Putusan hakim tersebut mendadak populer di tengah peperangan DPR dan KPK. Berawal dari hak angket yang digunakan oleh DPR untuk mengawasi proses penegakan hukum yang dilakukan oleh KPK. Lalu dilanjutkan dengan penetapan tersangka Setya Novanto dalam kasus korupsi E-KTP. DPR dan KPK berseteru tegang di publik.
Pertimbangan hakim adalah penetapan tersangka Setya Novanto oleh KPK sudah dilakukan di awal penyidikan; menurut hakim, seharusnya penetapan tersangka dilakukan di akhir tahap penyidikan suatu perkara. Hal tersebut harus dilakukan untuk menjaga harkat dan martabat seseorang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sprindik Baru
UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak mengatur dasar hukum penerbitan surat perintah penyidikan baru terhadap tersangka yang digugurkan status tersangkanya oleh hakim praperadilan.
Penetapan tersangka menjadi objek praperadilan juga merupakan penerobosan hukum oleh putusan hakim praperadilan Sarpin Rizaldi No. 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel yang mengawali kekalahan KPK dalam praperadilan mengabulkan permohonan Budi Gunawan. Selain itu, Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014 yang menguji Pasal 77 UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP memperluas objek praperadilan.
Pada 2016 Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 4 Tahun 2016 tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan. Pasal 2 ayat (3) Perma tersebut sebagai dasar hukum untuk mengeluarkan sprindik baru terhadap putusan praperadilan yang mengabulkan permohonan tentang tidak sahnya penetapan tersangka dengan syarat memenuhi paling sedikit dua alat bukti baru yang sah, berbeda dengan alat bukti sebelumnya yang berkaitan dengan materi perkara.
Keberanian KPK
Tindak pidana korupsi menimbulkan kerusakan dalam berbagai sendi kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara sehingga diperlukan keberanian dan komitmen untuk memberantasnya. Apabila KPK memiliki keberanian dan komitmen, sprindik baru Setya Novanto dalam kasus korupsi E-KTP harus diterbitkan dengan mendasarkan pada dua alat bukti baru yang sah, berbeda dengan alat bukti sebelumnya yang berkaitan dengan materi perkara.
Pasal 184 ayat (1) KUHAP telah menentukan secara limitatif alat yang sah menurut undang-undang. Di luar alat bukti tersebut tidak dibenarkan dipergunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Adapun alat bukti yang sah menurut undang-undang sesuai dengan apa yang disebut dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP adalah: (a) keterangan ahli, (b) surat, (c) petunjuk, dan (d) keterangan terdakwa.
Berdasarkan Pasal 183 KUHAP dapat diketahui sistem pembuktian yang dianut oleh KUHAP adalah negatief wettelijke stelsel atau sistem pembuktian menurut undang-undang yang bersifat negatif. Wettelijk atau menurut undang-undang, untuk pembuktian undang-undanglah yang menentukan tentang jenis dan banyaknya alat bukti yang harus ada.
Kemudian negatif karena adanya jenis-jenis alat-alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang itu belum dapat membuat hakim harus menjatuhkan pidana bagi seseorang terdakwa, apabila jenis-jenis alat-alat bukti itu belum dapat menimbulkan keyakinan pada dirinya suatu tindak pidana itu benar-benar telah terjadi, dan terdakwa telah bersalah melakukan tindak pidana tersebut.
Sistem pembuktian yang dianut oleh KUHAP adalah penilaian atas kekuatan pembuktian dari alat-alat bukti yang diajukan ke depan sidang pengadilan oleh penuntut umum, sepenuhnya diserahkan kepada majelis hakim.
Dengan dianutnya sistem pembuktian menurut undang-undang yang bersifat negatif oleh KUHAP, putusan praperadilan Hakim Cepi sangatlah wajar meragukan alat bukti yang digunakan KPK untuk menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka. Oleh karena itu KPK sebaiknya mengikuti pertimbangan hakim untuk menerbitkan sprindik baru terhadap Setya Novanto. KPK harus menghadirkan dua alat bukti baru yang sah, berbeda dengan alat bukti sebelumnya yang berkaitan dengan materi perkara.
Alat bukti yang diajukan berasal dari penyidikan terhadap Irman dan Sugiharto, mantan pejabat Kementerian Dalam Negeri yang sudah divonis bersalah melakukan korupsi E-KTP sebaiknya ditambah lagi dengan alat bukti baru yang bisa meyakinkan hakim. Sebanyak apapun alat bukti yang dimiliki oleh KPK untuk menetapkan Setya Novanto kembali sebagai tersangka, tanpa adanya minimal dua alat bukti yang memiliki unsur kebaruan, KPK akan menelan pil pahit kembali yaitu kekalahan perang di praperadilan sebelum memasuki perang sesungguhnya yaitu peradilan.
Dalam hal ini KPK diuji keberaniannya untuk memberantas korupsi dengan tidak menabrak hukum acara pidana yang berlaku.
Ajie Ramdan dosen Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini