Tudingan generalisasi langsung terjawab jika mencermati kata-kata "sebagian" dan "oknum" dalam tulisan tersebut. Adapun anggapan bahwa saya mengajak melakukan pembiaran, bisa jadi itu karena kesalahan saya yang terlalu cekak dalam memaparkan. Maka untuk itulah kali ini saya ingin melengkapinya.
Jadi begini. Tulisan saya tersebut sesungguhnya adalah ekspektasi yang sangat besar kepada para alumni luar negeri. Mereka berangkat menjelajahi bumi yang luas, mereguk pengetahuan tanpa batas, membaca dunia dari cara pandang yang tak lagi sekadar sekilas dua kilas.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Karena harapan tinggi itulah, terus terang saya kecewa jika ada alumni luar negeri yang sepulang mereka ke Tanah Air tak henti hanya mengeluh-ngeluhkan mentalitas warga "pribumi" Indonesia. Kenapa?
Sebab problem mentalitas, sependek pengetahuan saya yang tak seberapa ini, tidak lahir begitu saja dari ruang hampa. Ia produk sampingan dari beragam variabel yang membentuknya. Ia tidak berdiri sendiri sebagai pemain tunggal dalam proses sejarah.
Lalu apakah artinya segala problem mental tersebut tidak boleh dicibir, tidak layak dikeluhkan, dan terlarang untuk dipersalahkan?
O, tentu saja bukan begitu. Saya tidak senaif itu, tenang saja. Namun, maksud saya biarlah aktivitas mencibir dan berkeluh kesah menjadi job description masyarakat awam saja. Itu tugas mereka yang menonton tayangan televisi tentang betapa hebatnya Eropa, misalnya, lalu nyengir melihat para tetangganya. Itu peran mereka yang pernah ke luar negeri sembari ikut paket wisata, lalu pulang dan menatap kiri-kanannya sambil mengobral sinisme yang menyala-nyala. Itu juga jatah mereka yang ikut ke luar negeri sekadar untuk menemani suami atau istri yang sekolah di sana hehehe.
Adapun para alumni luar negeri yang sudah kenyang makan buah pengetahuan, apa iya dengan kapasitas sehebat itu, mereka masih merasa pantas hanya berdiri sebagai pengagum dunia luar dan pencibir realitas di sekitar?
Maka, saya memberikan contoh bahwa problem penerabas trotoar di Jakarta, misalnya, tidak bisa dilihat semata sebagai produk mentalitas yang amburadul. Ia bentukan dari kota jahat yang terlalu padat, pertarungan tanpa henti untuk berebut semeter demi semeter ruang di jalan, sementara transportasi publik tidak cukup bisa jadi andalan.
Melulu menyalahkan mentalitas warga penerabas trotoar di Jakarta sebelum bersikap untuk membongkar perkara struktural yang melatarbelakanginya, rasanya hanya akan jadi kelakuan judgemental yang, maaf kata, kegenit-genitan. Kelirukah pandangan saya?
Mari kita ambil pembanding. Seorang lelaki mencuri baju di jemuran orang. Secara legal, dia jelas-jelas melanggar hukum. Tapi ketika si lelaki itu terpaksa mencuri dalam sebuah negara yang masih terlalu jauh dari prinsip keadilan sosial, dalam masyarakat yang tidak memberi ruang lapang kepadanya untuk masuk dalam kancah persaingan, apakah benar secara etis segenap kesalahan layak ditimpakan utuh-utuh di atas kepalanya?
Contoh lain yang lebih konkret. Di Kolkata, India, banyak orang kencing sembarangan. Toilet umum sangat sedikit, tidak macam di tempat kita yang masih bisa dengan gampang mengakses toilet di pom bensin atau di masjid terdekat. Padahal populasi manusia di sana begitu besar. Dengan kondisi seperti itu, apakah kita akan menghakimi para tukang kencing sembarangan di Kolkata tadi sekadar sebagai para pengidap problem mentalitas?
Nah, demikian pula para penerabas trotoar di Jakartaβkota yang over-populasi dengan transportasi publik yang masih ala kadarnya. Benarkah secara moral dan etis mereka bisa dipersalahkan sepenuhnya?
***
Dalam hal ini, Jakarta saya sebut secara sangat spesifik. Saya tidak membicarakan penerabas trotoar di Solo atau Bantul, misalnya. Sama sekali tidak, sebab karakter setiap kota akan hadir dalam paket variabel masing-masing. (Pelanggar hak pedestrian di Bantul semestinya bisa 100% dituding berkesadaran rendah, bukan?).
Sementara harap diingat, Jakarta adalah salah satu kota di dunia dengan kemacetan terparah. Menurut versi TomTom Traffic Index, Jakarta menempati kota ranking ketiga yang jalanannya paling macet sedunia, setelah Mexico City dan Bangkok. Bahkan menurut Castrol's Magnatec Stop-Start Index, ibukota Indonesia itu meraih juara pertama! Sedunia!
"Halah, Paris lebih padat ketimbang Jakarta. Tapi nyatanya trotoarnya sangat manusiawi. Asyik banget buat jalan-jalan. Sampai-sampai ada tuh buku larisnya John Baxter, The Most Beautiful Walk in The World: A Pedestrian in Paris."
Begini, Kangmas. Ketika saya mengambil faktor densitas Jakarta yang diperlawankan dengan kota-kota lain, jangan abaikan juga bahwa saya menulis faktor transportasi publik yang jauh dari standar. Artinya, untuk memahami Paris yang trotoarnya tetap rapi itu tidak bisa sekadar melihat kepadatannya yang 21.000-an jiwa per km persegi. Lihat juga bagaimana variabel-variabel strukturalnya.
Paris adalah salah satu kota di dunia dengan transportasi publik terbaik. Jaringan Metro de Paris, rapid transit system-nya kota itu, memiliki 245 stasiun dan 14 jalur, dan mengangkut lebih dari 1,5 miliar penumpang setiap tahunnya. Itu untuk melayani area metropolitan saja lho ya, yang luasnya cuma 87 km persegi. Selebihnya masih ada jaringan kereta suburban RER, tram, dan entah apa lagi.
Lah Jakarta punya apa?
Jadi Anda yakin trotoar di Paris rapi dan trotoar Jakarta amburadul adalah perkara mentalitas manusia? Apakah kalau orang-orang Paris dipindah ke Jakarta dengan kondisi sekarang, Anda menjamin mereka akan setertib di Paris, dengan asumsi mentalitas mereka memang sudah yoi banget? Seriusan?
Saya bukannya menafikan adanya perkara mentalitas itu. Jelas problem itu ada. Tapi seberapa porsinya ia dalam konstruksi utuh sebuah sistem persoalan? Atau, seberapa prioritas ia untuk menjadi sasaran cibiran?
Mencibir memang sikap manusiawi. Itu kelakuan wajar, bukan pula tindak kriminal. Namun kalau sekelas para elite pengetahuan ya semestinya perlu lebih sistematis dalam mencibir. Jika memang sebuah kota sudah baik dan manusiawi dalam soal-soal struktur dan infrastruktur, tapi masih ada warga yang menerabas trotoar, maka para pelanggar itu memang bermasalah secara mentalitas dan layak dicibir. Tapi ada syarat dan rukun yang terlebih dahulu harus dipenuhi, sebelum mentalitas manusia bisa dicibir.
***
Saya beruntung pernah menyaksikan langsung beberapa kota di dunia yang bisa menjadi bekal saya untuk menata semua asumsi berikut pertanyaan-pertanyaan yang menyertainya.
Di Singapura, misalnya, orang memang dilarang keras membuang sampah sembarangan. Tapi tempat sampah memang tersedia banyak. Coba Anda susuri sekitaran tepi sungai di Clark Quay, dan hitung saja ada berapa tempat sampah yang terpajang berjejer-jejer di sana. Bagaimana orang jadi punya alasan untuk buang sampah sembarangan?
Perth, kota tempat saya menumpang ini, pun tak beda. Kota ini bersih, jauh lebih bersih ketimbang Sydney dan Melbourne. Tapi memang manajemen sampah di sini sangat baik. Setiap rumah wajib punya dua tempat sampah standar untuk sampah dapur dan sampah kertas-plastik-kaca, truk sampah kecamatan akan mengambili semua sampah itu setiap Rabu siang, ada tanggal tertentu khusus untuk membuang sampah-sampah besar semisal alat elektronik dan perkakas rumah tangga, tanggal lainnya khusus untuk sampah tebangan pohon dan dedaunan, dan sebagainya.
Lalu bagaimana warga Perth mau buang sampah sembarangan, kalau untuk buang sampah pada tempatnya saja begitu mudahnya?
Jadi saya pikir-pikir, belum tentu alurnya adalah: "Masyarakat cinta kebersihan akan membangun lingkungan yang bersih". Sebab sangat mungkin yang berlaku secara riil adalah: "Lingkungan yang ditata bersih (penataan di sini dalam konteks langkah struktural, tentunya) akan membentuk karakter masyarakat yang cinta kebersihan."
Saya menyaksikan contoh lain di New Delhi, yang lebih mengerucut ke pembentukan karakter. Di atas tanah, kota itu kotornya minta ampun. Fasilitas kebersihan minim, toilet umum juga jarang-jarang. Namun begitu kita masuk ke bawah tanah alias stasiun kereta subway, seperti ada dunia lain di sana. Bersihnya tak terkira. Sebab memang area itu disiapkan sebagai area bersih. Meski ada larangan meludah, misalnya, toh petugas pengawas juga tidak terlihat banyak. Tapi akhirnya orang jadi sungkan sendiri untuk meludah di tempat sebersih itu.
Suasana yang sama saya temui waktu menyusuri jalanan di kota Da Nang, Vietnam, dua tahun silam. Kota itu sangat kinclong, jauh dari bayangan saya semula akan sebuah kota di negeri yang baru lepas dari perang pada tahun 1975. Larangan buang sampah sembarangan jelas ada. Tapi tempat sampah memang ada di mana-mana, petugas kebersihan penyapu jalan pun berseliweran bahkan sampai tengah malam.
Dengan gebrakan struktural pengelolaan sampah yang dimulai pada 2005, kebiasaan warga Da Nang yang semula "normal-normal saja selayaknya rakyat negeri Dunia Ketiga" jadi berubah cepat. Padahal ingat, Vietnam itu masih muda, sama-sama Asia Tenggara dengan kita, tingkat pendidikan warganya juga tak beda-beda jauh dengan kita.
Di Tokyo, orang akan ketakutan bila merokok sembarangan. Ya jelas, tapi harus dilihat dulu infrastruktur yang tersedia. Silakan langsung main ke titik paling ramai saja, perempatan Shibuya, yang terkenal sebagai penyeberangan pejalan kaki tersibuk sedunia. Di sekitar tempat itu saja saya hitung ada empat smoking area, yang paling besar ada di sebelah patung anjing Hachiko. Belum lagi di banyak tempat lainnya, bahkan di wahana keluarga semacam Tokyo Disneyland sekalipun (ada lima titik smoking area di sana).
Dengan mekanisme-mekanisme seperti yang saya contohkan di atas itu, orang tak akan punya alasan lagi untuk merokok sembarangan, untuk membuang sampah sembarangan, untuk kencing sembarangan, dan sebagainya. Lalu benarkah kota-kota itu bersih dan rapi karena perkara mentalitas warganya? Saya sih tidak terlalu percaya.
Benar sekali, baik soal mental maupun soal struktural memang saling bersambut. Namun untuk mengatasi problem seruwet Indonesia, khususnya Jakarta, saya tidak percaya dengan jargon indah sebangsa "Marilah kita mulai dari diri kita sendiri." Yang begitu-begitu biarlah jadi lahan Pak Mario saja.
Iqbal Aji Daryono tinggal sementara di Perth untuk menemani istri yang studi di sana, dan menjalani hari-hari sebagai pengamat jalan raya
(mmu/mmu)