Mengganyang Hoax
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Mengganyang Hoax

Jumat, 25 Agu 2017 14:12 WIB
Ach. Fadil
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Mengganyang Hoax
Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom
Jakarta - Penangkapan para sindikat dan pengelola laman Saracen oleh aparat kepolisian beberapa waktu lalu menjadi bukti betapa informasi hoax memang sengaja dicipta secara massif dan sistematis demi motif-motif tertentu β€”yang paling mencolok dari sekian motif itu adalah motif ekonomi.

Langkah keseriusan aparat dalam aksi penangkapan itu patut mendapat apresiasi dari masyarakat. Paling tidak, langkah itu bisa meminimalisasi persebaran hoax di jagad maya. Sebab, para sindikat itu β€”menurut informasi yang beredarβ€” selain dengan sengaja mencipta informasi hoax bernuansa suku, agama, ras, dan antar-golongan (SARA), juga menyebarluaskannya di media sosial, utamanya di laman Facebook.

Disadari atau tidak, menjamurnya informasi di media sosial akan mudah membentuk opini masyarakat tentang suatu objek pemberitaan tertentu, dan tentu berbahaya bila yang tersaji berupa berita palsu. Lebih-lebih di tengah realitas manusia-manusia teknologis (homo technologicus) yang seolah tak bisa lepas dari aktivitas virtual mereka melalui gadget dan smartphone.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Untuk menghalau dan mengganyang upaya penjungkirbalikan nilai-nilai kejujuran di media sosial itu, bukan saja menjadi tugas aparat penegak hukum, tapi juga menjadi tugas para jurnalis. Karena dasar persoalan terciptanya hoax adalah hilangnya jurnalisme pada diri setiap pewarta informasi.

Menurut hemat saya, jurnalisme itu pada dasarnya merupakan nilai-nilai atau paham yang mendasari para pewarta berita dalam usaha mereka "memindahkan" realitas empirik pada realitas media.

Proses Mimetik

Di dalam proses pemindahan realitas itu, yang tengah berlangsung sebenarnya kegiatan mimetik (meniru fakta) tanpa memberi ruang sedikit pun pada hal-hal yang bersifat imajinal. Dari proses mimetik itu pula, objektivitas pemberitaan pada akhirnya didapatkan. Dan, pada objektivitas itu terdapat dua elemen penting, yaitu faktualitas dan imparsialitas (Mursito, 2006).

Jika yang pertama terkait dengan kebenaran dan relevansi, maka yang kedua terkait dengan keseimbangan dan netralitas. Dan, jika kesemuanya dipadatkan, kejujuran adalah intisarinya. Karena itu, para pewarta berita harus sedari awal sudah menanamkan sifat dan spirit kejujuran itu di dalam diri mereka. Jika spirit ini hilang atau sengaja dihilangkan dari diri seseorang, maka ia potensial menjadi produsen hoax.

Pada tahap tertentu, potensi itu akan aktual jika berjalin-kelindan dengan rangsangan motif dan kepentingan. Di dalam kerja-kerja jurnalistik, para jurnalis dituntut untuk melakukan investigasi ketat demi akurasi data pada sebuah pemberitaan. Selanjutnya, mereka harus menginformasikan berita secara an sich: tidak boleh mengurangi atau menambah.

Akurasi data dalam sebuah pemberitaan menjadi penting, karena jika tidak, informasi yang tersaji akan menjadi distortif. Bila informasi distortif ini menyebar, maka ia akan menjadi bola api yang terus menggelinding, liar, dan berbahaya terutama jika sudah masuk pada wilayah sosial-keagamaan.

Sejarah telah membuktikan, pada 1792 di Madrid, Spanyol dunia Kristen pernah mengalami satu fase kelam yang kita kenal dengan peristiwa inkuisisi. Yakni, praktik untuk membela ortodoksi iman di lembaga suci yang dikenal dengan Tribunal del Santo Oficio de la InquisiciΓ³n. Lembaga ini menjadi semacam tempat pemeriksaan terhadap pihak-pihak yang diduga melakukan bidat (heresy): perkara anti-Katolik Roma.

Terlepas dari patut atau tidaknya praktik penyisiran terhadap keyakinan-keyakinan lain di luar Katolik (seperti Judaisme dan Protestan) itu, ternyata informasi yang didapat para pejabat di lembaga episkopal-penghakiman tersebut, hanya bertolak dari laporan mata-mata yang validitasnya perlu di-crosscheck lebih lanjut.

Pasalnya, informasi dari mata-mata itu di dalam banyak kasus β€”sebagaimana dituturkan Milos Forman dalam filmnya Goya's Ghost (2006) yang fenomenal itu- seringkali tidak utuh, bahkan hanya berdasar pada syak-wasangka. Akibatnya, banyak orang tak bersalah dipenjara, disiksa, bahkan dihukum mati.

Kasus tersebut menjadi bukti betapa elemen jurnalistik yang paling penting, verifikasi (check and recheck), telah hilang dari para pewarta berita dan konsumennya (pembaca atau pendengar).

Idealnya, setiap orang (siapapun itu), ketika berhadapan dengan satu informasi, mula-mula harus menghadirkan "pertanyaan" di dalam benak mereka, atau meminjam istilah Goenawan Mohamad (GM): sikap ingin tahu. Karena, lanjut GM, jurnalisme tidak bermula dan berakhir dengan berita, tetapi sikap ingin tahulah yang mengawali dan mendasarinya.

Sikap ini kemudian menjadikan seseorang tergerak untuk melakukan verifikasi. Hasilnya, informasi atau berita yang hadir akan betul-betul valid. Dan, jika hal ini sudah muncul pada setiap pewarta berita, maka eksistensi mereka benar-benar akan bisa menjadi tumpuan, harapan, serta tempat berlabuh bagi masyarakat demi sebuah informasi sahih.

Dalam hal ini, sutradara Tom McCarthy memberikan pelajaran berharga melalui film yang diproduksinya Spotlight (2015). Film ini bercerita tentang beberapa wartawan di The Boston Globe yang melacak kasus skandal pelecehan seksualβ€”lebih tepatnya skandal paedofiliaβ€”yang terjadi di pusaran gereja Katolik, Boston.

Adapun yang menarik dari film tersebut bukan karena para jurnalis berhasil mengungkap berita sensasional itu, melainkan karena proses investigasi itu dilakukan dengan teliti, hati-hati, tidak menggebu-gebu, tidak emosional, bahkan prosesnya bisa memakan waktu cukup panjang. Dan, yang terpenting mereka bekerja untuk kebenaran.

Kerja luhur untuk menginformasikan kebenaran di masa sekarang ini memang tampak utopis dan seperti mitos, sebagaimana pernah dikatakan Bill Covach dan Tom Rosentiel dalam pengantar buku Sembilan Elemen Jurnalisme (2002) yang mereka tulis. Karena bagi mereka, definisi tentang kebenaran pada abad ini lebih banyak ditentukan oleh logika politik dan bisnis media.

Tetapi, sutradara Michael Mann dalam filmnya The Insider (1999), sebuah film jurnalistik-investigatif, jauh-jauh hari telah mengisyaratkan untuk mendobrak utopia dan mitos itu. Baginya, ada kemungkinan untuk mendemonstrasikan kebenaran jurnalistik di tengah-tengah pragmatisme (juga oportunisme) yang kerap menghinggapi media, seperti dilakukan jurnalis dan produser Lowell Bergman yang berusaha menayangkan sebuah hasil wawancara utuh (tanpa distorsi) pada acara talkshow-nya 60 Minutes.

Hanya saja sebagai konsekuensi logis bekerja pada sebuah media, para jurnalis sedang diuji untuk menjaga integritas: apakah akan mengikuti atau melawan arus "kepentingan" media. Dan, Bergman selalu berada di barisan yang kedua: menolak kebijakan distortif medianya. Secara perlahan, ia berhasil menunjukkan wawancara itu.

Ach. Fadil alumnus Fakultas Falsafah dan Peradaban, Universitas Paramadina, Jakarta dan Peneliti di Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Indonesia (mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads