Sampai seorang teman di Facebook membagikan kumpulan gambar tangkapan layar dari Twitter. Ia memberinya judul Hamish-Raisa: Sebuah Cinta Proletariat. Isinya? Aneka cuitan bertanda pagar #HamishRaisaSatuAtap. Tergelak saya menyimaknya.
Warganet dengan gegap-gempita membayangkan kehidupan sehari-hari Hamish dan Raisa seandainya mereka adalah pasangan suami-istri kelas jelata. Salah satunya begini:
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Raisa: Bang, sobekin buku tulis selembar.
Hamish: Nih. Buat apaan?
Raisa: *melipat kertas buat tatakan obat nyamuk*
Satu lagi:
Hari Minggu. Hamish lagi rebahan.
Raisa: Kerja bakti sono! Kagak ada geraknya pisan jadi laki. Dideportasi ke RT 3 tau rasa lu.
Jangkrik, bukan? Bikin ngakak, sekaligus menohok secara telak. Justru karena ditempatkan dalam latar kehidupan rakyat kelas bawah, parodinya jadi kian menggigit. Membongkar ilusi tentang romantisme suami-istri, dan mengajak kita menjejak kembali di bumi. Bahwa keindahan hidup pernikahan itu sering tak seperti yang kita bayangkan. Tak senantiasa indah-indah mesra; lebih sering indah-indah konyol campuran tangis dan tawa.
Kita menghela napas lega saat dongeng-dongeng atau kisah cinta berujung dengan and they live happily ever after. Kita percaya, dan diam-diam mendambakan fantasi itu: kebahagiaan sampai selama-lamanya. Namun, pernahkah kita bertanya: apa sebenarnya yang terjadi sesudah itu? Bagaimana si Cinderella, yang biasa berkutat di dapur, menyesuaikan diri dengan protokol istana setelah dipersunting Pangeran Tampan?
Pernah sebuah film mencoba menjawab pertanyaan semacam itu. Bridget Jones: The Edge of Reason (Beeban Kidron, 2004) nyaris menyodorkan jawaban menarik. Seperti Anda tahu, prekuel film ini, Bridget Jones' Diary, berakhir dengan Bridget βperempuan montok dan kerap kikukβ berbahagia dalam rengkuhan Mark Darcy βpria tenang, serius, anggunβ di bawah taburan salju di jalanan London. Film ini dimulai tidak lama sesudah itu. Tepatnya, dua bulan kemudian.
Ya, hanya dua bulan rupanya mereka mabuk cinta, untuk kemudian menemukan bahwa opposites tak selalu attract, namun bisa berbalik attack. Kecemburuan menunjukkan batang hidungnya. Bukan hanya muncul orang ketiga, mantan kekasih nongol pula. Bridget pun terjerat dalam cinta segitiga-ganda.
Menarik sebenarnya bila film ini memotret dua orang dewasa berbeda watak, masing-masing telah mandiri, menguji kadar kecocokan satu sama lain. Sayangnya, The Edge of Reason berkutat dalam drama percintaan. Tidak mencoba memotret realisme pernikahan sebagaimana parodi #HamishRaisaSatuAtap tadi.
Seorang aktor Hollywood suatu ketika diwawancarai dalam acara televisi. "Tolong ceritakan," kata David Letterman, si pembawa acara. "Anda seorang simbol seks yang memainkan berbagai macam peran yang menggairahkan dengan perempuan-perempuan cantik. Bagaimana perbandingannya dengan kehidupan nyata Anda di luar layar?"
Aktor itu mengingatkan Letterman bahwa ia telah menikah dengan bahagia selama dua puluh tahun. Kemudian ia berkata, "Beginilah perbedaannya secara ringkas. Di film, kehidupan itu sebagian besar tentang seks dan kadang-kadang tentang anak-anak. Kehidupan pernikahan itu sebagian besar tentang anak-anak dan kadang-kadang tentang seks."
Salah satu film yang secara memikat memotret hidup pernikahan adalah Up (Pete Docter, 2009), film animasi kesepuluh produksi Pixar. Simaklah dua puluh menit pembukaannya yang manis-getir, dan Anda akan menemukan kisah pernikahan yang meluluhkan hati.
Carl kecil ternganga menyaksikan film tentang Charles Muntz, petualang yang bertekad tak akan balik dari Amerika Selatan sebelum mendapatkan bukti hidup hewan raksasa temuannya. Dengan balon bertulisan "Spirit of Adventure", Carl membayangkan dirinyalah penjelajah gagah berani itu. Bertemulah ia dengan Ellie, gadis berimpian liar serupa. Persahabatan masa kanak ini berlanjut dengan pernikahan yang dilukiskan dalam rangkaian adegan elok nirdialog. Sekali lagi, elokβdan sangat membumi.
Bersama-sama mereka membangun impian untuk mengikuti jejak Muntz ke Paradise Fall, dan badai kehidupan mengikisnya pelan-pelan. Dari Ellie yang tak bisa hamil sampai tabungan keluarga yang tak kunjung penuh karena terus dikuras untuk berbagai keperluan: ban bocor, perbaikan rumah yang tertimpa pohon, biaya pengobatan (duh, jadi ingat tabungan keluarga beta!). Sampai, ya, sampai Ellie mendahului Carl. Dan, Carl mengerut, menyendiri di rumah kenangan mereka, emoh bergaul, memilih terus berbicara dengan Ellie yang sudah tiada.
Syukurlah, Up tidak berakhir dengan kekecewaan Carl. Sehubungan dengan mimpi untuk bertualang mengunjungi air terjun Paradise, Ellie menyiapkan Buku Petualanganku. Di bagian belakangnya masih terdapat lembar-lembar kosong untuk mencatat perjalanan mereka kelak.
Lama setelah istrinya tiada, Carl menemukan kembali Buku Petualanganku itu. Ternyata Ellie sudah mengisi halaman-halaman yang semula kosong dengan foto-foto pernikahan dan kebersamaan mereka sehari-hari. Ia membubuhkan catatan, berterima kasih kepada Carl atas petualangan yang mereka lewati. Bagi Ellie, kehidupannya hari demi hari bersama Carl ialah petualangan terindah.
#HamishRaisaSatuAtap membuat saya tertawa-tawa; kisah Carl dan Ellie membikin mata berkaca-kaca. Mengingatkan bahwa keindahan pernikahan itu berayun antara senyum manis, kekonyolan, dan kegetiran tragis. Adapun The Edge of Reason, meskipun bukan film yang mengesankan, paling tidak menyadarkan: bahwa and they live happily ever after itu bukan sebuah titik, melainkan koma.
Arie Saptaji penulis, penerjemah, editor, dan masih asyik mengisi titik-titik sesudah koma
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini