Renungan dari Arafah
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Renungan dari Arafah

Sabtu, 02 Sep 2017 11:24 WIB
Asrorun Niam Sholeh
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Renungan dari Arafah
Foto: Reuters
Jakarta - Rasulullah SAW menekankan beberapa hal penting saat khotbah Wukuf di Arafah lima belas abad yang lalu. Setidaknya ada tiga hal yang penting untuk kita renungkan dari khotbah Wukuf yang disampaikan oleh Rasulullah tersebut. Hal pertama adalah tentang persamaan dan kesetaraan kita sebagai manusia. Dalam khotbahnya Rasulullah bersabda:

Tuhan kita sama, nenek moyang kita sama, yaitu dari Adam. Sementara Adam tercipta dari tanah. Yang paling mulia di antara kita adalah yang paling tinggi derajat takwanya, bukan karena etnis, suku, golongan, pangkat, jabatan, atau asal usulnya.

Kini, di tempat ini, kita, jamaah haji yang berada di Arafah diberikan bukti nyata, semua sama dan sederajat. Semua jamaah dipersatukan dalam busana yang seragam, dua helai kain yang menutupi aurat. Tak ada pangkat, tak ada jabatan, tak ada kekayaan. Semua wajib kita tanggalkan. Yang membedakan adalah sikap ketakwaan, kepatuhan dan ketertundukan kita kepada Allah.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dalam momentum khotbah pada haji wada' di atas Rasulullah menekankan tentang persamaan antarmanusia, tidak tersekat oleh ras, suku, dan juga warna kulit. Allah juga menegaskan hal ini di dalam Al Qur'an:

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (Al-Hujurat: 13)

Kita tidak mungkin tergerak untuk berpanas-panas di padang ini, berkeringat dan berpeluh, jika tidak ada panggilan ketakwaan dan komitmen akan kepatuhan dan ketertundukan. Hanya iman yang menggerakkan kita berkumpul di tempat ini. Ini wujud nyata ketertundukan kita yang bersifat personal, simbol hubungan dengan Allah SWT yang bersifat privat.

Namun, kita diciptakan oleh Allah, di samping sebagai abdullah, juga sebagai khalifah, yang memiliki tugas memakmurkan bumi, dan membangun harmoni sesama makhluk. Karenanya, kita sebagai makhluk Allah yang beragam, berupa-rupa warna, bersuku bangsa, dan berbagai agama, wajib untuk menjaga kekeluargaan di tengah keragaman ini.

Perbedaan itu sebagai sunnatullah yang harus dimaknai sebagai realitas. Tanggung jawab kita adalah untuk saling mengenali dan berlomba menjadi yang terbaik. Berlomba-lomba menuju kepada derajat takwa, bukan saling menghina dan saling menegasikan.

Kebhinnekaan adalah sunnatullah yang harus dirawat. Ia sebagai sarana untuk bersinergi, saling berlomba dalam hal kebaikan dan ketakwaan, dan saling mendukung untuk mewujudkan kemaslahatan umum. Sebaik-baik kita adalah sejauh mana memberikan kemanfaatan untuk kemanusiaan.

Meneguhkan Persaudaraan

Dalam khotbah pada saat wukuf di Arafah Nabi juga menekankan soal pentingnya menjaga kehormatan setiap jiwa dan properti manusia. Pada saat kita menyadari keragaman kita sebagai makhluk, maka kewajiban dan tanggung jawab kita adalah untuk saling mengenal dan meneguhkan persaudaraan. Allah mengharamkan pertumpahan darah, saling caci, dan juga saling hina, apapun alasannya.

Sabdanya: Wahai manusia, sesungguhnya harta dan kehormatan kalian terhormat sesama kalian hingga kalian berjumpa dengan Rabb kalian, seperti terhormatnya hari ini, pada bulan ini dan di negeri ini -ketahuilah sesunggunya aku telah sampaikan, maka saksikanlah.

Di tengah perkembangan dunia media sosial (medos) sebagai buah kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, seringkali kita terjebak pada saling hina, saling caci, hanya karena perbedaan pandangan dan orientasi. Penggunaan medsos di tengah masyarakat seringkali menjadi sarana untuk penyebaran informasi yang tidak benar, hoax, fitnah, ghibah, namimah, gosip, pemutarbalikan fakta, ujaran kebencian, permusuhan, kesimpangsiuran, informasi palsu, dan hal terlarang lainnya yang menyebabkan disharmoni sosial.

Jauh-jauh hari, Allah sudah memerintahkan untuk selalu berbaik sangka (husnuzh zhan) dan mengingatkan kita untuk menjauhi prasangka buruk (su'u al-zhann). Sebagaimana firman-Nya:

Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (Al-Hujurat 49 : 12)

Dalam ayat lain, Allah menjelaskan bahwa perbuatan menyakiti orang mukmin tanpa kesalahan yang mereka perbuat adalah dosa, antara lain: Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata. (Al-Ahzab: 58)

Ghibah itu berbeda dengan fitnah. Nabi menjelaskan pengertian tentang ghibah sebagaimana sabdanya: "Ghibah itu adalah bercerita tentang saudara kalian tentang hal yang ia benci."

Ketika kemudian ada yang bertanya, bagaimana jika yang diceritakan itu benar-benar nyata ada pada diri orang itu? Nabi pun menjawab, "Jika apa yang kamu katakan tentang saudaramu itu benar adanya maka telah melakukan ghibah kepadanya; namun apabila apa yang kamu katakan tidak benar, maka berarti kamu telah melakukan kedustaan (fitnah) kepadanya."

Karenanya, setiap kita penting untuk menjaga ucapan dan perbuatan agar jangan sampai menyakiti orang lain, baik individu maupun kelompok, terlebih kepada orangtua dan pemimpin kita. Nabi mengajarkan dan memerintahkan untuk bertutur kata yang baik dan menjadikannya sebagai salah satu indikator keimanan kepada Allah, sebagaimana sabdanya: "Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaknya ia berkata yang baik atau diam".

Fenomena penyebaran hoax sebagai industri, yang diorganisir secara rapi, baik untuk tujuan ekonomi maupun politik adalah fenomena yang sungguh mengkhawatirkan, dan harus dicegah. Karena jika dibiarkan akan terus menyemai benih konflik horisontal, perpecahan dan mengarah pada disintegrasi bangsa.

Haji yang mabrur meniscayakan komitmen perang terhadap rafats fusuq, dan jidal. Ibadah haji harus memancarkan spirit anti-hoax, anti ujaran kebencian, dan senantiasa bermuamalah secara beradab, baik di dunia nyata maupun dunia maya.

Masyarakat dan Negara

Di antara substansi khotbah wukuf Nabi yang juga sangat penting adalah tentang wasiat terkait hak dan kewajiban masing-masing kita dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Tanggung jawab sebagai anggota masyarakat, termasuk relasi antara pemimpin (ra'i) dan warga negara sebagai yang dipimpin (ra'iyyah).

Rasulullah berwasiat untuk senantiasa mendengar dan menaati pemimpin, yang sudah disepakati untuk dijadikan pimpinan. Kita diwajibkan untuk mentaati ulil amr, sebagaimana dijelaskan secara eksplisit dalam al-Quran sebagaimana firman-Nya dalam Surat al-Nisa 59: "Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah, taatlah kepada Rasul dan ulil-amri di antara kamu."

Dalam hadisnya, Nabi Muhammad bersabda: "Barangsiapa taat kepadaku berarti ia telah menaati Allah, dan barangsiapa bermaksiat kepadaku berarti ia telah bermaksiat kepada Allah. Dan barangsiapa yang taat kepada amir (yang Muslim) maka ia taat kepadaku dan barangsiapa bermaksiat kepada amir, maka ia bermaksiat kepadaku."

Dengan demikian, basis relasi antara penguasa dan rakyat adalah saling membutuhkan. Ketaatan yang diberikan terhadap penguasa oleh rakyatnya adalah ketaatan bersyarat, sepanjang dapat menjamin kemaslahatan dan tidak menabrak ketentuan syariah. Sepanjang syarat tersebut terpenuhi, maka rakyat wajib mentaati kebijakannya.

Ketaatan kepada pemimpin adalah kewajiban syar'i, sepanjang pemimpin tidak memerintahkan kepada kemaksiatan. Ketaatan kepada pemimpin terikat oleh komitmen bersama untuk kemaslahatan, bukan karena faktor suka atau tidak suka. Rasulullah menegaskan kewajiban taat meski yang memimpin kalian adalah seorang budak, sebagaimana sabdanya: "Wajib bagi kalian untuk taat (kepada pemimpin), meskipun yang memimpin kalian itu seorang hamba sahaya Habsyi."

Wujud ketaatan kepada pemimpin adalah dengan mendengar dan mentaati aturan serta kebijakan yang diambil, sekalipun kita tidak menyukainya. Nabi bersabda: "Wajib atas seorang Muslim untuk mendengar dan taat (kepada penguasa) pada perkara yang ia sukai dan tidak ia sukai, kecuali jika diperintahkan berbuat maksiat, jika diperintah berbuat maksiat, maka tidak boleh mendengar dan tidak boleh taat."

