Mulai dari yang awalnya memang sudah bercita-cita menjadi abdi negara, sampai yang pada waktu kuliah punya hobi mengkritik pemerintah. Untuk yang terakhir ini, memang tidak salah juga jika berkeinginan menjadi aparatur sipil negara; semoga ia dapat membuktikan bahwa perjuangan itu adalah pelaksanaan kata-kata.
Menjadi abdi negara tentu tidak semudah mengkritiknya. Bagaimanapun, efektivitas pemerintahan adalah cerminan dari profesionalitas aparatur sipil negaranya. Sayangnya, meski prosesi rekrutmen calon pegawai sipil negara itu amat sulit, dengan tingkat persaingan tinggi, aparatur sipil negara yang diperoleh masih belum mendukung pelayanan publik yang baik.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penilaian yang dilakukan Ombudsman ini menimbang mulai dari kualitas pelayanan publik, pelayanan aparatur sipil negara, kemandirian dari tekanan politik, rumusan kebijakan dan kredibilitas komitmen pemerintah. Ditemukan 15 instansi pemerintahan yang pelayanannya masih berapor kuning, dan 4 instansi berapor merah. Temuan ini jelas belum memuaskan.
Secara komparatif pun, Indonesia rupanya kalah dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lain, jika dilihat dari kualitas dan kinerja aparatur sipil negara. Posisi Indonesia berada di bawah Filipina, Thailand, Malaysia dan Singapura.
Singapura sebagai tetangga terdekat, saat ini menjadi negara dengan kualitas dan kinerja PNS terbaik ke-2 di dunia. Belajar dari Singapura, negara ini mendasarkan kebijakan dalam pengelolaan aparatur sipil negaranya pada tujuan dan filosofi yang jelas.
Dalam manajemen pemerintahannya, Singapura menganut 6 prinsip, yaitu: (1) kompetisi terbuka dan meritokrasi dalam seleksi dan penempatan, (2) keterbukaan dan objektivitas dalam penilaian, (3) reward dan recognition berdasarkan performance, (4) tidak memihak dan tidak dapat disuap, (5) membayar dengan 'gaji bersih' yang fleksibel, dan (6) transparansi dalam pemberian imbalan (Retri Citarestu Dimasanti dalam Kesejahteraan dan Tunjangan Kinerja Aparatur: Studi Banding Indonesia dan Singapura).
Sejak pertengahan dekade 90-an, gaji pejabat tinggi di Singapura diukur dua per tiga dari gaji tertinggi di enam sektor swasta. Di antaranya adalah akuntansi, perbankan, konstruksi, hukum, perusahaan manufaktur dan perusahaan multinasional.
Pertumbuhan ekonomi juga menjadi tolak ukur bagi pemerintah dalam menentukan gaji. Saat kondisi ekonomi sedang memburuk pada 2008, Singapura memangkas gaji pegawai negeri, termasuk gaji perdana menterinya pada 2009.
Pada 2008, Perdana Menteri (PM) Singapura Lee Hsien Loong menerima gaji 3,7 juta dolar Singapura atau sekitar Rp 25 miliar. Namun, akibat krisis finansial global, pada 2009, gaji PM Lee diturunkan menjadi 3,04 juta dolar Singapura, atau sekitar Rp 20 miliar per tahun.
Pada saat ekonomi tumbuh, Singapura juga bermurah hati kepada para aparatur sipil negara. Sebut saja pada 2010, saat ekonomi negeri ini telah bangkit kembali, bahkan tumbuh 17,9% pada semester pertama. Menteri Perdagangan dan Industri juga memperkirakan produk domestik bruto (PDB) tumbuh sekitar 15 persen. Sebagai hadiahnya, pada akhir 2010, aparatur sipil negara Singapura akan menerima dua bulan gaji. Satu kali gaji bulanan seperti biasa, satu kali lagi sebagai gaji ke-13.
Aparatur sipil negara Singapura juga akan mendapatkan gaji spesial yang dikenal sebagai bonus "pertumbuhan" yang jumlahnya bergantung pada pertumbuhan ekonomi dan kinerja setiap individu. Pada saat itu, pegawai yang berprestasi akan menerima bonus sebesar 1 sampai 1,6 kali gaji, sedangkan yang kinerjanya buruk tidak akan menerima bonus (Dimasanti, 2014).
Mugni Baharuddin dalam penelitiannya atas profesionalisme aparatur sipil negara di Provinsi Kutai Timur, yang dipublikasikan di European Journal of Research dalam Ilmu Sosial (2017) juga menemukan hal serupa. Bahwa untuk meningkatkan profesionalisme aparatur sipil negara perlu sekali menyoroti prestasi kerja, perlu ada langkah secara persisten bagi semua komponen dalam sistem aparatur sipil negara untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas kerja.
Kepala instansi mesti lebih responsif atas setiap prestasi aparatur sipil negara. Aparatur sipil negara yang bekerja dengan baik tentu juga menginginkan kualitas hidup yang baik. Amat disayangkan, bila kita mendapati abdi negara yang berdedikasi tinggi, namun mesti menyicil rumah hingga puluhan tahun.
Memang tidak semua kelemahan itu dapat ditumpukan pada kinerja dan profesionalitas aparatur sipil negara. Sebab ada faktor lain, seperti kemelut ditingkat elite. Tidak dapat dipungkiri, arogansi kekuasaan seringkali membuat birokrasi menjadi susah profesional, karena adanya intervensi politik.
Oleh karena itu, perlu sinergi antara penyaringan abdi negara yang berkualitas, manajemen yang bersih, dan kemauan politik yang baik dalam memantapkan standar pelayanan publik.
Marlis Kwan diaspora Indonesia, tinggal di Taiwan
(mmu/mmu)