Saya tidak tahu apakah ini benar selebaran yang dibuat Eep. Saya tidak berminat untuk memastikannya. Tapi, gagasan seperti ini nyata ada di tengah masyarakat. Saya sudah mendengarnya sejak 30 tahun yang lalu, disampaikan baik secara informal dalam obrolan maupun dalam acara resmi, baik pengajian maupun kotbah Jumat. Jadi, terlepas dari soal benar atau tidak poster ini dari Eep, menurut saya ini tetap perlu diperhatikan, karena gagasan ini nyata ada di masyarakat.
Gagasan ini sudah sejak lama ada. Tapi kenapa tidak berkembang? Dengan sekitar 200 juta umat Islam di Indonesia, kenapa tidak bisa bersatu mewujudkan gagasan tadi? Kenapa tidak muncul kartel bisnis berbasis agama, yang membuat umat Islam sejahtera? Padahal gagasan ini sudah berumur cukup tua.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kalau begitu, apa fondasi bisnis? Produk dan layanan. Produk artinya produknya ada, memiliki kualitas sebanding dengan harga, tersedia di pasar, memenuhi kebutuhan banyak orang. Layanan adalah soal ketersediaan kenyamanan ketika orang memakai produk. Termasuk saat orang mengalami gangguan dalam memakainya. Apakah produsennya memberikan tanggapan yang memuaskan atau tidak.
Kalau produk dan layanan memuaskan, orang tak peduli pada soal-soal lain, seperti siapa produsennya, apa bangsanya. Tentu saja orang tak peduli soal agama produsennya. Bakso A Fung yang jelas-jelas pakai nama Cina saja mungkin dimakan dengan lahap oleh orang-orang yang mulutnya rajin mengeluarkan ungkapan-ungkapan anti-Cina. Sama seperti orang-orang anti-LGBT yang terus memerus pakai Facebook, meski pendiri dan pemegang sahamnya mendukung LGBT.
Jadi, kalau mau menguatkan ekonomi, umat Islam harus membuat produk yang baik, dengan layanan baik. Itu semua membutuhkan kemampuan manajemen di segala bidang. Mulai dari pengembangan produk, produksi, promosi, pemasaran, penjualan, hingga layanan purna jual. Itu semua memerlukan kerja keras, baik dalam hal pikiran maupun dalam kerja fisik. Lebih penting lagi, itu adalah perjuangan jangka panjang, tidak bisa dibangun dalam waktu satu-dua bulan.
Basis emosional, baik dari sisi keinginan memajukan umat atau dari sisi kebencian pada umat lain tidak akan memunculkan manajemen yang baik. Artinya, tidak akan menghasilkan produk yang baik. Orang akan dengan mudah menutupi kesalahan dan kekurangannya dengan jargon-jargon emosional. Lalu ia tetap melestarikan kesalahan-kesalahannya.
Sederhana saja. Anda mampir di kedai bakso milik umat. Kedai ini diperuntukkan bagi perjuangan umat. Tapi bakso di situ basi. Apakah Anda akan makan di situ? Tidak, kalau Anda waras. Lalu, apa yang membuat kedai bakso ramai dikunjungi orang? Rasanya enak, kedainya bersih, pelayannya ramah. Bahkan kedai makanan yang tidak punya label halal pun masih tetap laku dikunjungi orang, yang sebagian besar adalah orang Islam. Kenapa? Karena orang butuh produk mereka, dan mereka puas setelah mendapatkannya.
Jadi, ajakan untuk berperilaku eksklusif itu tidak akan membawa umat Islam ke mana-mana. Itu hanya akan mengaduk emosi sesaat, atau mempengaruhi segelintir orang. Sebagian besar manusia tetap akan berperilaku mengikuti hukum alam, yaitu membeli produk berdasarkan pertimbangan kebutuhan.
Jadi kalau ada orang Islam yang benar-benar mau berbisnis, belajarlah berbisnis dengan benar. Buat produk yang baik, berikan layanan yang terbaik, kelola bisnis dengan manajemen yang baik. Dalam prosesnya, Anda akan bekerja sama dengan non-muslim. Tidak perlu menghindar. Bisnis tidak kenal agama. Uang adalah agama dalam dunia bisnis. Selama sama-sama menguntungkan, orang dengan latar belakang agama apapun akan bekerja sama demi uang. Bahkan dua orang yang bermusuhan pun akan bekerja sama demi uang.
Kalau Anda serius hendak berbisnis dan menjalaninya, maka Anda akan belajar bahwa bisnis tidak bisa dikembangkan dengan emosi. Bisnis harus dikembangkan dengan akal. Maka sadarilah bahwa ajakan emosional tidak akan pernah membangun bisnis. Ia mungkin akan berperan sedikit. Tapi manajemen tetap akan jadi panglima.
Jadi, setelah ini Anda akan belanja di mana? Saya akan belanja di toko yang menyediakan kebutuhan saya. Tak peduli apa agama atau suku pemiliknya.
Hasanudin Abdurakhman cendekiawan, penulis, kini menjadi seorang profesional di perusahaan Jepang di Indonesia
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini