Antara Perpustakaan dan Mall
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Antara Perpustakaan dan Mall

Rabu, 27 Sep 2017 13:45 WIB
Moch Sholeh Pratama
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Ilustrasi: Kiagoos Auliansyah/detikcom
Jakarta - Dulu, Descartes berujar, "Saya berfikir maka saya ada". Sekarang, sebagian dari kita mungkin berujar, "Saya berbelanja maka saya ada". Baik dulu maupun sekarang, keduanya berusaha menunjukkan eksistensi diri lewat identitas dengan cara yang berbeda.

Setiap manusia modern dipaksa memiliki sebuah indentitas yang melekat pada dirinya. Sebagai patron masyarakat, baik perpustakaan maupun mall merupakan ruang publik penyedia identitas yang diidam-idamkan. Keberadaan keduanya merupakan respons atas kebutuhan masyarakat terhadap identitas yang semakin tidak terbatas.

Pada Kamis, 14 September yang lalu Presiden Joko Widodo meresmikan gedung baru Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (Perpusnas). Patut disambut baik upaya pemerintah dalam memodernisasi fasilitas masyarakat. Namun, upaya modernisasi fasilitas tanpa diimbangi dengan sosialisasi dan internalisasi terkait pentingnya kunjungan, membaca, dan diskusi di perpustakaan hanya akan sia-sia belaka. Ibarat rumah dengan tampilan elegan, tidak sesuai dengan penikmat yang minim ilmu pengetahuan. Pemerintah harus mampu menciptakan formulasi guna merangsang masyarakat tertarik berkunjung ke perpustakaan.

Tatkala peresmian gedung baru Perpusnas dianggap sebagai gebrakan atas kebutuhan identitas masyarakat, maka anggapan tersebut akan berbenturan dengan realitas hidup bahwa peresmian mall-mall di tengah kota lebih menarik perhatian. Kuasa dan kecakapan pemodal dalam sosialisasi dan internalisasi inovasi barang maupun jasa sangat efektif menggugah hasrat konsumsi masyarakat.

Kesamaan fungsi keduanya sebagai objek penyalur hasrat konsumsi identitas tidak senada dengan pola rangsangan penarikan massa. Perpustakaan hari ini tidak mampu berias diri guna menarik minat atau bahkan menyadarkan masyarakat untuk berkunjung. Berbeda dengan mall yang terlihat sangat cakap dalam menciptakan "perangkap" guna mengundang tiap pasang mata berduyun-duyun mengunjungi mall.

Pola Konsumtif-Produktif

Kematian nalar produktif berdampak pada hidupnya nalar konsumtif. Begitu banyak "perangkap" pemodal yang tidak disadari keberadaannya oleh masyarakat. Salah satu perangkat dari sekian banyak perangkap pemodal adalah mall. Mall dicitrakan pemodal sebagai ruang pemuas hasrat konsumsi identitas masyarakat. Tiap yang masuk ke dalamnya akan sangat berat hati untuk keluar ruang, sebab terkepung oleh gemerlap barang-barang yang ditawarkan. Nalar produktif masyarakat dimatikan lewat penciptaan ruang ekspektasi penuh pencitraan dan kepalsuan. Kendali penuh strategi pasar dijalankan guna mengendapkan kematian nalar produktif.

Di belahan ruang lain, upaya merangsang gairah hidup nalar produktif tidak berjalan lancar. Kebutaan terhadap realitas nyata telah berhasil ditutupi oleh ekspektasi tinggi yang sebenarnya semu adanya. Jerembab perangkap pemodal berdaya tahan kuat hingga membuat masyarakat enggan mengetahui bahkan menyentuh realitas dunia sesungguhnya. Gemerlap dunia semu penuh pencitraan telah mengalihkan jalan menuju dunia penyadaran. Pemodal dengan perangkapnya mencengkeram dan merawat nalar konsumtif masyarakat.

Perpustakaan yang merupakan jalan utama memasuki dunia penyadaran lewat lembaran buku-bukunya tidak mampu melawan perangkap pemodal yang secara konsisten mengkampanyekan inovasi hasil produksi. Ketidakmampuan perpustakaan, setidaknya dalam menggoyang kemapanan pemodal dan nalar konsumtif yang diciptakan merupakan petaka yang harus sesegera mungkin diselesaikan.

Daya tahan nalar konsumtif merupakan ancaman besar bagi kehidupan masyarakat. Ketergantungan terhadap ekspektasi semu akan mengendalikan alam bawah sadar pecandunya. Banyak contoh yang kemudian memantik keprihatinan. Di kampus, mayoritas mahasiswa memegang gawai dibanding memegang buku. Pun kunjungan ke perpustakaan kampus sangat tidak seimbang dengan kunjungan ke mall yang sekedar mencari hiburan. Padahal konsumsi identitas ilmu pengetahuan merupakan hal mutlak bagi mahasiswa daripada konsumsi identitas semu. Dunia akademis yang digadang-gadang sebagai sarang intelektualitas ikut terseret dalam perangkap pemodal.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menggoyang Kemapanan

Inovasi yang secara konsisten diciptakan oleh pemodal lewat branding mall guna merawat nalar konsumtif masyarakat Indonesia harus digoyang dengan kampanye literasi. Ketika mall menawarkan gemerlap ekspektasi semu, maka perpustakaan harus mampu menciptakan kreativitas lain yang nyata. Kesibukan masyarakat akan dunia semu harus mampu dialihkan dengan kegiatan produktif.

Menjamurnya aktivis literasi di luar instansi pemerintah merupakan respons nyata atas keprihatinan sebagian masyarakat terhadap pemerintah dan masyarakat lainnya. Perpustakaan keliling dan lapak baca buku gratis mencoba mengetuk pintu dunia semu masyarakat guna menawarkan banyak kesadaran lewat lembar-lembar buku. Kampanye-kampanye kecil diharapkan mampu membangun nalar produktif masyarakat Indonesia.

Cap masyarakat konsumtif sesegera mungkin diganti dengan cap masyarakat produktif. Kebiasaan masyarakat berkunjung ke mall harus diimbangi dengan kebiasaan masyarakat berkunjung ke perpustakaan. Karena pola konsumtif tanpa diimbangi pola produktif hanya akan menciptakan kesenjangan kelas ekonomi masyarakat dan kecanduan terhadap sakralitas identitas semu. Perubahan paradigma identitas ekonomi menuju paradigma identitas intelektual yang menentukan eksistensi masyarakat layak disajikan.

Wacana produktif perlu diberikan ruang guna melawan wacana perangkap konsumtif di tengah masyarakat. Masyarakat yang selama ini mengkonsumsi sajian wacana konsumtif juga harus mampu menangkap sajian wacana produktif. Dengan demikian, pola perilaku konsumtif akan sedikit berkurang sebab ruang produktif menawarkan inovasi kreatif. Keberhasilan perubahan akan terlihat ketika angka kunjungan ke perpustakaan setidaknya seimbang dengan angka kunjungan ke mall. Masyarakat bijak dalam mengkonsumsi apa yang tampak.

Moch Sholeh Pratama mahasiswa Departemen Ilmu Sejarah Universitas Airlangga, Ketua Keluarga Pelajar Mahasiswa Banyuwangi di Surabaya (KPMBS)

(mmu/mmu)



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads