Praperadilan, Cukupkah Diatur dalam KUHAP?

Kolom

Praperadilan, Cukupkah Diatur dalam KUHAP?

Johan Imanuel - detikNews
Rabu, 04 Okt 2017 14:26 WIB
Hakim mengabulkan praperadilan Setya Novanto (Foto: Agung Pambudhy)
Jakarta - Fenomena praperadilan memang cukup hangat akhir-akhir ini. Terakhir putusan sidang pra peradilan yang sangat menarik perhatian publik adalah hakim tunggal Cepi Iskandar mengabulkan sebagian permohonan Setyo Novanto sehingga status tersangka yang ditetapkan oleh KPK menjadi tidak sah menurut hukum. Hal ini menambah catatan berkaitan sidang praperadilan yang telah diikuti KPK mengalami kegagalan sebanyak lima kali.

Kegagalan KPK seakan membuat berbagai kalangan mempertanyakan dua hal. Pertama, apakah sah atau tidaknya penetapan tersangka itu bisa (atau tidak) menjadi objek hukum dalam gugatan praperadilan? Kedua, cukupkah praperadilan diatur dalam KUHAP?

Dalam UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, praperadilan diatur pada Pasal 77-83 di mana Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutuskan sebagai berikut: (a) sah tidaknya suatu penangkapan dan/atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau permintaan yang berkepentingan demi tegaknya hukum dan keadilan; (b) sah tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan yang berkepentingan demi tegaknya hukum dan keadilan; dan (c) permintaan ganti-rugi atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atau kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Mengenai sah atau tidaknya penetapan tersangka memang belum diatur dalam KUHAP sampai dengan saat ini. Namun, putusan Mahkmah Konstitusi (MK) Nomor 21/PUU-XII/2014 berkaitan dengan praperadilan menegaskan:

"…Pasal 77 huruf (a) Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan…." serta

"…Pasal 77 huruf (a) Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan…."

Mengacu Putusan MK di atas, dapat ditafsirkan bahwa sah atau tidaknya penetapan tersangka dapat menjadi objek hukum dalam permohonan praperadilan sehingga memperluas ranah praperadilan, termasuk sah atau tidaknya penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan.

Cukupkah Diatur dalam KUHAP?

Sampai saat ini praperadilan diatur dalam KUHAP yang kemudian diperluas oleh Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014. Mengingat praperadilan telah diperluas kewenangannya termasuk untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan sah atau tidaknya penetapan tersangka, maka sudah saatnya praperadilan diatur dalam UUD 1945 menjadi lembaga yudikatif setingkat Mahkamah Agung (MA) dan MK. Sebab, kewenangan yang menjadi bagian dalam pemeriksaan praperadilan berkaitan erat dengan nilai-nilai dasar hak asasi manusia (HAM) yang dijamin oleh konstitusi (UUD 1945).

Nilai-nilai dasar HAM yang dimaksud antara lain, pertama, dalam UUD 1945 Pasal 28 D Ayat (1): "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum."

Kedua, dalam UU Nomor 39 Tahun 199 tentang HAM Pasal 17 yang berbunyi: "Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang objektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar."

Ketiga, dalam UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Convenant on Civil and Political Rights (Konvenan International tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) dalam penjelasan pada pokok-pokok isi konvenan menegaskan: "…bahwa tidak seorang pun boleh ditangkap atau ditahan secara sewenang-wenang (Pasal10); persamaan semua orang di depan pengadilan dan badan peradilan, hak atas pemeriksaan yang adil dan terbuka oleh badan peradilan yang kompeten, bebas dan tidak berpihak, hak atas praduga tak bersalah bagi setiap orang yang dituduh melakukan tindak pidana, dan hak setiap orang yang dijatuhi hukuman atas peninjauan kembali keputusan atau hukumannya oleh badan peradilan yang lebih tinggi (Pasal 14)."

Berdasarkan hal di atas, dapat menjadi cita-cita dalam hukum nasional selanjutnya bahwa praperadilan menjadi lembaga yudikatif yang mandiri karena perannya setingkat dengan MA dan MK. Di samping itu, objek hukum yang ditangani oleh praperadilan sangat erat berkaitan dengan nilai-nilai HAM yang telah dijamin oleh konstitusi (UUD 1945). Dengan demikian praperadilan dapat memiliki payung hukum sendiri layaknya MA dan MK.

Johan Imanuel member PERADI dan partner pada Bireven & Partners

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads