Tragedi 1965 dan Potret-Potret Rekonsiliasi
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Tragedi 1965 dan Potret-Potret Rekonsiliasi

Senin, 25 Sep 2017 14:00 WIB
Arie Saptaji
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Ilustrasi: Edi Wahyono
Jakarta - Pada musim semi 1994 Rwanda tercabik-cabik oleh genosida. Kelompok ekstremis Hutu membasmi suku Tutsi dan orang Hutu moderat. Korban jatuh diperkirakan 500.000β€”1.000.000 jiwa. Di tengah kecamuk perang saudara itu, batas antara kawan dan lawan jadi simpang siur.

Hotel Rwanda (Terry George, 2004) mengangkat peristiwa itu dengan berfokus pada sosok Paul Rusesabagina (Don Cheadle), seorang karyawan hotel. Ia seorang Hutu, sedangkan istrinya, Tatiana (Sophie Okonedo), orang Tutsi. Sebagai suami dan ayah yang bertanggung jawab, tentu ia bertekat untuk melindungi keluarganya. Dengan itu, ia berisiko disebut pengkhianat oleh sebagian orang Hutu, yang merendahkan orang Tutsi sebagai "kecoak".

Sebagai karyawan hotel, Paul memiliki jaringan koneksi yang luas dengan politisi, pemimpin militer, dan diplomat internasional. Adapun para pengungsi –baik orang Hutu maupun orang Tutsi– berbondong-bondong mendatangi hotelnya, mengharapkan "suaka". Akankah ia merangkul orang Hutu saja, dan menampik orang Tutsi?

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sebelumnya, tukang kebun tetangga mereka, Victor, seorang Tutsi, ditangkap oleh milisi Hutu. Tatiana membujuk Paul untuk membantu mengupayakan pembebasannya, menggunakan koneksi yang dimilikinya. Paul mengajukan sejumlah keberatan, dan Tatiana mengusik Paul dengan pernyataan sederhana, "Tapi dia kan tetangga yang baik."

Dalam tataran semacam ini, rekonsiliasi dapat bersemi. Ketika kita tidak lagi memperhitungkan sekat suku, agama, bangsa, kelas, status sosial, kita dapat bersolidaritas sebagai sesama manusia. Kita senasib sepenanggungan, dan leluasa mengulurkan tangan kepada siapa saja yang memerlukan pertolongan.

Selebihnya, Rwanda menempuh jalur yudisial yang panjang dan berliku untuk membenahi dampak pahit genosida ini.

***

Afrika Selatan, atas prakarsa Nelson Mandela, memilih jalur rekonsiliasi untuk penyembuhan luka bangsa. Seperti kita ketahui, Mandela adalah presiden pertama Afrika Selatan yang terpilih melalui pemilu demokratis pada 1994. Negeri itu sebelumnya koyak-moyak oleh apartheid, dan ia sendiri mesti meringkuk di penjara selama 27 tahun akibat politik rasial itu. Ia bertekad untuk membangun Afrika Selatan yang baru. Ia mengawalinya dengan cara yang amat khas: meminta sipir penjaranya ikut naik ke panggung pada saat pelantikannya.

Selama memimpin negeri itu, ia antara lain membentuk Komite Kebenaran dan Rekonsiliasi (TRC), dengan ketua Uskup Agung Desmond Tutu. Mandela berusaha mengelakkan pola balas dendam yang dilihatnya di sekian banyak negara, yang terjadi sewaktu ras atau suku yang semula tertindas mengambil alih pemerintahan.

Selama dua setengah tahun berikutnya, penduduk Afrika Selatan menyimak berbagai laporan kekejaman melalui pemeriksaan TRC. Peraturannya sederhana: bila seorang polisi atau perwira kulit putih secara sukarela menemui pendakwanya, mengakui kejahatannya, dan mengakui sepenuhnya kesalahannya, ia tidak akan diadili dan dihukum untuk kejahatan tersebut. Penganut garis keras mencela pendekatan ini dan menganggapnya tidak adil karena melepaskan si penjahat begitu saja. Namun, Mandela bersikukuh bahwa negeri itu jauh lebih memerlukan kesembuhan daripada keadilan.

Sebuah kisah mengharukan dituturkan Philip Yancey dalam buku Rumours of Another World (2003). Pada sebuah pemeriksaan, seorang polisi bernama van der Broek mengakui perilaku kejinya. Ia dan beberapa perwira lain menembak seorang anak laki-laki delapan tahun dan membakar tubuh anak itu seperti sate untuk menghilangkan bukti. Delapan tahun kemudian van de Broek kembali ke rumah yang sama dan menangkap ayah si anak. Isterinya dipaksa menyaksikan para polisi mengikat suaminya pada tumpukan kayu, mengguyurkan bensin ke tubuhnya, dan menyalakannya.

Ruang pemeriksaan menjadi hening saat seorang perempuan lansia, yang telah kehilangan anak dan kemudian suaminya, diberi kesempatan untuk memberikan tanggapan. "Apa yang Anda inginkan dari Tn. van de Broek?" tanya hakim. Ibu itu menjawab, ia ingin van der Broek pergi ke tempat mereka dulu membakar tubuh suaminya dan mengumpulkan abunya, agar ia dapat melakukan pemakaman yang layak. Dengan kepala tertunduk, polisi itu mengangguk.

Kemudian ibu itu mengajukan permintaan tambahan, "Tn. van der Broek telah mengambil seluruh keluarga saya, dan saya masih memiliki banyak kasih yang ingin saya bagikan. Dua kali sebulan, saya ingin dia datang ke kampung saya dan menghabiskan waktu satu hari bersama saya, agar saya dapat menjadi ibu baginya. Dan saya ingin Tn. van der Broek tahu bahwa ia telah diampuni oleh Tuhan, dan bahwa saya juga mengampuninya. Saya ingin memeluknya, sehingga ia dapat mengetahui bahwa pengampunan saya ini sungguh-sungguh."

Secara spontan, beberapa orang di ruang itu mulai menyanyikan Amazing Grace saat perempuan lansia itu melangkah menuju tempat saksi, namun van der Broek tidak mendengarkan nyanyian itu. Ia terjatuh tak sadarkan diri.

Nelson Mandela menyadari bahwa sewaktu kejahatan terjadi, hanya satu tanggapan yang dapat mengalahkannya. Pembalasan dendam hanya akan melanggengkan kejahatan itu. Keadilan hanya akan menghukumnya. Kejahatan hanya akan dikalahkan oleh kebaikan bila pihak yang disakiti bersedia menyerapnya, mengampuninya, dan menolak untuk membiarkannya menyebar lebih jauh. Belas kasihan akan menang atas penghakiman.

***

Negeri ini juga masih terluka oleh Tragedi 1965. Ketika menjadi presiden, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur menggulirkan wacana rekonsiliasi. Atas inisiatif pribadi, Gus Dur meminta maaf kepada para keluarga korban Tragedi 1965 dan mengajak semua kalangan, termasuk warga Nahdlatul Ulama (NU) untuk melakukan rekonsiliasi atau islah. Namun, ajakan ini tidak memperoleh sambutan luas dan sempat memicu kesalahpahaman.

Pada 2004 Undang-undang No. 27 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi disahkan. Namun, pada 2006 undang-undang tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi karena dianggap bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden Jokowi sama-sama sempat melontarkan kemungkinan permohonan maaf negara terhadap para korban Tragedi 1965. Namun, keduanya baru berhenti sebatas wacana.

Pada Agustus 2016, Kejaksaan Agung, Kepolisian Republik Indonesia, Tentara Nasional Indonesia, Simposium 65, serta Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan konsisten mengusung konsep rekonsiliasi sebagai rekomendasi penyelesaian Tragedi 1965. Rekonsiliasi lebih direkomendasikan daripada penyelesaian secara yudisial karena sulit memenuhi syarat-syarat untuk membawa perkara 1965 ke meja hijau. Melalui rekonsiliasi, diharapkan ada pengungkapan kebenaran, penerapan keadilan yang bersifat restoratif, perbaikan hak-hak korban, dan kebijakan mengganti kerugian korban. Belum ada respons pemerintah atas rekomendasi ini.

Amin Mudzakkir (2016), Peneliti PSDR-LIPI, mencatat setidaknya terdapat dua kelompok utama dalam perdebatan mengenai Tragedi 1965. "Kelompok pertama selalu menekankan cerita-cerita tentang serangan kasar PKI, yang memuncak di Madiun 1948, terhadap lawan-lawannya. Kelompok kedua selalu menonjolkan kepiluan anggota PKI yang dibantai setelah kekalahan telak dan cepat Gerakan 30 September (Gestapu)/Gerakan 1 Oktober (Gestok)."

Karena itu, menurutnya, "rekonsiliasi 1965 tidak bisa tidak harus berlandaskan pada suatu kesadaran baru mengenai sejarah 1965 itu sendiri. Apa yang disebut korban tidak hanya anggota PKI, tetapi juga semua warga sipil yang kehilangan hak kewarganegaraannya di sekitar peristiwa itu. Oleh karena itu, sejarah 1965 harus dipahami secara luas sebagai perubahan dan kelanjutan periode sejarah sebelumnya. Memotong penafsiran historiografis hanya pada tahun 1965, baik hanya fokus pada periode sebelumnya maupun sesudahnya, akan berdampak fatal."

Manakah jalur yang hendak ditempuh oleh bangsa ini? Pilihan antara melanggengkan dendam dan merengkuh rekonsiliasi tampaknya bakal menunjukkan apakah Pancasila sungguh-sungguh sakti.

Arie Saptaji penulis, penerjemah, editor. Tinggal di Yogyakarta
(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads