Tak banyak pejabat publik yang mampu menanam ingatan. Ridwan Kamil sebagian kecil di antaranya. Di pengujung masa baktinya sebagai walikota, Emil --demikian panggilan akrabnya-- sudah memilih sikap politik untuk beranjak naik. Dari Pendopo di Jalan Merdeka, pria yang mengawali karier sebagai arsitek dan pendidik itu memutuskan hendak berlabuh menjadi Jabar-1 di dermaga sisi selatan Lapangan Gasibu: Gedung Sate.
Kehadiran Emil dalam lintasan sejarah kepemimpinan politik Kota Bandung terbilang tak biasa. Muncul bukan sebagai tokoh politik, dalam waktu yang terbilang cepat ia menunjukkan kepiawaiannya berakrobat dalam gelanggang palagan kebijakan. Secara terukur, Emil berhasil mencuri hati. Melalui pendekatannya mengkapitalisasi kerinduan warga akan wajah kota, Emil tampil dengan 'Bandung Juara' sebagai visi politiknya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Emil paham akan horizon elektoral dalam karier politiknya. Dia tidak menyambut Jakarta, kendati secara potensi raihan suara saat itu memungkinkan dia tampil menjadi lawan politik sepadan bagi Basuki Tjahaja Purnama. Emil lebih memilih menuntaskan diri di Bandung sebagai misi politiknya.
Mungkin benar, keberangkatannya ke Jakarta bisa saja akan mencederai kepercayaan warga kota pada dirinya. Sebuah harga mahal, yang tak ingin dibayar seorang pemimpin yang sudah membenamkan diri dalam muara ingatan publik yang kelak pasti dibutuhkannya.
Tak ada padi bernas setangkai. Tak ada jalan yang tak berlubang. Emil kerap mendapat kritik atas populisme politik yang kerap diunggahnya. Emil dianggap hanya pandai bersolek, dan hanya bisa mematut rias dalam rupa-rupa medium digital. Bagi mereka yang kritis terhadapnya, Emil dianggap hanya akan diterima segmen pemilih di perkotaan, tapi tidak dengan masa di pedesaan.
Dugaan itu ternyata tak sepenuhnya terbukti. Beberapa laporan survei memperlihatkan tingkat elektabilitas yang cukup menjanjikan. Emil kerap menjadi pemuncak klasemen menjelang kompetisi elektoral 2018 mendatang. Menariknya, masyarakat segmen pedesaan yang juga menjadi responden memperlihatkan pengenalan dan penerimaanya pada sosok Emil. Namun, apa sebenarnya yang masih menjadi pekerjaan besar bagi Emil dalam upaya meretas jalan politiknya?
Dukungan Partai
Emil masih bermasalah terkait dengan syarat dukungan partai politik. Sejauh ini, Emil masih mengandalkan Nasdem sebagai partai pengusungnya dengan bekal suara 5 kursi di DPRD Jabar. Artinya, sekurang-kurangnya Emil harus bisa mengumpulkan 15 kursi tambahan sebagai syarat minimal untuk dapat maju ke front pertarungan pemilihan gubernur.
Sebelumnya, tiket itu bisa didapat jika Emil diusung oleh PDIP dan/atau Partai Golkar sebagai partai politik dengan raihan suara cukup besar di Jawa Barat --PDIP 20 kursi, dan Golkar 17 kursi. Di bawahnya disusul oleh Demokrat dan PKS (12), Gerindra (11), PPP (9), PKB (7), Nasdem (5), PAN (4), dan Hanura (3).
Namun, perkembangan terakhir memperlihatkan PDIP dan Golkar kecil kemungkinannya untuk dapat mengusung Emil. Di lain pihak, PKS dan Gerindra digadang-gadang akan mengusung pasangan secara bersamaan. Praktis, di atas kertas, peta pertarungan hanya menyisakan Demokrat, PPP, PKB, PAN, dan Hanura. Jika suara kelima partai ini digabung, memungkinkan bagi Emil untuk maju dalam kontestasi demokrasi tahun mendatang.
Di pihak lain, Golkar secara suara juga masih membutuhkan tambahan 3 kursi untuk dapat mengusung nama --di luar PDIP yang berkemampuan mencalonkan kandidat secara mandiri. Artinya, secara politik, rajutan koalisi yang mungkin terbentuk masih sangat cair. Dengan komposisi ini, Emil dihadapkan pada satu pekerjaan besar membangun komunikasi politik dengan partai-partai yang belum mengusung nama untuk dapat mengusungnya dalam Pilgub Jabar 2018.
Dengan berbagai kemungkinan jalinan koalisi, sepertinya Pilgub Jabar 2018 hanya akan diiikuti oleh 2-3 pasangan calon saja. Tawaran politik yang bisa disuguhkan Emil kepada partai-partai yang belum mengusung calon adalah paket politik dirinya dengan kandidat dalam Pilwalkot Kota Bandung yang juga akan dilakukan serentak bersamaan dengan Pilgub Jabar.
Emil memiliki daya tawar strategis dalam kapasitasnya sebagai walikota. Artinya, komitmen pengusungannya bisa dikonversi dengan dukungan sumberdaya politik yang dimiliki Emil untuk dapat melakukan kerja-kerja pemenangan kandidat walikota Bandung. Dalam bahasa lain, kandidat tersebut dapat memanfaatkan infrastruktur dan sumberdaya politik yang dipunya Emil selama ini.
Membumikan Harapan
Namun, berbagai kalkulasi dan prediksi dalam politik praktis tak ubahnya seperti menerka dalam keremangan. Terlebih, berbagai keputusan politik yang strategis biasanya hadir dan dihasilkan dalam media percakapan dan transaksi di kamar-kamar gelap kekuasaan. Sukar untuk dapat ditebak.
Sebab itu, dalam sebuah proses politik praktis, kerja-kerja menggantungkan harapan harus seraya diiringi dengan ingatan untuk tetap menginjakkan kaki di teras bumi. Publik harus senantiasa ingat apa yang disampaikan Charles de Gaulle, "Untuk menjadi tuan, politisi menampilkan diri seperti pelayan."
Kedekatan dan kecintaan pada figur politik harus dibarengi dengan keinsyafan pada posisi mereka sebagai politisi, "Politisi itu sama saja di mana-mana. Mereka berjanji membangun jembatan, bahkan di tempat yang tidak ada sungai," kata Nikita Khrushchev.
Sekali lagi, pemilu bertujuan bukan untuk memilih yang terbaik, tapi mencegah yang terburuk untuk dapat berkuasa.
Nanang Suryana Peneliti Muda Pusat Studi Politik dan Keamanan Unpad
(mmu/mmu)











































