafruddin Prawiranegara Jakarta

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads