Maraknya praktik korupsi yang dilakukan oleh kader menjadi alasan wacana menaikkan dana parpol. Bahkan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo pun sependapat, dana bantuan parpol ditingkatkan untuk mendelegitimasi praktik korupsi. Pertanyaannya, apakah dengan menaikkan dana parpol akan menekan praktik korupsi? Tentu saja tidak! Tidak semua pelaku korupsi semata-mata hanya untuk parpol. Mustahil bagi kader mengambil risiko dengan melakukan korupsi hanya untuk menghidupkan parpol. Sudah pasti ada tabiat busuk dari kader parpol untuk melakukan korupsi. Misalnya, mengembalikan biaya politik ketika pemilihan legislatif.
Diketahui bersama, pemilu dengan sistem proporsional terbuka untuk memilih anggota legislatif dan sistem pemilu untuk memilih pejabat eksekutif melipatgandakan ongkos politik. Ongkos politik menjadi sangat menggunung hanya untuk memperoleh suara publik. Uang yang melimpah seolah sudah menjadi jaminan bagi calon legislatif jika ingin dipilih oleh publik.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Keberadaan parpol di Indonesia memang menjadi sangat traumatik. Di satu sisi, parpol diharapkan mampu menelurkan kader yang berkualitas. Namun, di sisi lain kinerja dan fungsi parpol tidak berjalan dengan baik. Sehingga, publik muak dengan keberadaan parpol. Alih-alih mempercayai parpol, publik pun tidak rela apabila parpol "mengemis" dana negara.
Pendanaan parpol oleh negara di Indonesia memang sangat berbeda dibandingkan dengan negara-negara di Eropa. Di Jerman misalnya, 75% dana parpol dibiayai oleh negara. Alasannya agar keuangan parpol lebih terkontrol. Ketika sebagian parpol dikontrol oleh negara, potensi masuknya dana gelap dan bahkan hasil korupsi lebih mudah ditelusuri. Di Denmark pun setali tiga uang; sejak 1986 pemerintahnya mensubsidi kepada parpol setiap tahunnya. Setiap parpol mendapatkan 30 danish krone atau sekitar Rp 60.000 per tahun (A Ardipandanto, 2015).
Sedangkan di Uzbekistan, Austria dan Meksiko negara mensubsidi 100%. Di Inggris, Italia, dan Australia negara memberikan subsidi kurang dari 50% kepada parpolnya. Di Asia, Jepang memiliki undang-undang dana subsidi partai. Kendati begitu, parpol tidak serampangan disubsidi oleh pemerintah. Konsekuensinya, parpol harus mempertanggungjawabkan penggunaannya sesuai undang-undang.
Namun, ternyata tidak semua parpol yang disubsidi oleh negara menerapkan sistem transparansi dan akuntabilitas yang baik. Di Spanyol, konsekuensi subsidi parpol ternyata memiliki dampak kartelisasi parpol. Parpol menjadi oportunis dan permisif. Parpol baru berkembang pesat hanya untuk mengeruk uang negara melalui subsidi. Akibatnya, parpol lebih tertutup dan tidak memiliki rasa tanggung jawab terhadap publik. Parpol lebih tunduk kepada kekuasaan ketimbang kepada rakyat karena dianggap sebagai pemenuhan finansial parpol.
Jadi, menjadi sangat ironi bagi kita apabila negara masih memaksakan kehendak menyubsidi parpol. 'Mengemis' uang negara sama saja mengerdilkan parpol. Bukan karena jumlahnya yang sangar besar. Melainkan tata kelola di internal parpol yang masih semrawut. Hingga saat ini, belum ada pemberitaan laporan keuangan parpol yang dipublikasikan kepada publik. Padahal, jumlah keuangan parpol dari sumber-sumber yang ada selama ini relatif kecil. Ini menjadi pertanyaan bagi parpol. Bagaimana mengelola dana parpol yang relatif besar apabila dana yang kecil saja tidak mampu dikelola dengan baik dan benar?
Patut diduga, ketergantungan parpol terhadap pemodal menjadi sangat besar menjadikan pengelolaan parpol tidak maksimal. Tidak jarang laporan keuangan parpol cenderung menghamba kepada kehendak penanam modal. Maka tidak heran apabila parpol enggan untuk mempublikasikan hasil keuangannya secara transparan, akuntabel, dan periodik. Maka jangan heran apabila publik menjadi skeptis bahkan marah dengan adanya santunan negara dalam jumlah yang tidak kecil.
Dengan menggunakan dana dari negara, yang kita pikirkan bukan hanya keuangan parpol yang selama ini memang sangat minim. Namun, juga wujud nyata dari rakyat melalui pemerintah menanamkan saham untuk parpol. Mensubsidi parpol sama saja dengan membiarkan uang rakyat mengalir kepada parpol yang belum memiliki pengelolaan dengan baik. Oleh sebab itu, pendanaan kepada parpol harus dipikirkan kembali. Jika memang parpol sudah dikelola dengan baik, transparan dan akuntabel, tidak ada salahnya apabila negara memberi bantuan.
Aminuddin analis politik pada Literasi Politik dan Edukasi untuk Demokrasi (LPED), alumnus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
(mmu/mmu)











































