Ia pun merasa diabaikan, merasa kawan-kawan dekatnya sangat minim perhatian. Kesedihan karena kehilangan pun berkembang jadi duka yang berlipat lebih menyakitkan.
Yang membuat saya menyesal adalah kenyataan bahwa saya merupakan salah satu dari mereka yang tidak datang itu. Saat itu saya memang sedang disibukkan dengan kelahiran anak kedua, sehingga tak memungkinkan untuk sekadar mampir turut berduka.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jadi, bahkan sekadar menitipkan kartu saja (iya, kartu saja, tanpa bingkisan atau bunga), itu sudah merupakan bentuk rasa simpati yang luar biasa. Celakanya, kenapa saya baru menyadari bahwa tindakan seremeh menitip kartu bertuliskan ungkapan simpati adalah bentuk komunikasi adiluhung ala Australia, yang akan membawa efek positif begitu dahsyat bagi sahabat saya?
Ini benar-benar keterlaluan, apalagi bagi saya. Bagaimana tidak, lha wong pekerjaan saya ini kurir. Setiap hari saya selalu mengirim stok barang ke toko-toko di area kerja saya. Selain bahan pangan untuk swalayan, atau cairan ini-itu untuk salon-salon kecantikan, saya pun kerap sekali mengangkuti barang-barang untuk florist alias toko bunga dan news agency.
Florist dan news agency tersedia nyaris di setiap kelurahan. Florist menyediakan bunga-bunga, kartu-kartu, dan kadang boneka aneka rupa. Adapun news agency menyediakan koran, majalah, alat-alat tulis, nomor lotre (yang di sini legal itu), dan juga kartu-kartu.
Setiap kali saya masuk untuk mengirimkan kardus-kardus besar ke berbagai florist dan news agency, kartu-kartu yang terpajang itu selalu tersapu pula oleh pandangan mata saya. Ada kartu ucapan ulang tahun, ucapan anniversary perkawinan, ucapan turut berduka untuk kematian, hingga ucapan terima kasih yang bersifat umum dan bisa dipakai untuk memberikan apresiasi jenis apa saja.
Lah, pertanyaan besarnya adalah, kenapa tidak pernah muncul rasa penasaran di hati dan kepala saya akan seberapa penting posisi kartu-kartu itu dalam sosiologi bahkan "kosmologi" masyarakat Australia?
Saya lebih suka mengamati bagaimana kehidupan masyarakat Aborigin, misalnya. Bagaimana rumitnya hubungan mereka dengan masa lalu kelam di bawah tindasan kulit putih. Bagaimana mereka membangun identitas dan perlawanan atas simbol-simbol penjajahan yang terus hidup. Bagaimana repotnya upaya penebusan dosa negara Australia yang berkelindan dengan efek ketergantungan masyarakat Aborigin atas dana jaminan sosial. Dan sebagainya.
Padahal, dengan memahami itu, apa yang bisa saya lakukan? Tidak ada. Sekadar tahu saja. Sekadar merasa keren, karena paham peta sejarah dan peta sosial Australia.
Saya juga lebih suka mengamati bagaimana masyarakat Australia menciptakan kultur yang obsesif kepada ketertiban dan keselamatan. Bagaimana peraturan lalu lintas dan standar keselamatan kerja dijunjung setinggi ayat-ayat kitab suci. Bagaimana anggota masyarakat satu sama lain saling mengawasi (dan otomatis kadang saling mencurigai) demi terwujudnya ketertiban itu. Bagaimana muncul efek panopticon sebagaimana teori Foucault yang lahir dari sistem pengawasan ketertiban ala Australia. Dan sebagainya.
Padahal, dengan memahami hal-hal seperti itu, apa yang bisa saya lakukan? Apakah itu berpengaruh kepada ketertiban saya? O, jelas tidak. Paham ataupun tidak paham, saya tetap akan terpaksa tertib, karena pelanggaran aturan selalu berkonsekuensi denda puluhan bahkan ratusan dolar. Dan harap dimengerti, bagi buruh rendahan macam saya, tentu saja kata "denda" adalah sejenis monster pencabut nyawa.
Tak cuma soal-soal Australia. Dalam waktu yang sama, saya pun lebih suka mencerna perbincangan-perbincangan besar di luar Australia. Bagaimana medan geopolitik di konflik Rohingya, misalnya. Padahal, apa yang bisa saya jalankan setelah sedikit banyak saya memahaminya? Paling-paling saya akan menulis status Facebook, mengajak teman-teman di friendlist saya untuk mencermati duduk perkara konflik itu dalam porsi yang semestinya.
Lah, memang apa pengaruhnya? Apakah kalau saya tidak menuliskan status itu, konflik Rohingya jadi tambah parah? Dan apakah kalau saya menuliskannya, maka pembunuhan dan entah apalah segala hal buruk di sana akan berkurang dengan sendirinya?
Saya tahu jawabannya sangat menyedihkan: tidak. Suara saya tidak berpengaruh apa-apa.
Dalam waktu yang sama pula, bahkan saya lebih suka turut berkerut mencermati data-data sejarah, untuk menemukan fakta historis yang paling meyakinkan, tentang satu pertanyaan mahapenting dalam historiografi Indonesia: "Apakah Aidit merokok?"
Padahal, setelah saya berlelah-lelah mencermati versi Ilham Aidit dan versi wawancara media, juga mencermati foto Aidit dengan rokok di tangannya, paling-paling saya cuma akan manggut-manggut. Kemudian saya menawarkan sebuah hipotesis mengejutkan kepada publik pembaca:
"Ilham tidak bohong. Media juga tidak bohong. Aidit tidak pernah merokok di rumah. Namun ia selalu merokok di rapat-rapat PKI, sembari merahasiakan perilaku merokoknya itu dari keluarganya. Jadi saya mengajukan tesis, bahwa selain sebagai Ketua CC PKI, Aidit pun aktif sebagai Sekjen IMTI. Yakni Ikatan Marxis Takut Istri."
Sudah, cuma itu saja. Sebuah kesimpulan yang sangat ilmiah namun tidak berguna bagi masa depan peradaban.
Bayangkan, jika waktu-waktu saya yang panjang itu saya pakai untuk memahami betapa pentingnya memberikan kartu ucapan duka, tentu tindakan yang akan saya tempuh berdasar pengetahuan kecil itu bakalan jauh lebih bermanfaat bagi kemanusiaan. Tindakan itu akan menyelamatkan perasaan seorang manusia, menutup luka hatinya, sekaligus mencegah penyesalan berkepanjangan di hati saya.
Dan itu semua sungguh merupakan kebermanfaatan yang nyata, jauh lebih nyata ketimbang rokok Aidit atau 5000 pucuk senjata yang disebut-sebut Sang Panglima.
Iqbal Aji Daryono tinggal sementara di kota Perth, bekerja sebagai kurir profesional
(mmu/mmu)