Syarat ketaatan tersebut adalah sepanjang pemimpin tidak memerintahkan rakyatnya untuk berbuat maksiat. Jika pemimpin memerintahkan kemaksiatan atau melarang suatu kewajiban syar'i, maka tidak lagi ada kewajiban untuk memberikan ketaatan. Sebaliknya, setiap kita yang diberikan amanah untuk menjadi pemimpin, wajib untuk mewujudkan kemaslahatan. Kepemimpinan adalah amanah yang kelak akan dimintakan pertanggungjawaban di sisi-Nya. Sabda Nabi:

"Barang siapa memiliki amanah maka ia harus menunaikan amanah tersebut kepada yang memberi amanah." Dalam menjalankan amanah, yang menjadi dasar kebijakan dan tindakan kita sebagai pemimpin (ulil amr) adalah semata-mata mewujudkan kemaslahatan, yakni menjaga urusan agama (hirasati al-diin) dan mengatur urusan keduniaan (siyasati al-dunya).

Hubungan harmonis antara pemimpin dan yang dipimpin adalah salah satu prasyarat untuk mewujudkan keamanan dan kesejahteraan, yang menjadi tujuan bernegara dan bermasyarakat. Jika masing-masing dari kita, antara pemimpin dan yang dipimpin memahami posisi masing-masing, menjalankan tugas dan tanggung jawab sesuai dengan kompetensinya, maka akan terwujud kemaslahatan dan kebaikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pemimpin yang mewajibkan sesuatu kebijakan yang hukum asalnya mubah, atas dasar pertimbangan kemaslahatan, maka rakyat wajib mentaatinya. Dalam konteks inilah relevansi pernyataan Imam Nawawi al-Bantani, yang seringkali diulang-ulang oleh KH. Ma'ruf Amin terkait kewenangan negara mengatur hal-hal yang mubah.

Apabila pemimpin mewajibkan suatu perbuatan yang wajib, maka kewajibannya menjadi sangat kuat. Apabila pemimpin mewajibkan sesuatu yang mustahab maka ia berubah menjadi wajib. Dan apabila pemimpin mewajibkan sesuatu yang hukum asalah mubah, apabila di dalamnya ada pertimbangan kemaslahatan umum seperti kewajiban tidak merokok maka hukumnya menjadi wajib.

Karenanya, ketika pemimpin menjalankan amanah secara baik, kita wajib taat dan tidak boleh khianat, apalagi melakukan perlawanan dan pemberontakan. Akan tetapi, jika pemimpin menetapkan kebijakan untuk mewajibkan atau melegalkan sesuatu yang dilarang agama, atau melarang sesuatu yang diperintahkan agama maka tidak boleh ditaati.

Rasulullah juga berpesan untuk memberikan masukan, koreksi, dan kontrol agar masing-masing pihak menjalankan tugas dan tanggung jawab sesuai amanah yang diberikan. Abu Bakr al-Siddiq, sesaat diangkat menjadi khalifah pertama pengganti Rasulullah menegaskan dalam pidato pertamanya sebagai berikut:

"Wahai sekalian manusia, jika aku dalam kebaikan maka bantulah aku dan jika aku buruk maka ingatkanlah aku...taatilah aku selagi aku menyuruh kalian taat pada Allah, dan jika aku memerintahkan kemaksiatan maka jangan taati aku." Hal yang sama dilakukan oleh Umar ibn al-Khattab, dengan pidatonya yang sangat terkenal: "Barangsiapa di antara kalian melihat aku dalam ketidaklurusan maka luruskanlah aku..."

Inilah keadilan. Inilah revolusi mental. Kita hormati kesepakatan yang sudah kita ambil bersama-sama. Pemimpin harus menunaikan amanah kepemimpinan secara baik, merumuskan seluruh kebijakan semata untuk kemaslahatan umum, bukan kepentingan pribadi maupun kelompok kecil. Rakyat punya tanggung jawab untuk taat kepada pimpinan, menghormatinya, dan mematuhi aturan dan kebijakan sekalipun kita tidak menyukainya. Kita tunaikan kewajiban kita masing-masing, dan kita saling mengoreksi. Kita, ibarat satu tubuh, yang jika satu sakit, maka seluruh tubuh akan merasakan tidak nyaman.

Asrorun Niam Sholeh anggota Amirul Hajj, Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta

(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads